Monday, April 4, 2011

Mahkluk Terasing : Penjara VS Kampus


Kuliah, rutinitas yang menjemukan. Seperti ikan yang jemu akan sebuah kolam. Layaknya ayam yang telah ogah tidur dalam kandang. Sama halnya burung yang bosan dan mengigau ingin bebas dari sangkar. Kuliah, seperti tahanan kelas tinggi. Di pulau buru, boeven digol, sampai Guantanamo atau penjara Siberia. Atau mungkin layaknya kita hidup dalam tiga kamp kosentrasi yang didirikan jerman pada perang dunia 2, Auschwitz. Auschwitz adalah nama yang digunakan untuk mengidentifikasi tiga kamp konsentrasi J
rman Nazi utama dan 40-50 sub-kamp. Nama ini diambil dari versi Jerman nama kota Polandia di dekat sana, Oświęcim, terletak 60 km barat daya Krakow.
Ketiga kamp utama itu adalah:
  • Auschwitz I, kamp konsentrasi orisinal yang digunakan sebagai pusat administrasi bagi seluruh kompleks itu, dan merupakan tempat kematian sekitar 70.000 orang Polandia, kaum homoseksual dan tawanan perang Soviet.
  • Auschwitz II (Birkenau), sebuah kamp pemusnahan dan tempat kematian sekitar 1 juta orang Yahudi, 75.000 orang Polandia, homoseksual, dan sekitar 19.000 orang gipsi.
  • Auschwitz III (Monowitz), yang digunakan sebagai kamp kerja paksa untuk perusahaan IG Farben. (wikipedia)
Kalau memang begitu, betapa mengerikanya sekolah atau kampus? Didalam kelas mungkin kita bisa melihat dosen dosen kita yang bagaikan seorang sipir. Yang tak bisa dibantah dan siap untuk menganiyaya kita kapanpun. Bedanya, kalau dalam kelas mungkin represif secara psikologis sedang di penjara fisik dan psikologis. Bahkan banyak dosen yang sering kali melakukan kekerasan dan pelecehan seksual terhadap mahasiswi/siswanya, jadi sepertinya sama. Toh didalam penjara kita tidak disuruh membaca buku, namun banyak tokoh tokoh besar yang menelurkan karya didalam

kandang hewan tersebut. Contoh pramoedya ananta toer,seorang tahanan politik 3 zaman ; jepang, ORBA & ORLA. Selama 15 tahun dipenjara tak menghentikan dirinya untuk terus berkarya, dan, pram pun adalah satu satunya wakil Indonesia yang namanya seringkali masuk dalam daftar peraih nobel sastra. Dan karya master peace dia, telah menerima berbagai penghargaan international, sebut saja tretalogi buru. Sedang di kelas, kita hanya disuruh dengar celoteh dosen yang itu itu saja. Mahasiswa layaknya tahanan politik yang disuruh untuk mencari makanannya sendiri. Atau paling banter, disuapi makanan 2 sampai 3 kali (mata pelajaran) sehari seperti didalam penjara. Tak boleh melawan, kalau tak mau nasinya diambil dan kelaparan. kalau di kelas, yah siap untuk dapat nilai jeblok atau paling tidak disuruh keluar. Padahal nasi (ilmu) yang diperoleh tak seberapa.
Didalam kelas kita bagaikan seorang yang tak mempunyai suara, bebas dieksekusi dan disalahkan sesukanya. Memang, saat yang lebih aman adalah diam. Seperti kita dipenjara, lebih baik diam dengan begitu akan lebih cepat mendapatkan remisi kelakuan baik. Sama kan? Bedanya, kalau kamp kosentrasi menewaskan berjuta juta orang secara langsung dan mengenaskan, kampus atau sekolah menewaskan berjuta juta orang secara tak langsung. Ko bisa? Ya bisalah. Didalam kelas kita didik untuk sebisa mungkin melupakan hal hal diluar kampus kita. Contoh kemiskinan yang katanya mencapai lebih dari 32 juta jiwa,  mahasiswa apa mau ambil perduli? Kemarinpun  menurut kompas 26 agustus 2010, ada 11, 7 juta anak yang putus sekolah. Betapa mengenaskanya sekolah itu, yang kaya boleh menikmati surga seperti kasus terpidana SUAP ayin atau artalyta suryani, beberapa waktu yang lalu yang isi penjaranya seperti kamar hotel bintang lima. Sementara di tempat dan waktu yang lain, ada anak rela gantung diri karena tak bisa melanjutkan sekolahnya. Anehkan? Atau sebuah ironi?.
Lihat SMI Semarang Office di peta yang lebih besar