Penghapusan
Subsidi BBM adalah Jalan Lapang Liberalisasi
T.O.L.A.K
Kenaikan Harga BBM
Dengan modus
pasar bebas –yang sejatinya adalah kebebasan modal, mekanisme Migas Indonesia harus
disamakan (mengikuti) dengan standar mekanisme internasional. Oleh karena itu, Migas
merupakan bagian integral dari perdagangan bebas secara global. Kebebasan pasar
inilah yang mendorong Migas menjadi komoditi yang mendatangkan
keuntungan-keuntungan bagi para pelaku pasar (koorporasi).
Para elit, ahli ekonom liberal dan
lembaga-lembaga internasional menyatakan bahwa “subsidi adalah kebijakan tidak rasional dan tidak berkeadilan.
Pencabutan subsidi sektor Migas akan mewujudkan ketahanan dan kemandirian
energi nasional.” Hal ini menunjukan bahwa problem pasar bebas, salah satunya
adalah subsidi. Bagi koorporasi, subsidi akan membatasi persaingan dan
menghancurkan pasar. Oleh karena itu, agenda pasar bebas harus diikuti dengan
penghapusan subsidi-subsidi publik.
Proyek penghapusan
subsidi juga dilegitimasi dan didukung oleh lembaga-lembaga internasional. WTO
sebagai lembaga dagang dunia, telah merubah barang publik menjadi barang privat
yang bebas diperjual-belikan. Indonesia sebagai anggotanya, harus terus-menerus
menjalankan agenda penghapusan subsidi terhadap sektor energi dan non-energi.
Dalam forum G-20 di Pittsburgh
(2009) dan Gyeongju (2010), telah memaksa negara anggotanya, termasuk
Indonesia, segera menghapus subsidi BBM secara bertahap. Kemudian intervensi
serupa juga gencar dilakukan oleh lembaga seperti IMF, Bank Dunia, USAID dan
ADB. Lembaga-lembaga tersebut memaksa pemerintah Indonesia segera menghapus
subsidi energi paling lambat tahun 2014.
Selain melakukan penghapusan
subsidi, pemerintah juga melakukan privatisasi dan kemudahan-kemudahan bagi
para koorporasi-koorporasi untuk menanamkan modalnya. Hal ini diungkapkan oleh
presiden SBY dalam pembukaan Konvensi dan
Pameran Petroleum Assosiation (15/5) di Jakarta Convention Center, bahwa
“pemerintah membuka peluang investasi Migas melalui penyederhanaan birokrasi
perizinan dan memberikan insentif bagi perusahaan eksploitasi Migas.” Sehingga kebijakan tersebut merupakan
jalan lapang bagi para pemodal untuk memonopoli dan mengekspor kapitalnya
sebebas mungkin. Akibatnya, produksi Migas Indonesia menjadi ajang monopoli
koorporasi-koorporasi internasional, diantaranya oleh PT Chevron asal
Amerika Serikat yang menguasai 44 persan migas di Indonesia, lalu diikuti oleh
E&P 10 persen, Conoco Philips 8 persen, Medco Energy 6
persen, China National Offshore Oil Corporation 5 persen, China National
Petroleum Corporations 2 persen, British Petroleum, Vico
Indonesia, dan Kedeco Energy masing-masing satu persen. Sementara
perusahaan BUMN hanya mendapatkan porsi 16 persen. “Liberalisasi dan privatisasi menjadi problem utama dalam pengelolaan
produksi Migas, dimana Negara melepaskan tanggungjawab pengelolaannya kepada
swasta.”
Subsidi BBM Sumber APBN Defisit Adalah Sesat Pikir!
Kenaikan harga
BBM merupakan bagian dari skema liberalisasi minyak Indonesia. Pemerintah akan
menetapkan harga primium menjadi Rp. 6.500 per liter dan solar Rp. 5.500 per
liter. Rencana kenaikan BBM tinggal menunggu persetujuan dari DPR tentang dana
kompensasi. Kenaikan itu, rencananya, akan dieksekusi pada bulan Juni 2013,
setelah pembahasan RAPBN-P 2013 selesai.
Alasan
pemerintah bahwa subsidi BBM telah menyebabkan defisit APBN, sehingga perlu
adanya kebijakan pengendalian anggaran subsidi BBM. Ketua DPR, Marzuki Ali
sepakat dengan logika rencana kenaikan harga BBM oleh pemerintah. Menurut
Marzuki, “penyesuaian harga BBM
bersubsidi menjadi pilihan pahit yang harus diambil untuk menyelamatkan APBN.”
Namun jika dibandingkan dengan Angaran Belanja Negara, ternyata anggaran
subsidi BBM lebih kecil. Anggaran Belanja Pemerintah Pusat dan Transfer Ke
Daerah sebesar 1.638,01 triliun rupiah. Kemudian Angaran Pembiayaan Dalam
Negeri dan Luar Negeri sebesar 153,34 triliun rupih. Belum lagi pemerintah
harus membayar hutang luar negeri beserta bunganya. Untuk tahun 2012, porsi pembayaran
utang mencapai Rp113,2 triliun dari APBN. Sedangkan alokasi anggaran
subsidi BBM dan tabung LPG 3 Kg hanya 193,80 triliun rupiah.
Sehingga dapat
disimpulkan, alasan pemerintah bahwa anggaran subsidi BBM menyebabkan defisit
APBN tidaklah benar, justru anggaran belanja negara, terutama untuk pembiayaan
aparatus negara dan pegawai yang terlalu besar. Belum lagi pendapatan negara,
terutama dari pajak terus-menerus di korupsi oleh aparatus negara.
Solusi untuk
agar APBN tidak defisit adalah menekan pengeluaran belanja negara yang tidak
penting dan menghapus hutang luar negeri. Kemudian dalam memperbesar pendapatan
negara selain pajak, adalah dengan menasionalisasi aset-aset vital dan
membangun industrilisasi nasional. Jika itu dilakukan, tidak adalagi ‘kambing hitam” APBN defisit.
BBM Naik, Bukan Kesejahteraan yang Didapat Melainkan
Kemiskinan!
Kenaikan harga BBM akan memicu kenaikan harga
barang, termasuk kebutuhan pokok rakyat. Selanjut, kenaikan harga barang ini
akan memicu kenaikan biaya hidup lainnya, seperti sewa kontrakan, perabotan dan
barang rumah tangga. Ironisnya, belum dinaikan saja barang kebutuhan pokok
sudah mulai naik. Apalagi jika BBM dinaikan, rakyat akan semakin dimiskinkan.
Kemudian Kenaikan harga BBM juga akan
mendorong kenaikan tarif angkutan umum dan alat transportasi lainnya. Akibatnya,
pengeluaran rakyat untuk urusan transportasi akan meningkat, seperti ongkos
bepergian, transportasi berangkat ke tempat kerja, dan ongkos transportasi anak
bersekolah.
Kenaikan upah 2013 tidak bisa
menjawab persoalan yang muncul akibat kenaikan harga BBM. Kenyataannya, upah
2013 mayoritas mengalami penangguhan oleh para pengusaha dengan alasan upah
2013 terlalu besar. Dengan naiknya harga BBM, dipastikan pengusaha akan melakukan
efisiensi-efisiensi. Dengan kambing hitam kenaikan harga BBM, pengusaha akan
melakukan pemangkasan hak-hak buruh dan pemutusan hubungan kerja massal.
Partai dan Elit Pendukung Kenaikan Harga BBM, Tinggalkan!
Partai elit merupakan perkakas dari
kelas yang berkuasa. Kenaikan harga BBM sejatinya adalah kehendak kelas
kapitalis, lewat partai elit dan eli-elit polik-lah kenaikan BBM mendapatkan
legitimasi. Partai demokrat, sebagai partai penguasa, tentu akan menjadi
barisan terdepan pendukung rencana kenaikan BBM oleh presiden SBY.
Hatta Rajasa, Menteri Koordinator
Perekonomian sekaligus Ketua Umum PAN (Partai Amanan Nasional), selalu menjadi
corong dari setiap kebijakan pemerintah. Terkait rencana kenaikan BBM, Hatta
Rajasa meyakinkan rakyat bahwa kenaikan BBM adalah keharusan. Ia pun
menyatakan, bahwa penetapan kenaikan BBM tinggal menunggu persetujuan DPR.
Untuk meloloskan RAPBN-P terkait
pengendalian anggaran subsidi BBM, presiden SBY menunjuk Chatib Basri sebagai
Menteri Keuangan yang baru. Chatib Basri merupakan elit yang pro terhadap
liberalisasi dan investasi. Sebelum ditunjuk sebagai menteri keuangan, Chatib
Basri merupakan kepala badan koordinasi penanaman modal yang memiliki kedekatan
dengan koorporasi-koorporasi.
Kemudian usai bertemu SBY pada 8 Mei
2013, Ketua Umum Partai Golkar, Aburizal Bakrie mengungkapkan partainya mendukung
kenaikan BBM dan program BLSM (Bantuan Langgsung Sementara Masyarakat). Dalam
rapat Sekretariat Gabungan, Aburizal Bakrie dua kali menjadi pimpinan sidang
guna membantu pemerintah melobi partai koalisi untuk mendukung kebijakan
kenaikan harga BBM.
Pimpinan DPR pun yang katanya
sebagai “penyambung lidah rakyat”
ternyata merestui rencana kenaikan harga BBM. Dan tugas DPR selanjutnya adalah mengotak-atik
RAPBN-P agar kenaikan harga BBM berjalan dengan mulus. DPR sebagai Wakil
Rakyat, kini telah menghianati dan menjerumuskan rakyat pada lubang kemiskinan.
Sehingga Partai Elit gagal menjalankan fungsi politiknya. Partai yang harusnya
melahirkan kader yang melayani rakyat dalam mewujudkan kesejahteraan, justru
banyak kader partai menjadi mungsuh rakyat.
Irosnisnya, ditengah-tengah
kemiskinan rakyat, partai elit dan elit yang berada di Senayan telah berupah
menjadi gerombolan para koruptor. Sederet kasus korupsi yang dilakukan oleh
partai-partai elit telah membuka borok, yakni buruknya tata kelola dan
keberpihakan partai terhadap rakyat.
T.O.L.A.K Kenaikan Harga BBM!
Mayoritas rakyat menolak kebijakan
kenaikan harga BBM. Berdasarkan hasil survei LSN, sebanyak 86,1% dengan tegas
menyatakan tidak setuju terhadap kebijakan pemerintah tersebut. Maka semakin
terang, bahwa kepentingan-kepentingan rakyat akan saling berlawanan dengan
kepentangan-kepentingan para partai elit dan kelas borjuasi. Kepentingan rakyat
adalah menghendaki kesejahteraan, sedangkan kepentingan para elit dan borjuasi
adalah meliberalisasikan minyak Indonesia dengan menaikan harga BBM. Kebijakan
ini akan membuat rakyat semakin miskin dan jauh dari kesejahteraan.
Kemudian kebijakan kenaikan harga
BBM harus di T.O.L.A.K. dan N.A.S.I.O.N.A.L.I.S.A.S.I aset-aset
vital (termasuk Migas) harus segera dilakukan oleh negara. Tentu penolakan
kenaikan harga BBM dan tuntutan Nasionalisasi harus besar, sehingga membutuhkan
mobilisasi gerakan secara nasional. Bahkan gerakan nasional penolakan kenaikan
harga BBM ini, akan dapat menjadi ekspresi rakyat untuk mendeligitimasi rezim
dan partai elit yang tidak berpihak terhadap rakyat. Serta penolakan ini
menjadi awal konsolidasi secara nasional dalam membangun kekuatan politik guna
menolak pemilu borjuasi 2014.
Departemen Pendidikan dan Propaganda (DPP)
Serikat Mahasiswa Idonesia Cabang Semarang
No comments:
Post a Comment