Sunday, February 16, 2014

SEJARAH PERKEMBANGAN KAPITALISME



SEJARAH PERKEMBANGAN KAPITALISME[1]
Oleh : TONI TRIYANTO[2]
A.       PENDAHULUAN
Kapitalisme sebenarnya bukanlah hal yang baru untuk untuk di perbincangkan, tetapi melihat pengaruhnya yang masih begitu kuat terhadap kehidupan sosial ekonomi masyarakat dunia umumnya dan Indonesia khususnya  membuat kapitalisme tak pernah berhenti untuk diperbincangkan. Oleh karena itu tiada salah bila kita sekali lagi mengenal sedikit tentang kapitalisme dan sejarah perkembangannya. Kapitalisme jika dilihat dari segi etimologi yaitu berasal dari dua kata “Capital (modal) dan Isme (paham atau cara pandang). Namun jika kita telusuri makna dari kapitalisme sendiri yait berasal dari bahasa latin caput yang berarti “kepala”. Arti ini menjadi jelas, misalnya dalam istilah “pendapatan per kapita” atau pendapatan per kepala. Apa hubungannya dengan “capital” yang lain yang sering kita terjemahkan sebagai “modal”? Konon kekayaan penduduk Romawi kuno diukur oleh berapa kepala hewan ternak yang ia miliki.[3] Semakin banyak caput-nya, semakin sejahtera. Tidak mengherankan, jika kemudian mereka “mengumpulkan” sebanyak-banyaknya caput. Sekarang jelas sudah, mengapa kita menterjemahkan capital sebagai “modal”. Sementara” Isme” sendiri mengacu kepada paham, “ideologi” cara pandang atau cara hidup yang diterima oleh sekelompok luas masyarakat dan karenanya menjadi konvensi, karea dapat saja ditolak oleh kelompok masyarakat yang lainnya, sehingga kapitalisme adalah modal –isme atau paham yang berdasarkan modal (pemilik modal).

ZAMAN BERGERAK MASYARAKAT INDONESIA



SELAYANG PANDANG ZAMAN BERGERAK MASYARAKAT INDONESIA[1]
Oleh : Muhammad Harir[2]

A.     Pendahuluan
Hubungan diantara kalangan kelompok intelektual dan politik merupakan bagian penting dari perjalanan sejarah Indonesia. Hubungan itu mulai memperoleh bentuknya terutama ketika terjadi kebutuhan yang meningkat akan tenaga kerja terampil pada akhir abad ke-19 sebagai akibat dari diperkenalkannya private capitalism oleh pemerintah kolonial semasa periode liberal (1870-1900). Salah satu perubahan terpenting yang dihasilkan oleh apa yang disebut dengan 'politik etis' ini terjadi pada tiga dekade pertama abad ke-20 ketika program pendidikan 'massal' pemerintah kolonial telah menghasilkan kelompok terdidik di kalangan bumiputra dalam jumlah yang tidak pernah terjadi sebelumnya. Pendirian sekolah dan organisasi baik disadari atau tidak memicu rakyat pribumi untuk melakukan pergerakan dan resistensi terhadap pemerintah yang berdaulat.[3]
Berbagai organisasi modern mulai bermunculan, tepatnya pada 1908 muncul Boedi Oetomo sebagai organisasi pertama rakyat pribumi. Walaupun banyak kalangan sejarawan yang meragukan Boedi Oetomo sebagai organisasi pergerakan yang berspektrum nasional, karena masih bersifat lokal (Jawa), di samping itu Boedi Oetomo adalah organisasi sosial yang bersifat kooperatif dengan pemerintah yang berwenang. Namun, keberadaan Boedi Oetomo ini setidaknya merangsang organisasi-organisasi pergerakan sosial politik yang bersifat nasional seperti SI (Sarekat Islam), kemudian disusul IP (Indische Partij), Insulinde, ISDV yang kemudian menjadi PKI (Partai Komunis Indonesia), dan lain sebagainya. Harus dicatat peran sentral SI terutama di bawah kepemimpinan Tjokroaminoto sebagai organisasi mainstream tempat para pemimpin pergerakan menempa diri. Sebagian besar para pemimpin organisasi-organisasi pergerakan yang ada adalah kader, anggota, bahkan ketua cabang dari SI. Perjuangan bersenjata yang tak terorganisir secara modern mulai ditinggalkan. Kalangan generasi baru mulai memilih alat perjuangan baru berupa organisasi dan ilmu pengetahuan serta cara berpikir modern. Pada saat itu mulai muncul perubahan kesadaran baru akan cita-cita dan orientasi perjuangan. Isu-isu tentang nasionalisme, sosialisme dan demokrasi adalah gagasan yang sering dikemukakan oleh kalangan pergerakan menggeser pemikiran tradisional yang feodal dan mistik.[4]

Sunday, January 12, 2014

PERJUANGAN FRONT DAN PERJUANGAN DEMOKRATISASI KAMPUS



Ditulis oleh Toni Triyanto 

Dalam setiap fase pergolakan politik di tanah air ini sebenarnya tidak lepas dari peran
kaum pemuda dan Mahasiswa, sepanjang sejarah pada setiap levelnya gerakan pemuda
dan Mahasiswa selalu ambil bagian yang cukup penting, terlepas dalam prosesnya
ternyata banyak evaluasi yang cukup mendalam. Suatu contoh konkrit bisa kita lihat pada
Gerakan mahasiswa pasca Reformasi ’98 yang kemudian tidak memandang kampus
sebagai basis utama perlawanan mahasiswa dalam memperjuangkan hak-hak demokratis
mahasiswa. Banyak persoalan mahasiswa di kampus yang sebenarnya bisa disikapi dan
bisa dijadikan sebagai pemicu dalam menggelorakan kampus ternyata tidak direspon oleh
organisasi-organisasi Mahasiswa baik intra kampus maupun ekstra kampus, mulai dari
persoalan minimnya fasilitas, layanan administrasi  yang berbelit-belit, pungli, biaya
kuliah yang semakin mahal, represifitas terhadap aksi-aksi mahasiswa, kebebasan
berekspresi, berpendapat dan berorganisasi selalu dibatasi sampai pada hal yang cukup
strategis tentang pengambilan kebijakan kampus yang tidak pernah melibatkan
Mahasiswa (seperti pemilihan rektor dan perumusan-perumusan peraturan kampus).

Perjuangan demokratisasi kampus (perjuangan menyangkut pemenuhan hak-hak sosial
ekonomi dan hak politik di kampus) merupakan tugas fundamental yang harus dilakukan
oleh organisasi Mahasiswa, artinya bahwa setiap organisasi Mahasiswa baik intra kampus
maupun ekstra kampus harus mampu menjalankan fungsinya sebagai pelayan massa
Mahasiswa untuk memenuhi hak-hak sosial ekonominya. Peran lembaga mahasiswa
(BEM dan SENAT Mahasiswa) sangatlah lemah dan memposisikan dirinya eksklusif dari
kepentingan massa Mahasiswa khususnya dalam menyalurkan aspirasi perjuangan
mahasiswa, yang terjadi justru saling benturan antar organisasi di kampus hanya karena
orientasi politik Mahasiswa yang sangat pragmatis yang mempunyai kecenderungan
merapat dan tunduk dengan birokrasi kampus, elite politik lokal maupun elite politik
tingkat nasional, sehingga mereka hanya dijadikan sebagai kaki tangan untuk
melancarkan kepentingan-kepentingan elite. Hal sepertii inilah yang menimbulkan efek
kurang baik sehingga massa Mahasiswa tidak interes  terhadap organisasi Mahasiswa.
Persoalan tersebut sebenarnya sudah tercermin dari  mekanisme pembentukan dan pemilihan pengurus-pengurus lembaga Mahasiswa yang  sebenarnya tidak demokratis,
mengapa? Karena konsepsi pemilu Mahasiswa di kampus juga lebih cenderung sama
dengan konsepsi yang diterapkan oleh negara hari ini, artinya cara pandang terhadap
demokrasi masih cukup dangkal sehingga dalam prakteknya hanya memaknai demokrasi
secara prosedural. Dalam konteks kampus massa Mahasiswa hanya di mobilisasi untuk
memilih calon ketua BEM ataupun SENAT dengan cara-cara yang cukup pragmatis
tanpa banyak memberikan pendidikan politik terhadap Mahasiswa. Lantas pertanyaanya,
konsepsi lembaga Mahasiswa yang cukup representative seperti apa? Apa relasinya
dengan ormass Mahasiswa ekstra kampus ? Sehingga mampu mengemban tugas-tugas
perjuangan massa Mahasiswa di kampus.

Lihat SMI Semarang Office di peta yang lebih besar