Sunday, March 22, 2009

TITIK BALIK TRANSISI DEMOKRASI


Negara saat ini masih saja melakukan penindasan sebagai cara untuk melakukan mendominasi terhadap rakyatnya. Penembakan, penggusuran, dan perampasan hak-hak rakyat masih saja dilakukan. Dengan dalil untuk pembangunan semuanya bisa terjadi.

Dominasi penguasa yang mengatasnamakan negara terhadap rakyatnya belum pernah menghasilkan efek yang cukup baik. Lihat saja bagaimana rezim fasis diberbagai negara yang kemudian dengan mudahnya menjadi musuh bersama dari rakyatnya saat mereka mulai melakukan dominasi terhadap kehidupan rakyat. Fasis dalam hal ini, tidak kemudian diartikan sebagai maraknya kekerasan fisik semata, tapi juga dengan adanya watak - watak anti demokrasi yang dilakukan oleh pemerintah, dan usaha untuk melakukan penyeragaman terhadap pola berpikir masyarakat. Kedua watak terakhir justru membuat fasis menjadi lebih kejam daripada hanya sekedar kekerasan fisik, tapi juga menciptakan kekerasan dalam bentuk penyeragaman pola pikir manusia. Berkaca pada zaman keemasan seorang Hitler yang mampu mendominasi kehidupan ras Arya yang merupakan bangsa asli jerman untuk melakukan pembantaian terhadap ras Yahudi di hampir sepertiga belahan eropa. Lalu melihat seorang Rafael Trujillo di Republik Dominika yang mengkungkung rakyatnya dengan berbagai aturan dan kekerasan dengan menggunakan perangkat negaranya. Cukup menjadi sebuah alasan bahwa sebuah dominasi terhadap kedaulatan secara mutlak oleh negara tidak akan pernah membawa sebuah keuntungan bagi rakyatnya. Maraknya kekerasan yang dilakukan oleh sebuah negara terhadap rakyatnya justru menghasilkan penindasan dan ketidaksejahteraan terhadap rakyatnya. Begitu juga dengan Indonesia yang mengaku sebagai sebuah negara demokratis pun ternyata pernah berlaku seperti jerman pada zaman Hitler. Rejim Orde Baru (Orba) dengan suksesnya berhasil melakukan beragam kekerasan struktural terhadap rakyatnya. Bahkan sikap otoriter dari rejim tersebut berhasil menorehkan sebuah prestasi pelanggaran HAM yang sungguh luar biasa. Sebut saja kasus-kasus pembantaian tahun 1965 - 1966 dengan tema “pembersihan” terhadap PKI, yang konon nyaris melangkahi jumlah korban yang diciptakan oleh seorang Polpot di kamboja. Lalu kasus penembakan demonstran di Timor - Timur (sekarang Timor Leste) yang memakan 200.000 korban jiwa pada tahun 1975 mengutip dari buku militer dan politik di indonesia karangan Harold Crouch. Bahkan saat-saat terakhir dari rejim paling fasis sepanjang sejarah Indonesia ini, masih sempat melakukan pelanggaran dengan menembaki mahasiswa yang meminta perubahan pada tahun 1997-1998, dan banyak lagi kasus penculikan aktivis. Animo berpolitik yang selalu diterapkan oleh pemerintah Orba tak pernah lepas dari apa yang namanya kekerasan. Seolah fasis di Eropa telah membiak dalam ranah budaya Indonesia yang notabene punya akar punya budaya gotong royong. Kebiasaan untuk melakukan kekerasan dengan perangkat negara sebagai alatnya adalah ciri khas dari iklim berpolitik di Indonesia dalam kurun waktu 32 tahun Orba berkuasa. Munir, seorang aktivis HAM semasa hidupnya dalam sebuah film dokumenter bernah bertutur “...dalam menentukan kebijakan saja menggunakan cara setengah plus satu, yang berarti dengan menculik satu orang anggota dewan maka kebijakan secara otomatis akan sah...” betapa mudahnya politik ala Orba ini dijalankan. Dengan mengandalkan aparat militernya, maka jalan kekerasan pun dipakai dalam melanggengkan kekuasaan, bahkan juga untuk menyingkirkan lawan politik pada masa itu. Penyeragaman pola pikir dan sejarah yang manipulatif Masa orde baru yang di idamkan sebagai sebuah kebangkitan berpolitik setelah peristiwa 65 pun ternyata hanya sebatas mimpi. Sesuai dengan sebutannya “baru” yang seharusnya identik dengan kebaikan dan keunggulan dari pada sebelumnya. Orde baru justru menciptakan sebuah ketertutupan terhadap rakyatnya. Hal ini diperparah lagi dengan diciptakannya sebuah frame berpikir yang sesuai dengan kebutuhan pemerintah pada masa itu. Yaitu dengan melakukan penyeragaman pola pikir dan watak masyarakat Indonesia selama hampir 32 tahun lamanya. Pemaksaan terhadap pola pikir masyarakat ini dapat dilihat dari adanya TAP MPR no.XXV tahun 1966 tentang pelarangan hal-hal yang berbau Marxis dan Leninis di Indonesia dengan alasan dapat mengganggu stabilitas negara karena dianggap identik dengan paham komunis. Padahal secara teoritik belum ada jaminan bahwa dengan mempelajari marxis, ketakutan tersebut akan terjadi. Selain hal tersebut, pada masa Orba juga telah terjadi manipulasi sejarah Indonesia. Dimana sejarah yang diangkat adalah sejarah Soeharto sebagai tokoh penggerak kemerdekaan indonesia. Hal ini dilakukan guna membangun pencitraan bahwa Soeharto adalah seorang figur yang sempurna sebagai seorang pemimpin Indonesia pada masa itu. Padahal apabila ditelaah lebih lanjut pola kebijakan indonesia pada masa Orba adalah pola kebijakan yang selalu berhujung pada penjualan aset bangsa kepada modal asing. Terbukti dari kebijakan pertamanya saat ia diangkat menjadi presiden adalah merancang UU Penanaman Modal Asing tahun 1966. Praktek penyeragaman pola pikir yang dilakukan oleh rejim orba dibawah kepemimpinan Soeharto terus berlanjut merambah ke sektor pendidikan ideologi negara dengan mengambil pancasila sebagai satu-satunya dasar negara, sebagai resep utama dalam usahanya untuk mengukuhkan kekuasaannya. Dalam konteks ini, Soeharto sebagai pimpinan rejim orba dengan mudahnya menghancurkan elemen - elemen masyarakat baik ormas maupun orpol yang berideologi diluar pancasila seperti PKI, Masyumi, PII, dll. Lebih dari itu rejim orba juga berusaha untuk membangun sebuah kekuatan yang bersandarkan pada aparat birokrasi-militer yang apolitis untuk mengatur ketertiban dan ekonomi negara. Dengan mengukuhkan pancasila sebagai azas tunggal, maka rejim orba berhasilkan menghancurkan lawan politiknya secara vulgar. Selain banyaknya elemen yang kemudian terpaksa bubar, banyak juga tokoh-tokoh politik yang kemudian disingkirkan karena menolak adanya azas tunggal tersebut. AA.GN.Dwipayana menandaskan bahwa akibat adanya pembangunan opini secara paksa oleh rejim orba telah menciptakan sebuah budaya pragmatis ditingkatan masyarakat. Dia juga menambahkan “akibat dari pola pikir yang terbangun adalah pragmatis, maka akan sangat susah untuk melakukan sebuah transformasi terhadap masyarakat”. Hal ini dikarenakan telah mengakarnya usaha pemerintah dalam membangun sebuah pembenaran terhadap apa yang telah dilakukan selama memerintah. Hampir sama dengan Dwipayana, Baskoro T Wardaya mengatakan bahwa rejim orba tidak hanya melakukan pemaksaan dibidang pola pikir saja tapi juga dalam pemalsuan sejarah. Seperti dikutip dari tulisannya dalam buku “Soeharto Sehat” lelaki yang akrab dengan sebutan Romo Basko ini mengatakan bahwa penyebutan istilah Orde Lama (Orla) yang dilakukan secara sepihak agar kesan yang terbangun pada masa itu adalah kebobrokan, korup, dan tidak berkompeten dalam menyelenggarakan negara. Hal ini dilakukan untuk menutupi kemampuan sebenarnya dari rejim Orba yang bersifat militeristik dan otoriter dalam memerintah. Tiga puluh dua tahun lamanya Orba berkuasa tanpa kemampuan untuk mengelola kebutuhan rakyatnya sehingga terjadi banyak sekali ketidakberesan. Selama berkuasa rejim Orba hanya berorientasi pada kebutuhan kelompoknya saja tanpa pernah memperhatikan kesejahteraan rakyatnya. Kebutuhan penguasa dan kelompoknya menjadi sebuah kebutuhanyang primer dan wajib untuk dipenuhi, sedangkan kebutuhan rakyatnya adalah kebutuhan sekunder yang apabila dianggap perlu harus dipenuhi. Pola kebutuhan yang tidak terpenuhi akhirnya membuat rakyat menjadi jenuh. Kejenuhan tersebut berujung pada aksi massa besar - besaran yang tergabung oleh masyarakat dan mahasiswa pada pertengahan tahun 1998 yang kemudian menjadi tahun terakhir berkuasanya rejim orba. Peristiwa tersebut akhirnya mampu menguak kebusukan - kebusukan yang diciptakan oleh rejim orba selama ini. Politik Mahasiswa dan Pengaruhnya Dalam kurun waktu 32 tahun, peran mahasiswa yang seharusnya menjadi penggerak dalam proses transformasi menuju kesadaran sosial dan politik masyarakat pun menjadi terhambat. Melihat dari sejarah indonesia sendiri peran mahasiswa dalam memperoleh kemerdekaan sampai meruntuhkan rejim Orla yang dipimpin oleh Soekarno tak bisa dinisbikan. Hal tersebut dengan sendirinya berhenti. Saat rejim Orba berkuasa banyak sekali kebijakan dan perlakuan yang kemudian mengekang aktifitas politik mahasiswa. Mahasiswa sebagai salah satu dari pilar demokrasi tidak lagi dapat melakukan kritik dan pengawasan terhadap jalannya pemerintahan sebagaimana mestinya. Adanya penculikan, dan aksi-aksi kekerasan yang disertai dengan penembakan terhadap mahasiswa menyebabkan aktifitas mahasiswa tidak dapat berjalan dengan massif. Selain itu lahirnya kebijakan NKK-BKK yang diciptakan oleh menteri pendidikan Daud Jusuf pasca tragedi Malari tahun 1977 secara otomatis menjadi sebuah hantaman terberat bagi gerakan mahasiswa dan politik yang diusung. Akibat dari kebijakan tersebut aktifitas mahasiswa yang semula dilakukan secara frontal dan terbuka menjadi tidak mungkin dilakukan. Pasca Malari aktifitas politik mahasiswa mulai beralih pada kekuatan pers mahasiswa sebagai corong politik dalam melakukan transformasi menuju kesadaran. Para aktivis mahasiswa mulai berteriak melalui tulisan dalam usahanya untuk membidani sebuah perubahan. Romo Basko mengatakan bahwa aktivisme mahasiswa yang bersifat heroik tidak lagi dapat menjadi sebuah pertimbangan terhadap masyarakat, hal ini karenakan tekan dan ancaman yang ditawarkan oleh rejim Orba lebih keras. Namun, hal tersebut tidak kemudian menjadikan mahasiswa sebagai macan ompong. Tragedi 98 telah membuktikan bahwa dengan kekuatan masyarakat dan didukung oleh kekuatan mahasiswa telah mampu membuat Soeharto lengser keprabon” yang sekaligus juga menutup buku hitam kekuasan orde baru yang penuh dengan penindasan dan kekejaman terhadap rakyatnya. Masa pemerintahan rejim orde baru lantas berakhir dan diganti dengan masa reformasi yang dipimpin oleh Habibie yang juga pentolan dari orde baru. Almarhum Pramoedya Ananta Toer pernah mengatakan “kejadian tahun 98 adalah sebuah kesuksesan awal dimana kekuatan massa mampu merobohkan sebuah rejim yang sangat militeristik tanpa harus menggunakan senjata ...”. Seperti yang diungkapkan oleh Tan Malaka dalam bukunya Massa Actie bahwa dalam menciptakan sebuah revolusi sosial dibutuhkan peran serta masyarakat dengan kesadaran yang penuh, dan dalam jumlah yang banyak. Oleh karenanya kekuatan mahasiswa tidak dapat disepelekan. Sebagai elemen yang paling dekat dengan kondisi sosial masyarakat, mahasiswa selayaknya menjadi elemen yang paling kuat untuk memulai sebuah proses transformasi. Indonesia pasca reformasi 1998 Apabila melihat indonesia pasca reformasi, tidak banyak terjadi perubahan yang benar-benar mendasar dalam struktur masyarakat termasuk terhadap mahasiswa. Terbukti kekerasan yang dilakukan oleh negara terhadap masyarakat masih menghantui. Sebut saja kasus pemukulan mahasiswa di Makasar tahun 2004 sampai kasus penggusuran yang menggunakan aparat militer sebagai garda depannya. Tahapan demokrasi yang diidamkan dengan adanya reformasi pun ternyata tidak pernah terjadi. Keran - keran demokrasi sampai reformasi terjadi masih tetap menjadi impian semata dan kekerasan serta penindasan yang dilakukan oleh negara terus saja berlangsung. Apabila sebelum terjadinya reformasi kekerasan dilakukan secara terbuka dengan menggunakan aparatur militer negara, maka setelah reformasi kekerasan terus dilakukan dengan cara yang lebih halus. Romo Basko melalui wawancara yang dilakukan oleh Keadilan via telephone mengatakan bahwa dalam melakukan kekerasan pasca reformasi negara memakai cara alternatif seperti; dengan melakukan deregulasi aturan dan kebijakan, yang kedua dengan menggandeng para kaum intelektual kedalam lingkup pemerintahan sehingga suara kritis dapat dibungkam. Dengan cara melakukan deregulasi aturan dan kebijakan pemerintah sukses melakukan hegemoni terhadap masyarakatnya. Bisa dilihat beberapa kebijakan yang tidak populis yang dikeluarkan oleh negara pasca reformasi. Kebijakan-kebijakan seperti; kenaikan harga BBM, dikeluarkannya Perpres No. 36 Tahun 2005 yang secara tak langsung telah melegalkan penggusuran warga dengan mengatasnamakan keperluan umum. Kebijakan selanjutnya yang paling kontroversial adalah kebijakan import beras, yang jelas-jelas apabila dilakukan akan membunuh mata pencarian jutaan petani di Indonesia. Anehnya kebijakan - kebijakan yang tidak menguntungkan kondisi rakyat indonesia ini terus saja berlanjut dan dilaksanakan sepenuh hati oleh pemerintah. Terbukti dengan tidak adanya usaha untuk mencabut kebijakan tersebut. Selain beberapa aturan diatas, para buruh pun semakin tersiksa dengan dikeluarkannya UU No 13 Tahun 2003 tentang tenaga kerja. Hal tersebut semakin mengukuhkan bahwa negara tidak hanya melakukan pembelengguan terhadap rakyatnya tapi juga melakukan perampasan hak - hak rakyatnya. Banyak aset bangsa yang kemudian digadaikan oleh pemerintah kepada modal asing. Mulai dari adanya privatisasi air yang jelas-jelas menjadi kebutuhan paling mendasar, lalu digadaikannya saham Pertamina kepada negara asing dengan alasan untuk melunasi hutang - hutang operasional Pertamina. Tidak berhenti sampai disitu, pemerintah yang dulu menggembar-gemborkan industri kecil dan menengah kini justru menjadi terbalik. Disahkannya UU Penanaman Modal (UUPM) oleh DPR dan pemerintah, justru membuat usaha kecil dan menengah harus gulung modal. Karena UUPM akan mempermudah masuknya modal asing dalam bentuk investasi juga akan mempermudah bidang perpajakan bagi mereka. Jelas-jelas bidang perpajakan adalah salah satu usaha untuk memfilter modal asing justru malah dibuka secara lebar. Yang selanjutnya yaitu dengan menggandeng para intelektual untuk masuk kedalam pemerintahan. Menurut Romo Basko hal ini adalah salah satu cara untuk membungkam dengan cara halus para aktor intelektual. Tokoh - tokoh yang menjabat dipemerintahan seperti Sonny Keraf, Mahfud MD, S. Budhisantioso dan lainnya malah merupakan sebagian kecil kaum cendikiawan yang menjadi tim sukses pada pemilu tahun 2004 (kompas 10 juni 2004). Hal seperti ini membuat gerak transformasi rakyat menuju kesadaran menjadi lebih sulit. Karena para intelektual sebagai salah satu tulang punggung demokrasi menjadi tidak bisa diandalkan. Selain itu, para intelektual juga lebih senang menghamba pada kekuasaan daripada mendorong perubahan terhadap rakyatnya. Dalam buku “dibawah bendera revolusi” Soekarno lebih senang menyebut mereka dengan istilah pelacur intelektual. Oleh karena itulah kemudian George Junus Adi Condro dalam acara bedah buku “Soeharto Sehat” diradio Eltira menyatakan bahwa sampai saat ini otoritarianisme negara pasca reformasi belum pernah berakhir. Matinya keran demokrasi untuk rakyat ditambah dengan banyaknya penindasan yang dilakukan oleh rakyat membuktikan bahwa rejim orba telah berakhir tapi birokrasi militernya belum habis. Menatap indonesia kedepan Pasca reformasi tidak kemudian membuat Indonesia menjadi lebih demokratis. Kekerasan masih terus menghantui. Usaha untuk menghegemoni rakyatnya melalui aturan yang mengikat masih terus dilakukan. Ari Dwipayana mengatakan, untuk melakukan sebuah perubahan terhadap sistem perpolitikan indonesia agar lebih terbuka haruslah dengan transformasi secara penuh. Dalam hal ini dibutuhkan gerakan dari masyarakat, mahasiswa, media massa, elemen masyarakat dan kaum intelektual yang masih pro terhadap rakyat tertindas. Menurut Dhaniel Dhakidae “ jika seseorang masuk kedalam lingkaran pemerintahan, tapi ia tak bisa memperjuangkan kebenaran dan keadilan maka ia bukanlah seorang intelektual”. Ada beberapa cara untuk melakukan transformasi menurut Romo Basko yaitu, dengan membangun budaya kritis, melakukan counter wacana, dan menciptakan sebuah resistensi untuk membongkar dominasi negara yang angkuh terhadap rakyatnya. Oleh karenanya, tugas tersebut tidak kemudian menjadi tugas segelintir orang saja melainkan seluruh rakyat indonesia. Ada sebuah pertanyaan yang harus dijawab bersama-sama, sampai kapan kita harus hidup dalam kungkungan hegemoni negara yang kejam? Sebab perubahan hanya akan menjadi sebuah mimpi tanpa langkah konkret. Langkah awal bagi pemerintah adalah dengan menghargai pendapat kaum yang tertindas bukan membungkamnya. Melakukan perubahan tidaklah dengan cara mengganti pimpinannya, atau dengan merubah sistemnya. Tapi dengan melakukan perubahan dari rakyat yang kaku menuju rakyat yang sadar akan hakikatnya sebagai subjek politik yang bebas berpolitik, berpendapat dan berserikat. Karena yang berdaulat dalam negara bukanlah penguasa dan kekuasaannya, melainkan rakyat dengan segala daya upayanya. Oleh : Muhammad Harir

No comments:

Post a Comment

Lihat SMI Semarang Office di peta yang lebih besar