Sunday, March 22, 2009

Menolak Kapitalisasi Pendidikan, Menuntut Perwujudan Pendidikan Gratis dan Berkualitas Kepada Negara

Oleh Toni Triyanto

Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) yang diperingati tanggal 2 Mei 2007 ini merupakan sebuah momentum yang tepat untuk menggalang konsolidasi seluruh gerakan demokratik dalam mendorong kampanye tentang perjuangan pendidikan nasional di Indonesia.

Karena persoalan pendidikan tidak hanya menjadi kepentingan kaum pelajar maupun pemuda mahasiswa saja melainkan menjadi persoalan dari seluruh lini sektor rakyat, hal ini menyangkut kepentingan anak-anak kaum buruh dan tani, anak-anak jalanan di perkotaan yang notabene mereka semua tidak bisa mengenyam pendidikan. Artinya bahwa semua sector rakyat sangat berkepentingan untuk turut mendukung kampanye tentang penolakan terhadap kapitalisasi pendidikan dan negara harus bertanggung jawab untuk mewujudkan pendidikan nasional yang gratis, ilmiah, demokratis dan bervisi kerakyatan.

Dalam konstitusi negara kita atau UUD 1945 tepatnya pada alenia keempat tentang tujuan nasional telah jelas dan sangat terang disebutkan bahwa “Negara bertanggung jawab untuk mencerdaskan kehidupan bangsanya” namun hal tersebut tidak pernah direalisasikan oleh rezim demi rezim yang pernah berkuasa, sejak Pemerintahan Soeharto sampai dengan pemerintahan SBY-JK !. Justru yang terjadi adalah sebuah upaya untuk melakukan kapitalisasi pendidikan atau yang lazim kita sebut sebagai “barang dagangan” hal ini sebenarnya mencerminkan karakter pemerintahan kita hari ini yang mana selalu membuka peluang atas terjadinya liberalisasi dan privatisasi semua sector penting yang sebenarnya sangat dibutuhkan oleh rakyat! Negara dibawah kepemimpinan pemerintahan SBY-JK selalu memposisikan dirinya sebagai regulator atas kepentingan modal imperialisme, sehingga banyak melahirkan kebijakan dalam bentuk UU yang hari ini sangat menindas rakyat. Padahal kalau kita tengok pada sector pendidikan maka sudah banyak pula Peraturan Pemerintah, Undang-Undang, maupun yang masih bersifat rancangan telah tersaji didepan mata sehingga semakin membuat ruwet persoalan didunia pendidikan nasional kita (PP.60 Tahun ’99 tentang Perguruan Tinggi, PP. 61 Tahun ’99 tentang Perguruan Tinggi Negeri Sebagai BHMN, UU SISDIKNAS No 20 Tahun 2003, RUU BHP).

Pendidikan yang sangat mahal, kurikulum yang tidak mencerdaskan, situasi sekolah maupun kampus yang tidak demokratis maupun fasilitas yang ala kadarnya adalah fenomena sehari-hari yang tergambar dari system pendidikan nasional di Indonesia. Ketika berbicara tentang dunia pendidikan tentunya tidak lepas dari tingkat kualitas, persoalan biaya, regulasi-regulasi, anggaran yang semuanya itu adalah menjadi tanggung jawab negara. Perkembangan kesadaran masyarakat hari ini semakin terilusi oleh praktek-praktek kapitalisasi pendidikan sehingga memunculkan perspektif bahwa pendidikan yang berkualitas adalah pendidikan yang mahal, itulah arah kekeliruan berpikir masyarakat kita yang harus segera di benahi. Memang kita tidak bisa menyalahkan masyarakat sepenuhnya namun kita harus menuntut hak kita kepada negara untuk bertanggung jawab !, Alhasil yang terjadi, pendidikan dikelola bak perusahaan di mana pendidikan yang berkualitas diperuntukan bagi pihak yang punya kemampuan finansial. Sementara orang miskin akan tetap dengan kondisinya yang terbelenggu kebodohan, dari sini negara terkesan ingin melepas tanggung jawab atas terwujudnya pendidikan gratis dan berkualitas bagi seluruh rakyat Indonesia. Ujung semua ide Depdiknas, pada Kabinet Indonesia Bersatu, sepertinya menuju pada terwujudnya liberalisasi dan privatiasi pendidikan (Kapitalisasi), di mana tanggung jawab negara dikurangi, bahkan dilepas sama sekali. Hal simple yang bisa kita lihat adalah bagaimana negara dalam hal ini adalah pemerintah memberikan subsidi pendidikan ?. Sejak lahirnya UU SISDIKNAS No 20 Tahun 2003 sebenarnya sudah tergambar bagaimana arah pendidikan nasional kita ? Sangat jelas Undang-Undang Sisdiknas justru hendak menggerakkan pendidikan nasional kita pada arah liberalisasi, Ini terlihat pada Pasal 9 UU Sisdiknas, yang menyatakan bahwa “”masyarakat berkewajiban memberikan dukungan sumber daya dalam penyelenggaraan pendidikan”, dan Pasal 12 Ayat 2 (b) yang memberi kewajiban terhadap peserta didik untuk ikut menanggung biaya penyelenggaraan pendidikan, terkecuali bagi yang dibebaskan dari kewajibannya sesuai undang-undang yang ada. Gambaran di atas terasa aneh, sebab dalam UUD 1945 yang diamandemen, menyatakan secara tegas pada Pasal 31 Ayat (2), “”setiap warga Negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya”. Hal itu dipertegas di Ayat (4), “Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari anggaran pendapatan dan belanja Negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional”. Apakah hal itu juga sudah cukup untuk membiayai semua kebutuhan pendidikan kita, bahkan aturan tersebut masih di ingkari oleh pemerintah karena subsidi yang diberikan belum mencapai angka yang ditentukan. Dalam RAPBN 2007 misalnya, sektor pendidikan hanya mendapatkan alokasi 10.3% atau Rp 51,3 dari total belanja pemerintah pusat sebesar Rp 746,5 triliun atau 21,1% dari PDB. Meskipun ada peningkatan dari anggaran yang sebelumnya Rp 43,9 trilyun (RAPBN-P 2006). Jumlah tersebut sangat minim dibandingkan pengeluaran untuk pinjaman luar negeri (utang) berupa pinjaman program dan pinjaman proyek sebesar Rp 35,9 triliun, dan pembayaran cicilan pokok utang luar negeri sebesar Rp 54,1 triliun atau 36,9 persen dari total APBN. Padahal utang ini yang membuat anggaran negara defisit.

Sekali lagi pada Peraturan Pemerintah penjelas dari UU Sisdiknas Pasal 3 Ayat (3), dengan menyatakan bahwa “setiap warga negara usia wajib belajar berhak mendapatkan pelayanan program wajib belajar yang bermutu tanpa dipungut biaya”. Penerapan undang-undang di bawah UUD 1945 yang mengamanatkan pelaksanaan pendidikan dasar gratis, ternyata sudah diakui pemerintah sendiri akan ketidakmampuannya!!. Hal itu tertuang dalam Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) yang menyatakan dengan tegas bahwa pemerintah belum mampu menyediakan pelayanan pendidikan dasar secara gratis (RPJM, halaman IV). Hal itu diungkap pada Peraturan Pemerintah Pasal 13 Ayat (3), “”Masyarakat dapat ikut serta menjamin pendanaan penyelenggaraan program wajib belajar pada satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah, pemerintah daerah, maupun masyarakat”.

RUU BHP Sebagai Kunci Kapitalisasi Pendidikan

Banyak hal yang harus kita waspadai terkait dengan isi RUU BHP, karena sangat jelas bahwa sejak munculnya UU Sisdiknas yang diasumsikan sebagai tahap liberalisasi, maka tahap selanjutnya hendak di naikkan greatnya menuju level privatisasi pendidikan yang salah satu instrumennya adalah Badan Hukum Pendidikan. Memang sebenarnya upaya ini sudah disiapkan secara sistematis yang rangkaiannya sudah dijalankan melalui terbitnya PP No 60 Tahun 1999 tentang Pendidikan Tinggi, PP No 61 tahun 1999 tentang Penetapan Perguruan Tinggi Negeri sebagai Badan Hukum Milik Negara, PP No 151 tahun 2000, PP No 152 Tahun 2000, PP No 153 Tahun 2000, PP 154 tahun 2000, PP No 06 tahun 2004 yang semuanya menjadi legalitas dari pem-BHMN-an UI, ITB, UGM, IPB, UNAIR, UPI.

Hal yang cukup memprihatinkan terlihat dalam Pasal 1 Ayat (1) RUU BHP yang berbunyi, “Badan Hukum Pendidikan (BHP) adalah badan hukum perdata yang didirikan oleh pemerintah, pemerintah daerah, atau masyarakat, berfungsi memberikan pelayanan pendidikan, berprinsip nirlaba, dan otonom”. Kemudian pada Pasal 36 Ayat (1), secara terus terang pemerintah menyatakan bahwa pendanaan awal sebagai investasi pemula untuk pengoperasian Badan Hukum Pendidikan Dasar dan Menengah (BHPDM) berasal dari masyarakat maupun hibah, baik dari dalam atau luar negeri. RUU BHP sebenarnya ingin menjadikan perguruan Tinggi (PT) layaknya seperti Perseroan Terbatas (PT) yang didalamnya juga membuka peluang investasi pihak swasta melalui mekanisme Majelis Wali Amanah (MWA) yang terdiri dari perwakilan pemerintah, perwakilan satuan pendidikan atau rektorat, dan dari masyarakat atau pihak swasta, yang dimaksud dengan perwakilan masyarakat disini adalah investor.

Dalam RUU ini juga disebutkan bahwa BHP dapat melakukan investasi. Untuk investasi yang menghasilkan pendapatan tetap seperti deposito, Sertifikat Bank Indonesia, obligasi, reksadana, dan produk keuangan lain yang resikonya terukur dan rendah, cukup dikelola melalui suatu unit manajemen aset di bawah MWA, dan tidak diperlukan badan hukum tersendiri di dalam BHP. Investasi pada kegiatan usaha yang resikonya dapat membahayakan keberlanjutan BHP, harus dijalankan dengan mendirikan badan hukum dengan tanggung renteng sebatas penyertaan modal BHP ke dalam badan hukum tersebut, artinya sangat jelas bahwa yang banyak diatur didalamnya adalah melulu mengenai pendapatan dan keuntungan semata yang indikasinya sangat terang bahwa BHP akan menegasikan fungsi satuan pendidikan sebagai fungsi social dan digeser menjadi alat untuk mengeruk keuntungan sehingga untuk melanggengkan pengelolaannya maka biaya pendidikan akan semakin mahal dan sangat memberatkan mahasiswa.

MWA juga diposisikan sebagai pengambil kebijakan tertinggi dan mempunyai fungsi untuk mengelola hal-hal yang bersifat non akademis karena memang secara prinsip hanya memikirkan keuntungan dan tidak memikirkan bagaimana peningkatan kualitas pendidikan, makanya kemudian juga diatur bahwa representasi di MWA 2/3 nya bukan berasal dari perwakilan satuan pendidikan, melainkan dari perwakilan masyarakat atau swasta yang notabene mempunyai kepentingan yang sangat besar dalam hal investasi. BHP juga mensyaratkan bahwa hal-hal yang menyangkut kekhasan perguruan tinggi dapat diatur dalam Anggaran Dasar BHP yang bersangkutan, inilah yang diartikan sebagai manifestasi dari otonomi kampus yang selalu bergerak sesuai dengan kemauan dan kepentingannya sendiri. Selain itu dalam pasal 28 ayat (1) juga dijelaskan bahwa BHP bisa melakukan penggabungan atau marger atas badan hukum satuan pendidikan yang lain, jadi gambaran kedepan bahwa kampus atau satuan pendidikan yang tidak mempunyai modal cukup kuat dalam pengelolaannya akan segera gulung tikar dan dibubarkan untuk kemudian digabungkan dengan kampus BHP yang modalnya lebih kuat. BHP juga dapat membentuk unit lain di luar MWA, Dewan Audit atau yang lainnya untuk menunjang kegiatan lain yang relevan dengan pendidikan, misalnya BHP dapat membentuk unit usaha yang bertujuan menunjang pendanaan penyelenggaraan pendidikan dan menghasilkan keuntungan tambahan.

Kobarkan Perjuangan Demokratisasi Kampus !!

Selanjutnya hal yang saat ini cukup memprihatinkan adalah mengenai represifitas yang dilakukan oleh pihak birokrasi kampus terhadap mahasiswa baik mengenai pelarangan terhadap mahasiswa untuk berorganisasi seperti yang terjadi di kampus UAD Yogyakarta melalui Surat Edaran Rektor, bertanggal: 27 September 2006, bernomor : R/465/A.10/IX/2006, tentang Pembinan Organisasi Kemahasiswaan UAD, yang isinya :

1. UAD jelas tidak mungkin membiarkan organisasi ekstra kampus berdiri di UAD.

2. Melarang organisasi ekstra kampus selain IMM, menggunakan nama Universitas Ahmad Dahlan dan fasilitas-fasilitas milik UAD, termasuk pemasangan pamflet-pamflet, baik didalam maupun diluar UAD.

Selain itu juga Persoalan yang terjadi di Kampus IKIP Mataram yang kian hari kian menumpuk dan semakin menambah beban yang harus di pikul oleh Mahasiswa IKIP Mataram. Persoalan ini juga kemudian memakan korban dengan terbunuhnya kawan Ridwan karena kebiadaban preman bayaran pihak birokrasi kampus, yang sampai hari ini kasusnya belum selesai, terakhir juga sempat terjadi tindakan represifitas yang di lakukan oleh aparat kepolisian Mataram terhadap mahasiswa IKIP Mataram, hal tersebut juga lahir akibat kebijakan kampus yang tidak demokratis. Beberapa persoalan kampus tersebut hanya sebagian kecil dari banyaknya kampus yang sampai hari ini tetap memasung nilai-nilai demokrasi. Maka sudah saatnya mahasiswa yang tergabung dalam ormass-ormass untuk membangun persatuan di tiap-tiap kampus untuk menuntut hak-hak social ekonominya dengan jalan menggelorakan perjuangan massa dikampus.

Langkah-langkah yang harus dilakukan oleh Negara dalam merealisasikan Pendidikan Gratis. Negara sebenarnya mampu untuk merealisasikan pendidikan gratis ketika mau melaksanakan beberapa program-program strategis yang sangat besar manfaatnya bagi kesejahteraan rakyat, beberapa program strategis yaitu :

1. Laksanakan Reforma Agraria Sejati

2. Bangun industrialisasi nasional yang kerakyatan

3. Tolak campur tangan IMF, WTO, WB dan putuskan hubungan diplomatik dengan negara-negara Imperialis

Serta beberapa program sumber pembiayaan negara, yaitu :

4. Menyita semua asset koruptor

5. Melakukan Nasionalisasi aset-aset Penting (Pertambangan dll)

6. Bersedia melakukan penghapusan utang luar negeri yang selama ini selalu menguras APBN.

Yang kemudian hasil-hasilnya di alokasikan untuk membiayai pelayanan social terhadap rakyat termasuk salah satunya pendidikan. Namun pemerintahan yang seperti apa yang mampu melaksanakan program-program tersebut ? Apakah pemerintahan SBY-JK juga bersedia? Tentunya yang sanggup melaksanakan hanyalah pemerintahan yang bersifat kerakyatan dan bukan pemerintahan yang dipimpin oleh borjuasi komparador. Untuk itu mari Pererat persatuan dan majukan perjuangan rakyat tertindas untuk melawan domonasi IMPERIALISME dan Rezim boneka SBY-JK !

TITIK BALIK TRANSISI DEMOKRASI


Negara saat ini masih saja melakukan penindasan sebagai cara untuk melakukan mendominasi terhadap rakyatnya. Penembakan, penggusuran, dan perampasan hak-hak rakyat masih saja dilakukan. Dengan dalil untuk pembangunan semuanya bisa terjadi.

Dominasi penguasa yang mengatasnamakan negara terhadap rakyatnya belum pernah menghasilkan efek yang cukup baik. Lihat saja bagaimana rezim fasis diberbagai negara yang kemudian dengan mudahnya menjadi musuh bersama dari rakyatnya saat mereka mulai melakukan dominasi terhadap kehidupan rakyat. Fasis dalam hal ini, tidak kemudian diartikan sebagai maraknya kekerasan fisik semata, tapi juga dengan adanya watak - watak anti demokrasi yang dilakukan oleh pemerintah, dan usaha untuk melakukan penyeragaman terhadap pola berpikir masyarakat. Kedua watak terakhir justru membuat fasis menjadi lebih kejam daripada hanya sekedar kekerasan fisik, tapi juga menciptakan kekerasan dalam bentuk penyeragaman pola pikir manusia. Berkaca pada zaman keemasan seorang Hitler yang mampu mendominasi kehidupan ras Arya yang merupakan bangsa asli jerman untuk melakukan pembantaian terhadap ras Yahudi di hampir sepertiga belahan eropa. Lalu melihat seorang Rafael Trujillo di Republik Dominika yang mengkungkung rakyatnya dengan berbagai aturan dan kekerasan dengan menggunakan perangkat negaranya. Cukup menjadi sebuah alasan bahwa sebuah dominasi terhadap kedaulatan secara mutlak oleh negara tidak akan pernah membawa sebuah keuntungan bagi rakyatnya. Maraknya kekerasan yang dilakukan oleh sebuah negara terhadap rakyatnya justru menghasilkan penindasan dan ketidaksejahteraan terhadap rakyatnya. Begitu juga dengan Indonesia yang mengaku sebagai sebuah negara demokratis pun ternyata pernah berlaku seperti jerman pada zaman Hitler. Rejim Orde Baru (Orba) dengan suksesnya berhasil melakukan beragam kekerasan struktural terhadap rakyatnya. Bahkan sikap otoriter dari rejim tersebut berhasil menorehkan sebuah prestasi pelanggaran HAM yang sungguh luar biasa. Sebut saja kasus-kasus pembantaian tahun 1965 - 1966 dengan tema “pembersihan” terhadap PKI, yang konon nyaris melangkahi jumlah korban yang diciptakan oleh seorang Polpot di kamboja. Lalu kasus penembakan demonstran di Timor - Timur (sekarang Timor Leste) yang memakan 200.000 korban jiwa pada tahun 1975 mengutip dari buku militer dan politik di indonesia karangan Harold Crouch. Bahkan saat-saat terakhir dari rejim paling fasis sepanjang sejarah Indonesia ini, masih sempat melakukan pelanggaran dengan menembaki mahasiswa yang meminta perubahan pada tahun 1997-1998, dan banyak lagi kasus penculikan aktivis. Animo berpolitik yang selalu diterapkan oleh pemerintah Orba tak pernah lepas dari apa yang namanya kekerasan. Seolah fasis di Eropa telah membiak dalam ranah budaya Indonesia yang notabene punya akar punya budaya gotong royong. Kebiasaan untuk melakukan kekerasan dengan perangkat negara sebagai alatnya adalah ciri khas dari iklim berpolitik di Indonesia dalam kurun waktu 32 tahun Orba berkuasa. Munir, seorang aktivis HAM semasa hidupnya dalam sebuah film dokumenter bernah bertutur “...dalam menentukan kebijakan saja menggunakan cara setengah plus satu, yang berarti dengan menculik satu orang anggota dewan maka kebijakan secara otomatis akan sah...” betapa mudahnya politik ala Orba ini dijalankan. Dengan mengandalkan aparat militernya, maka jalan kekerasan pun dipakai dalam melanggengkan kekuasaan, bahkan juga untuk menyingkirkan lawan politik pada masa itu. Penyeragaman pola pikir dan sejarah yang manipulatif Masa orde baru yang di idamkan sebagai sebuah kebangkitan berpolitik setelah peristiwa 65 pun ternyata hanya sebatas mimpi. Sesuai dengan sebutannya “baru” yang seharusnya identik dengan kebaikan dan keunggulan dari pada sebelumnya. Orde baru justru menciptakan sebuah ketertutupan terhadap rakyatnya. Hal ini diperparah lagi dengan diciptakannya sebuah frame berpikir yang sesuai dengan kebutuhan pemerintah pada masa itu. Yaitu dengan melakukan penyeragaman pola pikir dan watak masyarakat Indonesia selama hampir 32 tahun lamanya. Pemaksaan terhadap pola pikir masyarakat ini dapat dilihat dari adanya TAP MPR no.XXV tahun 1966 tentang pelarangan hal-hal yang berbau Marxis dan Leninis di Indonesia dengan alasan dapat mengganggu stabilitas negara karena dianggap identik dengan paham komunis. Padahal secara teoritik belum ada jaminan bahwa dengan mempelajari marxis, ketakutan tersebut akan terjadi. Selain hal tersebut, pada masa Orba juga telah terjadi manipulasi sejarah Indonesia. Dimana sejarah yang diangkat adalah sejarah Soeharto sebagai tokoh penggerak kemerdekaan indonesia. Hal ini dilakukan guna membangun pencitraan bahwa Soeharto adalah seorang figur yang sempurna sebagai seorang pemimpin Indonesia pada masa itu. Padahal apabila ditelaah lebih lanjut pola kebijakan indonesia pada masa Orba adalah pola kebijakan yang selalu berhujung pada penjualan aset bangsa kepada modal asing. Terbukti dari kebijakan pertamanya saat ia diangkat menjadi presiden adalah merancang UU Penanaman Modal Asing tahun 1966. Praktek penyeragaman pola pikir yang dilakukan oleh rejim orba dibawah kepemimpinan Soeharto terus berlanjut merambah ke sektor pendidikan ideologi negara dengan mengambil pancasila sebagai satu-satunya dasar negara, sebagai resep utama dalam usahanya untuk mengukuhkan kekuasaannya. Dalam konteks ini, Soeharto sebagai pimpinan rejim orba dengan mudahnya menghancurkan elemen - elemen masyarakat baik ormas maupun orpol yang berideologi diluar pancasila seperti PKI, Masyumi, PII, dll. Lebih dari itu rejim orba juga berusaha untuk membangun sebuah kekuatan yang bersandarkan pada aparat birokrasi-militer yang apolitis untuk mengatur ketertiban dan ekonomi negara. Dengan mengukuhkan pancasila sebagai azas tunggal, maka rejim orba berhasilkan menghancurkan lawan politiknya secara vulgar. Selain banyaknya elemen yang kemudian terpaksa bubar, banyak juga tokoh-tokoh politik yang kemudian disingkirkan karena menolak adanya azas tunggal tersebut. AA.GN.Dwipayana menandaskan bahwa akibat adanya pembangunan opini secara paksa oleh rejim orba telah menciptakan sebuah budaya pragmatis ditingkatan masyarakat. Dia juga menambahkan “akibat dari pola pikir yang terbangun adalah pragmatis, maka akan sangat susah untuk melakukan sebuah transformasi terhadap masyarakat”. Hal ini dikarenakan telah mengakarnya usaha pemerintah dalam membangun sebuah pembenaran terhadap apa yang telah dilakukan selama memerintah. Hampir sama dengan Dwipayana, Baskoro T Wardaya mengatakan bahwa rejim orba tidak hanya melakukan pemaksaan dibidang pola pikir saja tapi juga dalam pemalsuan sejarah. Seperti dikutip dari tulisannya dalam buku “Soeharto Sehat” lelaki yang akrab dengan sebutan Romo Basko ini mengatakan bahwa penyebutan istilah Orde Lama (Orla) yang dilakukan secara sepihak agar kesan yang terbangun pada masa itu adalah kebobrokan, korup, dan tidak berkompeten dalam menyelenggarakan negara. Hal ini dilakukan untuk menutupi kemampuan sebenarnya dari rejim Orba yang bersifat militeristik dan otoriter dalam memerintah. Tiga puluh dua tahun lamanya Orba berkuasa tanpa kemampuan untuk mengelola kebutuhan rakyatnya sehingga terjadi banyak sekali ketidakberesan. Selama berkuasa rejim Orba hanya berorientasi pada kebutuhan kelompoknya saja tanpa pernah memperhatikan kesejahteraan rakyatnya. Kebutuhan penguasa dan kelompoknya menjadi sebuah kebutuhanyang primer dan wajib untuk dipenuhi, sedangkan kebutuhan rakyatnya adalah kebutuhan sekunder yang apabila dianggap perlu harus dipenuhi. Pola kebutuhan yang tidak terpenuhi akhirnya membuat rakyat menjadi jenuh. Kejenuhan tersebut berujung pada aksi massa besar - besaran yang tergabung oleh masyarakat dan mahasiswa pada pertengahan tahun 1998 yang kemudian menjadi tahun terakhir berkuasanya rejim orba. Peristiwa tersebut akhirnya mampu menguak kebusukan - kebusukan yang diciptakan oleh rejim orba selama ini. Politik Mahasiswa dan Pengaruhnya Dalam kurun waktu 32 tahun, peran mahasiswa yang seharusnya menjadi penggerak dalam proses transformasi menuju kesadaran sosial dan politik masyarakat pun menjadi terhambat. Melihat dari sejarah indonesia sendiri peran mahasiswa dalam memperoleh kemerdekaan sampai meruntuhkan rejim Orla yang dipimpin oleh Soekarno tak bisa dinisbikan. Hal tersebut dengan sendirinya berhenti. Saat rejim Orba berkuasa banyak sekali kebijakan dan perlakuan yang kemudian mengekang aktifitas politik mahasiswa. Mahasiswa sebagai salah satu dari pilar demokrasi tidak lagi dapat melakukan kritik dan pengawasan terhadap jalannya pemerintahan sebagaimana mestinya. Adanya penculikan, dan aksi-aksi kekerasan yang disertai dengan penembakan terhadap mahasiswa menyebabkan aktifitas mahasiswa tidak dapat berjalan dengan massif. Selain itu lahirnya kebijakan NKK-BKK yang diciptakan oleh menteri pendidikan Daud Jusuf pasca tragedi Malari tahun 1977 secara otomatis menjadi sebuah hantaman terberat bagi gerakan mahasiswa dan politik yang diusung. Akibat dari kebijakan tersebut aktifitas mahasiswa yang semula dilakukan secara frontal dan terbuka menjadi tidak mungkin dilakukan. Pasca Malari aktifitas politik mahasiswa mulai beralih pada kekuatan pers mahasiswa sebagai corong politik dalam melakukan transformasi menuju kesadaran. Para aktivis mahasiswa mulai berteriak melalui tulisan dalam usahanya untuk membidani sebuah perubahan. Romo Basko mengatakan bahwa aktivisme mahasiswa yang bersifat heroik tidak lagi dapat menjadi sebuah pertimbangan terhadap masyarakat, hal ini karenakan tekan dan ancaman yang ditawarkan oleh rejim Orba lebih keras. Namun, hal tersebut tidak kemudian menjadikan mahasiswa sebagai macan ompong. Tragedi 98 telah membuktikan bahwa dengan kekuatan masyarakat dan didukung oleh kekuatan mahasiswa telah mampu membuat Soeharto lengser keprabon” yang sekaligus juga menutup buku hitam kekuasan orde baru yang penuh dengan penindasan dan kekejaman terhadap rakyatnya. Masa pemerintahan rejim orde baru lantas berakhir dan diganti dengan masa reformasi yang dipimpin oleh Habibie yang juga pentolan dari orde baru. Almarhum Pramoedya Ananta Toer pernah mengatakan “kejadian tahun 98 adalah sebuah kesuksesan awal dimana kekuatan massa mampu merobohkan sebuah rejim yang sangat militeristik tanpa harus menggunakan senjata ...”. Seperti yang diungkapkan oleh Tan Malaka dalam bukunya Massa Actie bahwa dalam menciptakan sebuah revolusi sosial dibutuhkan peran serta masyarakat dengan kesadaran yang penuh, dan dalam jumlah yang banyak. Oleh karenanya kekuatan mahasiswa tidak dapat disepelekan. Sebagai elemen yang paling dekat dengan kondisi sosial masyarakat, mahasiswa selayaknya menjadi elemen yang paling kuat untuk memulai sebuah proses transformasi. Indonesia pasca reformasi 1998 Apabila melihat indonesia pasca reformasi, tidak banyak terjadi perubahan yang benar-benar mendasar dalam struktur masyarakat termasuk terhadap mahasiswa. Terbukti kekerasan yang dilakukan oleh negara terhadap masyarakat masih menghantui. Sebut saja kasus pemukulan mahasiswa di Makasar tahun 2004 sampai kasus penggusuran yang menggunakan aparat militer sebagai garda depannya. Tahapan demokrasi yang diidamkan dengan adanya reformasi pun ternyata tidak pernah terjadi. Keran - keran demokrasi sampai reformasi terjadi masih tetap menjadi impian semata dan kekerasan serta penindasan yang dilakukan oleh negara terus saja berlangsung. Apabila sebelum terjadinya reformasi kekerasan dilakukan secara terbuka dengan menggunakan aparatur militer negara, maka setelah reformasi kekerasan terus dilakukan dengan cara yang lebih halus. Romo Basko melalui wawancara yang dilakukan oleh Keadilan via telephone mengatakan bahwa dalam melakukan kekerasan pasca reformasi negara memakai cara alternatif seperti; dengan melakukan deregulasi aturan dan kebijakan, yang kedua dengan menggandeng para kaum intelektual kedalam lingkup pemerintahan sehingga suara kritis dapat dibungkam. Dengan cara melakukan deregulasi aturan dan kebijakan pemerintah sukses melakukan hegemoni terhadap masyarakatnya. Bisa dilihat beberapa kebijakan yang tidak populis yang dikeluarkan oleh negara pasca reformasi. Kebijakan-kebijakan seperti; kenaikan harga BBM, dikeluarkannya Perpres No. 36 Tahun 2005 yang secara tak langsung telah melegalkan penggusuran warga dengan mengatasnamakan keperluan umum. Kebijakan selanjutnya yang paling kontroversial adalah kebijakan import beras, yang jelas-jelas apabila dilakukan akan membunuh mata pencarian jutaan petani di Indonesia. Anehnya kebijakan - kebijakan yang tidak menguntungkan kondisi rakyat indonesia ini terus saja berlanjut dan dilaksanakan sepenuh hati oleh pemerintah. Terbukti dengan tidak adanya usaha untuk mencabut kebijakan tersebut. Selain beberapa aturan diatas, para buruh pun semakin tersiksa dengan dikeluarkannya UU No 13 Tahun 2003 tentang tenaga kerja. Hal tersebut semakin mengukuhkan bahwa negara tidak hanya melakukan pembelengguan terhadap rakyatnya tapi juga melakukan perampasan hak - hak rakyatnya. Banyak aset bangsa yang kemudian digadaikan oleh pemerintah kepada modal asing. Mulai dari adanya privatisasi air yang jelas-jelas menjadi kebutuhan paling mendasar, lalu digadaikannya saham Pertamina kepada negara asing dengan alasan untuk melunasi hutang - hutang operasional Pertamina. Tidak berhenti sampai disitu, pemerintah yang dulu menggembar-gemborkan industri kecil dan menengah kini justru menjadi terbalik. Disahkannya UU Penanaman Modal (UUPM) oleh DPR dan pemerintah, justru membuat usaha kecil dan menengah harus gulung modal. Karena UUPM akan mempermudah masuknya modal asing dalam bentuk investasi juga akan mempermudah bidang perpajakan bagi mereka. Jelas-jelas bidang perpajakan adalah salah satu usaha untuk memfilter modal asing justru malah dibuka secara lebar. Yang selanjutnya yaitu dengan menggandeng para intelektual untuk masuk kedalam pemerintahan. Menurut Romo Basko hal ini adalah salah satu cara untuk membungkam dengan cara halus para aktor intelektual. Tokoh - tokoh yang menjabat dipemerintahan seperti Sonny Keraf, Mahfud MD, S. Budhisantioso dan lainnya malah merupakan sebagian kecil kaum cendikiawan yang menjadi tim sukses pada pemilu tahun 2004 (kompas 10 juni 2004). Hal seperti ini membuat gerak transformasi rakyat menuju kesadaran menjadi lebih sulit. Karena para intelektual sebagai salah satu tulang punggung demokrasi menjadi tidak bisa diandalkan. Selain itu, para intelektual juga lebih senang menghamba pada kekuasaan daripada mendorong perubahan terhadap rakyatnya. Dalam buku “dibawah bendera revolusi” Soekarno lebih senang menyebut mereka dengan istilah pelacur intelektual. Oleh karena itulah kemudian George Junus Adi Condro dalam acara bedah buku “Soeharto Sehat” diradio Eltira menyatakan bahwa sampai saat ini otoritarianisme negara pasca reformasi belum pernah berakhir. Matinya keran demokrasi untuk rakyat ditambah dengan banyaknya penindasan yang dilakukan oleh rakyat membuktikan bahwa rejim orba telah berakhir tapi birokrasi militernya belum habis. Menatap indonesia kedepan Pasca reformasi tidak kemudian membuat Indonesia menjadi lebih demokratis. Kekerasan masih terus menghantui. Usaha untuk menghegemoni rakyatnya melalui aturan yang mengikat masih terus dilakukan. Ari Dwipayana mengatakan, untuk melakukan sebuah perubahan terhadap sistem perpolitikan indonesia agar lebih terbuka haruslah dengan transformasi secara penuh. Dalam hal ini dibutuhkan gerakan dari masyarakat, mahasiswa, media massa, elemen masyarakat dan kaum intelektual yang masih pro terhadap rakyat tertindas. Menurut Dhaniel Dhakidae “ jika seseorang masuk kedalam lingkaran pemerintahan, tapi ia tak bisa memperjuangkan kebenaran dan keadilan maka ia bukanlah seorang intelektual”. Ada beberapa cara untuk melakukan transformasi menurut Romo Basko yaitu, dengan membangun budaya kritis, melakukan counter wacana, dan menciptakan sebuah resistensi untuk membongkar dominasi negara yang angkuh terhadap rakyatnya. Oleh karenanya, tugas tersebut tidak kemudian menjadi tugas segelintir orang saja melainkan seluruh rakyat indonesia. Ada sebuah pertanyaan yang harus dijawab bersama-sama, sampai kapan kita harus hidup dalam kungkungan hegemoni negara yang kejam? Sebab perubahan hanya akan menjadi sebuah mimpi tanpa langkah konkret. Langkah awal bagi pemerintah adalah dengan menghargai pendapat kaum yang tertindas bukan membungkamnya. Melakukan perubahan tidaklah dengan cara mengganti pimpinannya, atau dengan merubah sistemnya. Tapi dengan melakukan perubahan dari rakyat yang kaku menuju rakyat yang sadar akan hakikatnya sebagai subjek politik yang bebas berpolitik, berpendapat dan berserikat. Karena yang berdaulat dalam negara bukanlah penguasa dan kekuasaannya, melainkan rakyat dengan segala daya upayanya. Oleh : Muhammad Harir

MELIHAT LEBIH DEKAT


Minggu pagi, seperti biasa, sekitar jam 9 pagi,, aku berjalan menuju sebuah jembatan besar yang sedang direnovasi di tengah kota... Dengan beralaskan sendal jepit dan tas ransel dipunggungku, aku mulai menuruni jembatan besar tersebut menuju sebuah lokasi dibawahnya. Aku memang sedikit berhati-hati berjalan karena kondisi dan tekstur tanahnya yang licin bekas diguyur hujan semalam. Lokasi yang aku tuju memang sangat jauh dari kemewahan....

Temanku terbiasa hang out menghabiskan waktu hari minggu kami untuk mengajar dan bermain bersama anak-anak yang mungkin kurang beruntung dari anak-anak lain seusianya…

Yupz, di kolong jembatan tersebut terdapat banyak sekali anak-anak jalanan yang mengalami putus sekolah karena ketidak mampuan mereka secara finansial untuk melanjutkan sekolah. Untuk itulah aku dan beberapa orang temanku mencoba menjadi sukarelawan mengajar anak-anak tersebut membaca, menulis, dan lain-lain, agar mereka juga mendapatkan pendidikan meskipun mereka tidak mampu duduk di bangku sekolah.



Ada sekitar 50 orang anak. Usia mereka bervariasi, antara 4 sampai 15 tahun,, usia dimana mereka seharusnya masih mengenyam bangku sekolah TK, SD, atau SMP.. Namun apa daya, kondisi kehidupan dan hambatan ekonomilah yang akhirnya membuka mereka harus cukup puas menjadi pengamen jalanan atau membantu orangtua mereka mengemis, tak jarang pula mereka diajari menjadi pencopet atau pencuri oleh orang dewasa yang lebih tua usianya,, sangat miris memang...

Untuk itulah, dari program yang aku dan teman-temanku jalankan saat ini, kami berupaya untuk mendidik mereka agar tidak terjerumus pada perbuatan negatif yang bukan saja dapat merugikan diri sendiri, tapi juga dapat berdampak buruk bagi orang lain... Bagiku, mengajar anak-anak jalanan memang memiliki keunikan tersendiri.. Mereka berbeda dari anak-anak seusianya, dengan usia yang relatif kanak-kanak mereka memang sudah mengecap kerasnya dunia, kerasnya persaingan di jalanan,, hampir tidak ada waktu bagi mereka untuk bermanja-manja apalagi menikmati permainan yang seharusnya di usia mereka...

Memang agak sedikit sulit untuk mengajar mereka membaca atau berhitung, kebetulan karena aku memang lebih suka mengajar bidang eksakta, maka aku memilih mengajar bidang matematika. Pada umumnya anak-anak tersebut memang menolak ketika diminta untuk belajar,, alasannya capek, malas, gak ngerti, dan lain sebagainya,, namun itu merupakan tantangan tersendiri untukku, sehingga biasanya aku selingi dengan beberapa permainan agar mereka mau belajar. Tidak jarang pula mereka baru mau belajar ketika aku sudah membawakan mereka roti, kue-kue atau sesuatu yang menguntungkan mereka... Sering kali pula mereka baru mau belajar kalau sudah diberi uang,, naaaahh kalo yang terakhir ini aku memang tidak pernah melakukannya, disamping karena tidak mau membiasakan mendidik mereka dengan materi, juga agar membiasakan mereka untuk tidak mengemis pada orang lain...

Namun terkadang tak jarang hambatan terbesar justru berasal dari kedua orangtua mereka sendiri,, orangtua menolak anak-anaknya belajar dengan kami karena beberapa alasan yang menurutku sangat tidak logis… Orangtua mereka mengatakan bahwa anak-anak mereka hanya butuh uang, tidak butuh pendidikan,, waah kacau kan… Tapi yah,, bagi kami itulah nikmatnya sebuah perjuangan, gak seru kalo gak ada hambatannya kan? So, dengan perlahan namun pasti akhirnya kami berhasil meyakinkan orangtua mereka tentang pentingnya sebuah pendidikan, minimal mereka harus bisa membaca, menulis, dan berhitung untuk bekal hidup mereka di masa mendatang…

Yah, memang ada suka dukanya dalam mengajari anak-anak ini,, anak-anak yang tumbuh dan berkembang di jalanan memang terkadang cenderung lebih keras, saling bersaing, dan sedikit lebih liar,, mereka cenderung melakukan sesuatu sesuai dengan apa yang mereka inginkan sendiri terkadang tanpa perduli pada orang lain…. Tapi aku tahu pasti, pada sorot matanya,, tetaplah sorot mata anak-anak lugu yang merindukan kasih sayang dan perhatian dari orang lain… Entah dimanapun, bagiku anak-anak tetaplah anak-anak, dunia yang seharusnya masih memiliki keceriaan. Usia dimana mereka seharusnya masih mendapatkan perlindungan dari orang dewasa…

Ahh,, andaikan saja kita mau melihat lebih dekat…

SERIKAT MAHASISWA INDONESIA TOLAK PEMILU 2009

Serikat Mahasiswa Indonesia (SMI) menggelar aksi di Semarang, Sabtu, untuk menolak Pemilu 2009.

Aksi yang diikuti sejumlah aktivis SMI itu dimulai dengan mengadakan "long march" (jalan kakai) dari masjid Baiturrahman Semarang menuju Bundaran Jalan Pahlawan dan menggelar orasi.

Koordinator aksi Dicky mengatakan, Pemilu 2009 bukanlah pemilu rakyat yang mampu membawa rakyat Indonesia pada perubahan yang berarti, baik secara ekonomi maupun politik.

Sebab, kata Dicky, Pemilu 2009 adalah pemilu kaum borjuis (pemilik modal), pemilu yang diikuti oleh para elit politik dan partai yang menipu rakyat, serta pemilu yang diikuti oleh para koruptor dan pelanggar hak asasi manusia (HAM).

Selain itu, pemilu tidak memberikan peluang bagi kekuatan politik gerakan rakyat dan bukanlah jalan menuju kesejahteraan rakyat, kata Dicky.

"Oleh karena itu, kami menolak Pemilu 2009 dan menyerukan agar dibangun sebuah wadah politik yang dikelola secara mandiri oleh rakyat," katanya.

Humas SMI cabang Semarang Yus Abdi mengatakan, aksi tersebut merupakan bentuk keprihatinan terhadap kondisi bangsa Indonesia.

Ia mengatakan, Indonesia masih menjadi negara yang bergantung pada produk impor dari negara lain dan pemerintahan yang berkuasa selama ini tidak peduli terhadap pendidikan rakyat.

"Kita seharusnya sadar dan berkaca terhadap pengalaman Pemilu 1999 dan 2004 yang tidak memberikan perubahan berarti bagi rakyat," katanya.

Terlebih lagi, kata Yus, dalam Pemilu 2009 ruang gerak hak-hak politik rakyat telah dipersempit oleh kekuasaan, dengan empat paket undang-undang politik yang dikeluarkan oleh legislatif.

"Undang-undang tersebut memaksa rakyat ikut serta dalam pemilu hanya sebagai massa pendukung," kata Yus.

Ia menjelaskan, sebagai solusi terhadap permasalahan tersebut, harus dibangun organisasi politik yang melibatkan buruh tani, mahasiswa, serta elemen rakyat tertindas lainnya dan melaksanakan reformasi agraria secara serius.

"Kemudian, menasionalisasi aset-aset yang menguasai hajat hidup orang banyak di bawah kekuasaan rakyat, menghapus utang luar negeri, serta menyita harta para koruptor untuk menciptakan kesehatan dan pendidikan gratis bagi rakyat," katanya. (Antara)
Lihat SMI Semarang Office di peta yang lebih besar