Thursday, October 21, 2010

BELAJAR DARI GERAKAN MAHASISWA DI DUNIA; Manifesto Cordoba Dan Gerakan Menuntut Demokratisasi Kampus


Ditahun 1960-an, dunia menyaksikan sebuah gelombang besar kebangkitan mahasiswa. Mahasiswa diberbagai belahan dunia mengambil alih aksi-aksi radikal dan berperan penting dalam berbagai perubahan politik di negara hal nya masing-masing. Pemaparan singkat dan selektif tentang pengalaman perjuangan mahasiswa diseluruh dunia akan memberikan gambaran berbagai kemungkinan dan pelajaran yang sistematis mengenai arah dan peranan gerakan. Mahasiswa Amerika Latin adalah penyumbang pertama langkah awal yang besar dalam aksi mahasiswa manifesto Cordoba 1918 adalah deklarasi hak mahasiswayang pertama di dunia ; sejak itu mahasiswa amerika latinmemainkan peran yang konstan dan militant dalam kehidupan politik dinegaranya pengalaman mahasiswa amerika latin ini mengajarkan bahwa tuntutan-tuntutan akademis dan aktivitas politik adalah dua hal yang saling melengkapi, bukanya malah bertentangan. Baik dalam dunia akademik maupun politik, mahasiswa amerika latin memiliki tradisi yang panjang. Militansi ini sebagian disebabkan oleh sejarah gerakan reformasi pendidikan di universitas-universitas, sebagian lagi karena struktur sosial politik Negara-negara amerika latin sendiri. Gerakan reformasi pendidikan universitas di Amerika Latin lahir dari manifesto cordoba 1818. Ketika mahasiswa cordoba di argentina mengeluarkan sebuah manifesto yang menuntut otonomi universitas dan keterlibatan mahasiswa dalam mengelola administrasi universitas - cogobierno.

Manifesto itu mengkritik administrasi lama yang tidak pernah mengalami perubahan kurikulum dan aturan. Mahasiswa Cordoba dengan tegas menyatakan “ kami ingin menghapus konsep otoritas yang kuno dan bar-bar dari organisasi universitas, yang menjadikan universitas sebagai benteng pertahanan tirani yang absurd”. Manifesto juga mendeklarasikan kepercayaan penuh pada kemampuan mahasiswa untuk menjalankan urusan mereka sendiri dan merupakan musuh utama korupsi akademik. Untuk melengkapi manifesto cordoba, pertemuan lanjutan dari serikat-serikat mahasiswa argentina menambahkan tuntutan-tuntutan yang dianggap menjadi pokok-pokok gerakan reformasi: 1.) Kehadiran fakultatif boleh memilih, 2.) Penghapusan pembatasan agama tentang apa yang boleh dipikirkan dan siapa yang ditetapkan untuk bertugas diuniversitas, 3.) Bantuan keuangan mahasiswa, 4.) Orientasi sosial universitas ditempat dia berdiri, 5.) Demokratisasi sistem organisasional universitas. Dalam tuntutan-tuntutan diatas jelas mahasiswa berusaha melakukan perlawanan terhadap penindasan yang terjadi di dalam kampus terutama terhadap kepentingan mereka yaitu mendapatkan pendidikan yang murah, berkualitas, demokratis, mendukung kedewasaan serta meiliki terhadap masyarakat.Program perubahan total ini mendobrak pandangan konservatif yang meilhat bahwa pihak universitas (struktur birokrasi, dosen dan karyawan) memiliki otonomi penuh, termasuk atas mahasiswanya. Sehingga gerakan perubahan “otonomi” yang dimaksud bukan hanya independensi otoritas universitas dari control pemerintah tetapi juga kesempatan bagi mahasiswa untuk berbagi kekuasaan dengan otoritas kampus dengan kegiatan akademis.

Dalam tempo 20 tahun, tuntutan mahasiswa argentina ini menyebarkan keseluruh Amerika Latin. Kondisi kampus-kampus di Argentina pada masa awal 60-an mengalami masa-masa bebas dari polisi dan tentara, dan mahasiswa mempraktikkan congobierno dalam menominasikan dosen-dosen mereka. universitas secara fisik immune dan sistim kekuasaan tripartite anatara mahasiswa , alumni dan dosen mempunyai suara yang sama dalam pengambilan keputusan. Situasi ini bertahan samapai di argentina terjadi kup ongania 2008 juli 1966. Representasi murni adalah bentuk ideal dari cita-cita manifesto cordoba dan menyebar kesembilan universitas nasional di argentina, termasuk universitas terbesar Buenas Aires yang mempunyai 81.000 mahasiswa. 29 juli 1966 rezim ongania mendeklarasikan penghapusan otonomi universitas dan memberikan pada mentri pendidikan seluruh kekuasaan administrasi universitas. Merespon deklarasi ini malam harinya mahasiswa, dosen dan propesor bertemu di universitas untuk memprotes represi ini. Pertemuan mereka ini dibubarkan oleh polisi bersenjata dengan perintah penjahat fasis Tacuara, yang menginvasi kampus. Akibat penyebaran ini rektor Helario Fernandez Long mundur bersama dekan di universitas Buenas Aires. Banyak terjadi penangkapan, dua hari kesembilan universitas nasional di Argentina ditutup sampai universitas Buenas Aires dibuka kembali pada bulan agustus dan serikat-serikat mahasiswa dibubarkan. Ongania mengangkat rector-rektor plihannya, dan kerusuhan pecah ketika universitas dibuka lagi. 7500 mahasiswa berontak dengan polisi dicordoba dan 3 minggu kemudian seratus mahasiswa di argentina mengambil bagian “Hari perlawanan dan perjuangan” menentang kediktatoran ongania.

Perlu diperhatikan pula bahwa peran politis yang selalu diperankan oleh mahasiswa, membuat mereka seringkali dijadikan target serangan kaum konservatif, bahkan itu juga keras kontrol terhadap gerakan mahasiswa ini juga menggunakan standar akademis. Lewat para intelektualnya menyusun kurikulkum sedemikian rupa sehingga mahasiswa terjebak dalam studi ang begitu berat dan tidak proporsional sehingga mahasiswa terasing dari lingkungan sosialnya.Manifesto cordoba sebagai sebuah gerakan awal mahasiswa dalam menuntut demokratisasi kampus memberikan pelajaran berharga bagi seluruh mahasiswa di dunia. Dan tentunya pengalaman mahasiswa argentina masa lampau itu juga mampu memberikan pelajaran. Pertama; Semangat kepada kita untuk memperoleh hak-hak kita terhadap pendidikan ilmiah, berkualitas, demokratis, pendukung kedewasaan serta bervisi kerakyatan. Karena mahasiswa tidak bertugas untuk belajar tetapi juga ikut  mengatur apa yang harus dipelajari bagaimana metode belajarnya, siapa yang harus mengajarnya bersama dosen dan apparatus universitas tentunya. Dalam bahasa yang sederhana, mahasiswa bukan hanya pelaksana kebijakan tetapi harus terlibat dalam pengambilan kebijakam universitas. Kedua, persatukan gerakan mahasiswa bersama gerakan rakyat dalam menggelorakan perlawanan terhadap pemerintah neo-liberalisme yang selalu memaksa agar praktek kapitalisasi pendidikan di Indonesia terus menancapkan taringnya.

Tuesday, October 19, 2010

AKSI KAMPUS KOMISARIAT UNISSULA SEMARANG

Kapitalisasi Pendidikan Telah Merampas Hak Rakyat Atas Pendidikan
Pernyataan Sikap Atas
 Keberingasan Praktek Kapitalisasi Pendidikan Di Indonesia
Di Bawah Rezim Neoliberal SBY-Budiono, Antek Kaum Modal


Salam Pembebasan Nasional!
Sejarah peradaban bangsa di dunia tidaklah terlepas dari peran penting pendidikan sebagai penyokong akan suatu konsepsi tatanan suatu bangsa yang dicita-citakan. Karena sungguh tidak memungkinkan membangun, memajukan peradaban bangsa dan mensejahterakan rakyat tanpa adanya pendidikan. Maka tentu dan menjadi hal yang niscaya untuk membangun budaya belajar atau berfikir rakyat yang tinggi dari suatu institusi pendidikan (formal maupun non formal) artinya bahwa tidak ada alasan apapun untuk mengatakan pendidikan itu tidak penting sehingga tidak diperhatikan, tidak ada political will Negara untuk memajukan pendidikan jika demikian maka hanya akan melahirkan kehancuran peradaban tinggal menunggu hitungan waktu karena pada hakikatnya manusia adalah bekerja dan berfikir untuk cita-cita bersama yaitu memajukan masyarakatnya.
Arah Kebijakan Pendidikan Neoliberalisme
Hal itu sungguh sangat berbeda dengan situasi pendidikan nasional Indonesia dengan secara jujur harus diakaui sampai masa kepemimpinan SBY-Boediono jilid II tidak mampu menghasilkan output yang mampu membawa bangsa ini menjadi bangsa yang maju, membangun masyarakat bertatanan adil dan makmur, singkatnya tidak mampu mencerdaskan kehidupan bangsa, akan tetapi hanya menghasilkan output yang korup-menjarah uang rakyat, berfikir untuk kepentingan kenyamanan pribadi dan bekerja dengan cara menghisap rakyat (buruh, tani, mahasiswa, kaum miskin kota dll), pembohong alias penipu rakyat dengan bahasa halus berupa janji-janji keluar dari mulut busuk para penjarah. Tidak cukup sulit untuk membuktikan itu, pertama dari segi politik, rezim borjuasi SBY-Boediono masih mempertahankan, menjalankan UU No 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas, Peraturan Pemerintah seperti PP No 17 tahun 2010 tentang pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan, keputusan Menteri dan regulasi-regulasi  lainnya, kesemua regulasi tersebut adalah mensyaratkan lahirnya liberalisasi sektor pendidikan dalam artian memberikan legitimasi secara hukum seperti praktik BLU (Badan Layanan Umum) contohnya praktik BLU di Universitas Lampung, Universitas Mataram-NTB, Surabaya dll, otonomi kampus, UU No 09 2009 BHP yang akhirnya batal demi hukum, hadirnya lembaga-lembaga perbankkan untuk keperluan sirkulasi modal tingkat satuan pendidikan semuanya sebagai dasar dari keperluan keuntungan (profit oriented).

Segi lainnya adalah persoalan anggaran pendidikan, Negara dalam hal ini rezim borjuasi secara sengaja melanggar UUD 1945 yang mewajibkan Negara untuk merealisasikan anggaran minimal sebesar 20%, pada kenyataannya tidak terjadi, dengan teriakan lantang sang penguasa mengatakan bahwa anggaran pendidikan sudah  terealisasi sepenuhnya padahal didalam 20% terdapat gaji guru, biaya iklan, dalam APBN 2010 angaran pendidikan mengalami penurunan, sekedar sebagai contoh APBD untuk pendidikan sebesar 32% yang di publikasikan oleh dinas pendidikan Surabaya ternyata merupakan satu kebohongan belaka, karena 32% (Rp 876 Miliar) dari total APBD yang berjumlah 3,8 trilyun ketika diperinci 545 miliar yang merupakan belanja tidak langsung dialokasikan untuk memberikan gaji pegawai atau guru sedangkan yang merupakan substansi dari upaya peningkatan pendidikan di Surabaya hanya 322 miliar yang berkisar hanya 18% dari total APBD.

Segi mutu atau kualitas, Negara sampai dengan detik ini tidak mampu memajukan pendidikan nasional artinya output pendidikan tidak mampu memberikan jaminan bahwa masyarakat Indonesia akan lebih baik-sejahtera secara ekonomi, adil secara sosial, Demokratis secara politik dan partisipatif secara budaya serta output pendidikan sampai detik ini pun masih berbanding jauh dengan pendidikan Negara-negara lain. Hal ini menandakan bahwa campur tangan Negara dengan kata lain political will penguasa sungguh sangat minimalis bahkan sedang menuju proses liberalisasi pendidikan sepenuhnya yang nantinya tunduk pada mekanisme dan hukum pasar layaknya seperti perusahaan yang sepenuhnya profit oriented dengan tunduk pada mekanisme pasar.

Kontaminasi sektor pendidikan sebagai institusi pemanusiaan manusia tidak lah terlepas dari suatu design atau kepentingan para pemodal selaku pemegang dominasi peran kepentingan ekonomi politik di negeri ini. Kita tentu tidak lupa dan mungkin akan selalu kita ingat bersama bahwa kapitalisme melalui perangkat keras maupun perangkat lunaknya seperti; WTO (World Trade Organitation), di mana semua anggota-angggotanya termasuk Indonesia di dalamnya sudah menandatangani GATS (General Agreement on Trade  and Services) yang mengatur tentang liberalisasi di segala sektor termasuk sektor jasa salah satunya jasa pendidikan. Artinya sector pendidikan akan didesign atau dirancang untuk menjadi suatu industri jasa yang akan bertarung di pasar seperti halnya sektor-sektor lainnya dan tunduk dengan segala hukum-hukum pasarnya. Tentunya tidak hanya atas dasar profit oriented tapi pendidikan akan berperan sebagai institusi yang mempu menghasilkan tenaga kerja cerdas dengan skill dan kemampuan teoritis handal untuk mengisi industri-industri di segala sector di mana modal bersarang, sama halnya dengan situasi pendidikan pada masa colonial di mana masyarakat pribumi diberikan akses pendidikan hanya untuk kepentingan tenaga kerja yang bisa baca-tulis bukan hadiah ataupun niat baik penjajah atas kerja Rakyat Indonesia. Begitu juga situasi pendidikan sekarang hanya diposisikan sebagai lembaga penyalur tenaga kerja yang mengamini kapitalisme sebagai system jalan keluar penyelamat rakyat dari keterbelakangan, kebodohan dan kemiskinan, maka institusi pendidikan tidak lah lebih dari sekedar lembaga hegemoni pemodal dan peserta didik menjadi tentara cadangan industri belaka.

Atas dasar situasi tersebut pendidikan nasional Indonesia berada pada tahap kapitalisasi di mana pendidikan diposisikan sebagai penghasil keuntungan dan penyalur tenaga kerja siap bekerja dengan upah murah ditengah sempitnya lapangan kerja, regulasi yang tidak berpihak pada kelas pekerja. Pada tahap kapitalisasi pendidikan menyisakan banyak persoalan-persoalan di semua tingkatan  satuan pendidikan. Beberapa dampak yang dilahirkan adalah sebagai berikut :

  1. Dari segi akses pendidikan, tidak sedikit masyarakat Indonesia yang tidak mampu menikmati pendidikan disebabkan karena persoalan mahalnya biaya pendidikan, yang mampu menikmati pendidikan pun tidak sedikit yang putus sekolah juga karena persoalan tidak mampu membayar SPP, uang praktik dan lain-lain. Ditingkat perguruan tinggi kecenderungannya secara umum setiap tahunnya mengalami kenaikan. Sedangkan jaminan akan mutu/kualitas diabaikan begitu saja, sekedar contoh kasus akreditasi kampus Universitas Muhammadiyah Mataram fakultas sejarah dan matematika, IKIP mataram fakultas Fisika, Universitas Mataram fakultas pertanian jurusan perikanan, FKIP jurusan PAUD dll tidak memiliki izin operasional nasib mahasiswa pun tidak jelas akan dikemanakan.
  2. Segi fasilitas, pendidikan nasional secara keumuman menunjukkan ketimpangan antara sekolah di desa dengan kota, sekolah berstandar international dengan standar nasional, kampus swasta dengan negeri, tidak hanya baik desa, kota maupun kampus (perguruan tinggi) tidak juga menunjukkan kelayakan semestinya mendukung proses pembelajaran dan peningkatan mutu seperti laboratarium, ruang belajar, perpustakaan, fasilitas pendukung lainnya, dll.
  3. Persoalan Demokratisasi. Adanya kasus-kasus refresifitas terhadap mahasiswa, siswa membuktikan bahwa pendidikan tidak demokratis dan ternyata pada praktiknya hanya mengekang siswa, mahasiswa untuk berekspresi, bebas menyampaikan pendapat justru dibalas dengan ancaman seperti putus sekolah, DO ancaman nilai. Hal ini juga berlaku pada proses pembelajaran di mana ruang kelas tidak mampu menghadirkan pembelajaran dialogis tapi hanya transfer ilmu itu pun dengan teks book-tidak berangkat dari realitas padahal ilmu pengetahuan lahir dari praktik/realitas social masyarakatnya, cara ini pantas disebut sebagai model Bank yang bekerja sebagai lembaga transfer uang antar orang. Sehingga siswa dan mahasiswa tetap sebagai obyek bukan berposisi sama-sama sebagai subyek pendidikan itu sendiri.  
  4. Segi orientasi, pendidikan berorientasi pada kepentingan pemodal dan rezim borjuasi bukan bervisi kerakyatan dengan kata lain ilmu pengetahuan semestinya mengabdi pada kepentingan, keperluan hidup rakyat.
Setidaknya beberapa persoalan di atas bagian kecil dari banyaknya persoalan pendidikan nasional akibat dari kapitalisasi pendidikan, sementara program rezim menjawab banyaknya persoalan pendidikan nasional detik ini pun hanyalah sebuah formalitas belaka sebagai topeng mendapatkan legitimasi kekuasaan dari rakyat. Diantara program rezim seperti penetapan mutu standar nasional melalui Ujian Nasional (UN) sebaliknya menyisakan banyak persoalan baik fsikomotorik, affektif dan motorik, ironisnya UN menjadi momok menakutkan dan trauma masyarakat khususnya peserta didik, program lain seperti BOS tidak juga memberikan jaminan akan pemerataan akses pendidikan sebaliknya yang muncul adalah kemana dana BOS dan untuk keperluan apa disalurkan, program wajib belajar 9 tahun tidak memiliki arti signifikan untuk menjawab hak asasi rakyat Indonesia akan pendidikan dan juga tidak berarti apa-apa bagi perbaikan hidup rakyat.  
Sementara di sektor perburuhan, masih terjadi praktik ekploitasi hak buruh oleh kaum pemodal (kapitalis), diantaranya PHK secara massal, upah tidak layak, sistem kerja kontrak dan outsourcing, pemberangusan serikat buruh. Begitu juga di sektor pertanian, terjadi perampasan tanah yang dilakukan oleh negara maupun perusahaan-perusahaan perkebunan swasta, harga pupuk yang mahal. Disamping itu juga penggusuran PKL di kota-kota dan anak-anak jalanan yang masih dalam usia sekolah, dan kaum tertindas lainnya. Dan Tentunya mereka semua memiliki kepentingan juga terhadap pendidikan, namun mereka tidak sanggup mengaksesnya. Kenapa? Karena pemerintahan kita lebih suka berkompromi dan mengabdi kepada kaum pemodal (kapitalis). Bahkan praktik penindasan di atas disahkan dalam bentuk UU, seperti UU. No. 13/2003 (ketenagakerjaan), UU Penanaman Modal, UU No. 20/2003 (Sisdiknas) dan segudang UU lainnya.

Atas dasar situasi singkat pendidikan nasional di atas sudah terang dan jelas bahwa Negara pada prinsipnya mau melepaskan tanggungjawab terhadap dunia pendidikan dan kami SERIKAT MAHASISWA INDONESIA menyatakan sikap “LAWAN SEGALA BENTUK KAPITALISASI PENDIDIKAN” dan Menuntut :

  1. Negara Wajib Menyelenggarakan Pendidikan Gratis dari tingkat dasar hingga Perguruan Tinggi, ilmiah, Demokratis, dan Bervisi Kerakyatan.
  2. Negara wajib mengatur Hak Rakyat atas Pendidikan Menjadi Program Jaminan Sosial bagi seluruh rakyat.
  3. Bangun Undang-undang Sisitem Pendidikan Pro Rakyat
  4. Berikan Jaminan Kebebasan Berekspresi, Berpendapat dan berorganisasi kepada seluruh mahasiswa di kampus.
  5. Laksanakan demokratisasi kampus yang berbasis partisipatoris.
  6. Menyerukan kepada seluruh rakyat indonesia dan khususnya Mahasiswa se-indonesia untuk melawan segala bentuk kapitalisasi pendidikan !
Langkah-langkah yang harus dilakukan oleh Negara dalam merealisasikan Pendidikan Gratis, Ilmiah, Demokratis dan Bervisi Kerakyatan
Negara sebenarnya mampu untuk merealisasikan pendidikan gratis ketika mau melaksanakan beberapa program-program strategis yang sangat besar manfaatnya bagi kesejahteraan rakyat, beberapa program strategis yaitu :
  1. Laksanakan Reforma Agraria Sejati
  2. Bangun industrialisasi nasional yang kerakyatan
  3. Melakukan Nasionalisasi aset-aset penting (Pertambangan dll)
Serta beberapa program sumber pembiayaan negara dan program pendukung lainnya yaitu :
  1. Menyita semua asset koruptor untuk subsidi pendidikan
  2. Bersedia melakukan penghapusan utang luar negeri yang selama ini selalu menguras APBN.
  3. Tolak campur tangan IMF, WTO, WB dan putuskan hubungan diplomatik dengan negara-negara Imperialis.

Yang kemudian hasil-hasilnya di alokasikan untuk membiayai pelayanan social terhadap rakyat termasuk salah satunya pendidikan. Artinya semua tingkat satuan pendidikan yang hari ini berstatus negeri maupun swasta harus disubsidi oleh Negara sepenuhnya, karena pada prinsipnya pendidikan nasional adalah menjadi tanggung jawab Negara ! Namun pemerintahan yang seperti apa yang mampu melaksanakan program-program tersebut ? Apakah pemerintahan SBY-Budiono juga bersedia? Tentunya yang sanggup melaksanakan hanyalah pemerintahan yang bersifat kerakyatan dan bukan pemerintahan yang dipimpin oleh borjuasi komparador, yang mengadi kepada kaum pemodal.

Selanjutnya selain pendidikan harus gratis juga harus ilmiah, dalam hal ini maka setiap satuan pendidikan juga harus ditopang dengan kurikulum pendidikan yang mencakup sisi kognitif, psikomotorik, afektif dan harus aplikatif di tingkatan masyarakat serta sangat berguna bagi kemajuan sebuah bangsa dan tentunya menggunakan metode pengajaran yang mencerdaskan sehingga out put nya mampu mencetak tenaga-tenaga produktif rakyat.

Bagaimana pendidikan yang demokratis ? adalah suatu system pendidikan yang partisipatif dalam semua ruang-ruang akademik baik dalam gaya belajar mengajar maupun tatacara pengambilan kebijakan ditingkat satuan pendidikan, artinya setiap pengambilan kebijakan di tiap kampus ataupun sekolah harus melibatkan mahasiswa atau pelajar yang ada di satuan pendidikan tersebut, sehingga tidak dilakukan secara sepihak. Selain itu juga wajib hukumnya untuk memberikan jaminan kebebasan Berekspresi, Berpendapat dan Berorganisasi di Kampus, sebagai syarat pokok bagi terciptanya Demokratisasi Kampus !

Mengapa pendidikan harus Bervisi kerakyatan ? karena esensi dari suatu pendidikan adalah untuk “memanusiakan manusia” sehingga system pendidikannya juga harus mampu mencetak tenaga-tenaga produktif yang maju dan tentunya mempunyai keberpihakan terhadap rakyat. Artinya bahwa SDM yang dilahirkan dari system pendidikan yang ada tersebut mempunyai orientasi untuk mengabdikan pengetahuannya demi memajukan kehidupan rakyat.

Demikian pernyataan sikap SMI atas situasi pendidikan saat ini, galang persatuan perjuangan untuk Lwan Kapitalisasi Pendidikan di bawah Rezim Neoliberalisme Antek Kaum Modal!

Semarang, 19 Oktober 2010
Korlap

Muhammad Harir

Saturday, October 16, 2010

DEMOKRATISASI KAMPUS

Oleh: Departemen Pendidikan dan Propaganda SMI

Demokrasi adalah sebuah system menjunjung tinggi nilai-nilai tentang keterbukaan persamaan hak, transparansi, keadilan dan Hak Azasi Manusia. Demokratisasi kampus merupakan awal dari demokrasi yang terjadi di Indonesia. Perubahan iklim politik Indonesia sangat dipengaruhi oleh kondisi iklim demokrasi yang ada di kampus pada saat itu. NKK BKK yang merupakan sebuah pengebirian terhadap hak-hak demokrasi mahasiswa akhirnya hancur oleh keinginan dan kesadaran yang sangat kuat dari era intelektual muda untuk mendapatkan hak politiknya sebagai warga Negara.
Beberapa kasus tindakan represifitas yang dilakukan pihak kampus terhadap mahasiswa, di antaranya adalah tindakan represifitas yang terjadi di kampus-kampus, dari kasus IKIP Mataram yang mengakibatkan kawan RIDWAN meninggal, penyerangan terhadap kawan SMI STIKIP BIMA ketika melakukan aksi dikampus yang mengakibatkan beberapa kawan-kawan banyak yang terluka dan sampai ada yang terluka, kebijakan scorsing Mahasiswa ITS Surabaya, Penyerangan kampus UISU yang menimbulkan korban dan mengakibatkan kerugian terhadap Mahasiswa, kebijakan DO terhadap Mahasiswa UAD, pemanggilan Mahasiswa Tri Sakti oleh komisi disiplin karena sering melakukan aksi penuntutan faslitas kampus dan berbuntut pada penangkapan dua orang anggota SMI (Serikat Mahasiswa Indonesia) di kampus Tri Sakti, beberapa minggu yang lalu di UMM (Universitas Muhammadiyah Malang) tepatnya tanggal 2 Juli 2007 juga terjadi Intimadisi dari Pihak Birokrat UMM Terhadap Aksi Aliansi Mahasiswa Peduli Pendidikan (AMPP) yang di dalamnya ada SMI dan FMN, meninggal mahasiswa UNAS akibat menolak kenaikan BBM.
Dan seretan tindakan represifitas di kampus-kampus tersebut sebenarnya sebagai tahap awal dalam upaya menjalankan praktek BHP sehingga kampus-kampus harus disterilkan dari aktifitas Gerakan Massa Mahasiswa yang suatu saat pasti berkontradiksi dengan praktek pemberlakuan BHP. Sampai pencabutan UU BHP yang telah dilaksanakan oleh mahkamah konstitusi pada akhir maret lalu adanya represifitas di kalangan dunia kampus masih sering kerap terjadi. Upaya represifitas terhadap Mahasiswa di kampus-kampus juga sebenarnya dilegetimasi oleh SK Dirjen Dikti no 26 Tahun 2002 tentang pelarangan ORMASS dan Partai politik di kampus, sehingga bisa kita maknai bahwa kebijakan pemerintah maupun pihak kampus selalu membelenggu tatanan demokratisasi kampus. Hal ini merupakan sebuah upaya pemerintah maupun pihak birokrasi kampus untuk melakukan deploitasi terhadap Mahasiswa.


Pentingnya Memperjuangkan Hak-hak Sosial Ekonomi Massa Mahasiswa di Kampus

Sebagai Mahasiswa dalam memandang situasi obyektif saat ini merasa sangat berkepentingan untuk terlibat dalam memperjuangkan hak-hak sosial ekonomi massa Mahasiswa melalui perjuangan politik tingkat kampus, tentunya akan lebih banyak berbicara tentang dunia pendidikan sebagai sektor yang paling bersinggungan dengan hak-hak Pemuda Mahasiswa di Indonesia. Artinya bukan berarti kita menisbikan tugas-tugas perjuangan politik yang sifatnya umum, tapi hal ini merupakan bentuk manifestasi perjuangan dari Organisasi Mahasiswa. Berdasarkan kondisi obyektif hari ini, dunia pendidikan semakin berorientasi pada kepentingan pasar dan kapitalisasi pendidikan menjadi suatu hal yang tidak bisa di elakkan lagi, artinya semua ruang-ruang pendidikan menjadi komoditas bagi kepentingan modal makanya tidak heran jika dunia pendidikan kita menjadi semakin mahal dan secara out-putnya tidak berkualitas, lantas pertanyaanya “siapa yang siap mengemban tugas-tugas perjuangan massa yang sangat berkepentingan dengan dunia pendidikan ?” selama ini sudah banyak kebijakan dari negara hari ini melalui pemerintahan yang komparador dan jelas-jelas tunduk pada kepentingan Imperialisme, khususnya kebijakan didunia pendidikan yang semakin jauh dari esensi pendidikan yang sebenarnya yaitu pendidikan sebagai alat untuk mencerdaskan dan membebaskan manusia dari belenggu yang menindas.
Kondisi Mahasiswa hari ini sebenarnya masih dalam tahap kesadaran ekonomis yang mana sangat perlu untuk meningkatkan taraf kesadaran massa Mahasiswa agar lebih maju dan kualitatif yaitu menuju kesadaran poltik, untuk mendorong hal tersebut tentunya harus melalui proses yang cukup sistematis agar kemudian bisa diterima dan direspon oleh massa Mahasiswa. Pilihannya adalah dengan mendorong peningkatan analisa social Mahasiswa atas beberapa hal yang sangat konkrit bisa dirasakan oleh Mahasiswa yaitu segala hal yang menyangkut kepentingan sosial ekonominya, karena hal inilah yang paling memungkinkan untuk bisa masuk dalam pemikiran kawan-kawan Mahasiswa yang hari ini lebih dominan dipengaruhi oleh culture yang hedownis, pola pikir yang apatis dan cenderung berwatak pragmatis, maka salah satu jalannya adalah dengan mengkampanyekan kepentingan dan hak-hak Mahasiswa mulai dari persoalan biaya kuliah yang mahal, minimnya kualitas kampus untuk menunjang belajar Mahasiswa dan kebutuhan-kebutuhan lainnya. Dari sinilah kita akan meningkatkan daya kritis Mahasiswa dan mulai menggerakkan pada dataran praktek perjuangan yang lebih maju melalui diskusi diskusi tentang situasi kampus dan aksi-aksi untuk menuntut hak-hak massa Mahasiswa di kampusnya. Ketika kita menginginkan bangkitnya gelombang perjuangan massa di kampus maka kita harus bisa menunjukkan kesamaan kepentingan kita, artinya Mahasiswa bergerak atas landasan kebutuhan konkrit yang sangat bersinggungan dengan hak-haknya.
Hal seperti inipun sebenarnya berlaku ditingkatan sektor rakyat lain seperti buruh yang juga berangkat dari kesadaran ekonomisnya yang selalu berbicara tentang upah, system kerja kontrak, outsorching, tentang PHK dan persoalan-persoalan lain yang sering bersinggungan pula dengan kepentingan kelas buruh. Begitu juga dengan kaum tani yang selalu menuntut tentang reforma agraria atau land reform. Berarti tahapan untuk meningkatkan kesadaran massa memang harus berangkat dari kebutuhan yang paling riil saat ini, karena kita sangat yakin bahwa kesadaran akan bergerak semakin kualitatif apabila melalui tahapan yang sistematis dan menggunakan cara berpikir yang tepat.

Peran Organisasi-organisasi Tingkat Kampus dalam Mendorong Perwujudan Demokratisasi Kampus

Ketika berbicara tentang perjuangan massa Mahasiswa di kampus dan upaya yan dilakukan untuk mendorong perwujudan demokratisasi kampus maka tidak lepas dari peran organisasi-organisasi Mahasiswa tingkat kampus. Baik organisasi intra kampus (BEM, SENAT, HMJ, UKM-UKM) maupun organisasi ekstra kampus yang berbentuk Ormass Mahasiswa. Arahan yang paling maju adalah bagaimana meningkatkan cara kerja organisasi tingkat kampus untuk lebih prioritas pada hal-hal yang sifatnya berkaitan erat dengan massa Mahasiswa dan selalu aspiratif terhadap kebutuhan Mahasiswa. Mengapa peran organisasi tingkat kampus sangat penting ? karena ;
1.      Organisasi tingkat kampus adalah wadah bagi para Mahasiswa yang aktif yang bisa diartikan bahwa mereka mempunyai cara pandang yang lebih maju di bandingkan dengan Mahasiswa secara umum.
2.      Organisasi tingkat kampus adalah basis yang mempunyai kekuatan massa cukup konkrit.
3.  Organisasi intra kampus mempunyai legitimasi untuk mendorong Mahasiswa untuk bergerak karena keberadaanya legal formal, nah potensi-potensi inilah yang sebenarnya bisa dijadikan sebagai medan maghnet untuk menggerakkan seluruh kekuatan massa Mahasiswa dikampus dalam satu kepentingan bersama yaitu menuntut hak-hak social ekonomi Mahasiswa. Cuma tinggal satu tahapan lagi yaitu media apa yang mampu menjembatani persatuan organisasi Mahasiswa ditingkat kampus ? pilihan yang cukup konkrit adalah dengan jalan membangun alat persatuan dalam bentuk front sebagai alat politik Mahasiswa dalam mendorong perwujudan demokratisasi kampus. Mengapa penting membangun front untuk memperjuangkan demokratisasi kampus dan peran apa yang bisa di lakukan oleh front untuk hal ini Front persatuan ditingkat kampus diarahkan untuk memblejeti dan mengambil peluang dari pertentangan di kalangan kelompok reaksioner di tingkatan kampus, serta untuk melakukan counter terhadap kebijakan rektorat atau pihak pengelola kampus yang cukup menindas mahasiswa, untuk memantapkan pendirian, pandangan, metode, sikap, dan tindakan, sekaligus mengkualitaskan perjuangan massa mahasiswa. Dasar yang substantive dalam front persatuan adalah aliansi antar organisasi Mahasiswa tingkat kampus baik organisasi intra kampus maupun organisasi ekstra kampus, dengan satu prinsip kesamaan kepentingan secara social ekonomi. Untuk menggerakkan kualitas front, maka harus ada tahapan yang harus dikerjakan, yaitu: Pertama : aktif mempropagandakan garis politik dan tuntutan perjuangan disektor pendidikan ke elemen-elemen yang kita jadikan sasaran penggalangan front, kedua : menyelenggarakan atau ikut dalam pertemuan dan konsolidasi yang membahas tentang perkembangan kondisi pendidikan yang menyangkut kepentingan mahasiswa, pelajar, dan rakyat secara umum. Ketiga : mancari irisan-irisan kepentingan yang sama. Keempat : Mengarahkan pertemuan dan konsolidasi untuk merumuskan program dan agenda bersama dalam kerangka menggerakkan langgam kerja politik front.


“Tunduk tertindas atau bangkit melawan, sebab mundur adalah penghianatan”




Tuesday, October 12, 2010

SAJAK MERAH

Oleh : Wahyu Hidayat

SELAMAT TIDUR KOTA MERAH


Dingin…
Digaris – garis tapak tilas sejarah
Kota merah…
Terlelap terlalu panjang dalam kebisuaannya
Ah…
Sejarah tinggal dalam rak – rak buku pikiran- pikiran tua
Daun – daun muda
Kini telah kering serat – serat jalur hidupnya
Kota merah…
Kini telah tinggal dalam gelap
Gelap sejarah yang semakin usang!
Yang membuat bingung anak – anak muda sekarang
Bila kakek – kakek mereka bernostalgia
Dengan pucuk – pucuk senjata
Pemuda malah tertawa cekikikan
Menganggap itu semua guyonan
Dari ketopraknya orang – orang desa!

Semarang, 25 maret 2009




Salam Untuk Kemiskinan

Ada seorang ibu ibu datang kepadaku
dengan membawa seikat tambang ditangan kanannya

hei nak, maukah kamu membantu untuk mengikatkan tambang
ini dipepohonan tua itu?

untuk apa?

untuk menggantung kemiskinan ini nak...

dan aku titip salam untuk anakku
tolong disampaikan ya nak?...
nanti bilang untuk memandikan jasadku dengan ember kemiskinan
yang ada dipojok dapur rumah

aku hanya mengangguk tangis

esok harinya...

kulihat banyak pelayat tertawa riang didalam rumah yang mencoba
untuk tetap berdiri tegar itu...
lalu kulihat juga anak ibu itu
tertawa riang dan sekali kali bercanda dengan luberan air mata
dikedua pipinya

setelah selesai sedu sedannya..
ia masuk kedapur untuk mengambil ember
kemudian ia punguti tetes demi tetes keikhlasan yang ia masukan
kedalam ember yang telah penuh dengan kemiskinan mereka...

untuk memandingkan jasad ibunya!



PENGUMUMAN

orang miskin dilarang sekolah...!!!
orang miskin dilarang sakit...!!!
orang miskin dilarang minta subsidi...!!!

tapi...jangan lupa  bayar pajaknya?
dan tentunya jangan telat...!!!

                                                    ttd



                                                pemerintah

semarang, 29 maret 09



MAHASISWA

"generasi penerus bangsa" kata dosenku

"generasi penindas bangsa" celotehku

semarang, 29 maret 09

MUKA TEBAL PENJIPLAK DI KALANGAN AKADEMIS


Merebaknya budaya penjiplakan (copy-paste) di dunia akademis semakin menggurita, anehnya perguruan tinggi di Negara kita ini sangat cerdik sekali dalam menutupi dan melindungi penjiplakan yang dilakukan oleh dosen dan mahasiswa. Penjiplak sudah tidak mengenal rasa malu lagi, apalagi di era zaman yang serba teknologi ini segalanya sudah terbalik: yang jahat tidak merasa malu, sedangkan yang baik merasa malu.
Demikian ramalan jaya baya tentang hal itu: (Banyak orang yang berkarya atau bekerja dengan baik malah malu, lebih baik berbuat tidak jujur saja. Orang malas berkarya atau penjiplak ingin hidup mewah, mengumbar nafsunya menangkarkan kedurhakaanya). Manusia sekarang ini sudah kehilangan rasa malunya. Manusia jadi tebal muka alias tak punya rasa malu khususnya untuk civitas akademik yang menjiplak karya-karya ilmiah orang lain.
Budaya copy paste di kalangan akademis sudah menjadi suatu hal yang wajar untuk dilakukan.  Kita bisa membayangkan apa jadinya nanti ketika  para dosen dan mahasiswa ternyata adalah seorang yang tidak mempunyai rasa malu dan sukanya menjiplak / mencuri karya ilmiah orang lain.  Mereka akan seenaknya, dan memakai segala karya-karya ilmiah hanya untuk semakin besarnya nama dan kekuasaan mereka.
Jangan harap jika perkembangan intelektualitas saat ini semakin menurun dan bobrok, hal itu disebabkan dengan adanya penjiplakan yang semakin meningkat dikalangan akademis. Dengan adanya Penjiplakan yang dilakukan oleh kalangan kaum akademis tanpa adanya rasa malu, niscaya hal itu akan membuat intelektualitas anak bangsa kita tidak berkualitas.   

Thursday, October 7, 2010

Bapak Republik yang Dilupakan 2 (DIA YANG MAHIR DALAM REVOLUSI)

Hatinya terlalu teguh untuk berkompromi. Maka ia diburu polisi rahasia Belanda, Inggris, Amerika, dan Jepang di 11 negara demi cita-cita utama: kemerdekaan Indonesia.

Ia, Tan Malaka, orang pertama yang menulis konsep Republik Indonesia. Muhammad Yamin menjulukinya ”Bapak Republik Indonesia”. Soekarno menyebutnya ”seorang yang mahir dalam revolusi”. Tapi hidupnya berakhir tragis di ujung senapan tentara republik yang didirikannya.

Ia seorang yang telah melukis revolusi Indonesia dengan bergelora. Namanya Tan Malaka, atau Ibrahim Datuk Tan Malaka, dan kini mungkin dua-tiga generasi melupakan sosoknya yang lengkap ini: kaya gagasan filosofis, tapi juga lincah berorganisasi.
ORDE Baru telah melabur hitam peran sejarahnya. Tapi, harus diakui, di mata sebagian anak muda, Tan mempunyai daya tarik yang tak tertahankan. Sewaktu Soeharto berkuasa, menggali pemikiran serta langkah-langkah politik Tan sama seperti membaca novel-novel Pramoedya Ananta Toer. Buku-bukunya disebarluaskan lewat jaringan klandestin. Diskusi yang membahas alam pikirannya dilangsungkan secara berbisik. Meski dalam perjalanan hidupnya Tan akhirnya berseberangan dengan Partai Komunis Indonesia (PKI), sosoknya sering kali dihubungkan dengan PKI: musuh abadi Orde Baru.
Perlakuan serupa menimpa Tan di masa Soekarno berkuasa. Soekarno, melalui kabinet Sjahrir, memenjarakan Tan selama dua setengah tahun, tanpa pengadilan.

Perseteruannya dengan para pemimpin pucuk PKI membuat ia terlempar dari lingkaran kekuasaan. Ketika PKI akrab dengan kekuasaan, Bung Karno memilih Musso—orang yang telah bersumpah menggantung Tan karena pertikaian internal partai—ketimbang Tan. Sedangkan D.N. Aidit memburu testamen politik Soekarno kepada Tan. Surat wasiat itu berisi penyerahan kekuasaan kepemimpinan kepada empat nama—salah satunya Tan—apabila Soekarno dan Hatta mati atau ditangkap. Akhirnya Soekarno sendiri membakar testamen tersebut. Testamen itu berbunyi: ”…jika saya tiada berdaya lagi, maka saya akan menyerahkan pimpinan revolusi kepada seorang yang telah mahir dalam gerakan revolusioner, Tan Malaka.”

Politik memang kemudian menenggelamkannya. Di Bukittinggi, di kampung halamannya, nama Tan cuma didengar sayup-sayup. Ketika Harry Albert Poeze, sejarawan Belanda yang meneliti Tan sejak 36 tahun lalu, mendatangi Sekolah Menengah Atas 2 Bukittinggi, Februari lalu, guru-guru sekolah itu terkejut. Sebagian guru tak tahu Tan pernah mengenyam pendidikan di sekolah yang dulu bernama Kweekschool (sekolah guru) itu pada 1907-1913. Sebagian lain justru tahu dari murid yang rajin berselancar di Internet. Mereka masih tak yakin, sampai kemudian Poeze datang. Poeze pun menemukan prasasti Engku Nawawi Sutan Makmur, guru Tan, tersembunyi di balik lemari sekolah.

Di sepanjang hidupnya, Tan telah menempuh pelbagai royan: dari masa akhir Perang Dunia I, revolusi Bolsyewik, hingga Perang Dunia II. Di kancah perjuangan kemerdekaan Indonesia, lelaki kelahiran Pandan Gadang, Suliki, Sumatera Barat, 2 Juni 1897 ini merupakan tokoh pertama yang menggagas secara tertulis konsep Republik Indonesia. Ia menulis Naar de Republiek Indonesia (Menuju Republik Indonesia) pada 1925, jauh lebih dulu dibanding Mohammad Hatta, yang menulis Indonesia Vrije (Indonesia Merdeka) sebagai pleidoi di depan pengadilan Belanda di Den Haag (1928), dan Bung Karno, yang menulis Menuju Indonesia Merdeka (1933).

Buku Naar de Republiek dan Massa Actie (1926) yang ditulis dari tanah pelarian itu telah menginspirasi tokoh-tokoh pergerakan di Indonesia. Tokoh pemuda radikal Sayuti Melik, misalnya, mengenang bagaimana Bung Karno dan Ir Anwari membawa dan mencoret-coret hal penting dari Massa Actie. Waktu itu Bung Karno memimpin Klub Debat Bandung. Salah satu tuduhan yang memberatkan Soekarno ketika diadili di Landrat Bandung pada 1931 juga lantaran menyimpan buku terlarang ini. Tak aneh jika isi buku itu menjadi ilham dan dikutip Bung Karno dalam pleidoinya, Indonesia Menggugat.

W.R. Supratman pun telah membaca habis Massa Actie. Ia memasukkan kalimat ”Indonesia tanah tumpah darahku” ke dalam lagu Indonesia Raya setelah diilhami bagian akhir dari Massa Actie, pada bab bertajuk ”Khayal Seorang Revolusioner”. Di situ Tan antara lain menulis, ”Di muka barisan laskar, itulah tempatmu berdiri…. Kewajiban seorang yang tahu kewajiban putra tumpah darahnya.”
Di seputar Proklamasi, Tan meno-rehkan perannya yang penting. Ia menggerakkan para pemuda ke rapat raksasa di Lapangan Ikada (kini kawasan Monas), 19 September 1945. Inilah rapat yang menunjukkan dukungan massa pertama terhadap proklamasi kemerdekaan yang waktu itu belum bergema keras dan ”masih sebatas catatan di atas kertas”. Tan menulis aksi itu ”uji kekuatan untuk memisahkan kawan dan lawan”. Setelah rapat ini, perlawanan terhadap Jepang kian berani dan gencar.

Kehadiran Tan di Lapangan Ikada menjadi cerita menarik tersendiri. Poeze bertahun-tahun mencari bukti kehadiran Tan itu. Sahabat-sahabat Tan, seperti Sayuti Melik, bekas Menteri Luar Negeri Ahmad Soebardjo, dan mantan Wakil Presiden Adam Malik, telah memberikan kesaksian. Tapi kesaksian itu harus didukung bukti visual. Dokumen foto peristiwa itu tak banyak. Memang ada rekaman film dari Berita Film Indonesia. Namun mencari seorang Tan di tengah kerumunan sekitar 200 ribu orang dari pelbagai daerah bukan perkara mudah.

Poeze mengambil jalan berputar. Ia menghimpun semua ciri khas Tan dengan mencari dokumen di delapan dari 11 negara yang pernah didatangi Tan. Tan, misalnya, selalu memakai topi perkebunan sejak melarikan diri di Filipina (1925-1927). Ia cuma membawa paling banyak dua setel pakaian. Dan sejak keterlibatannya dalam gerakan buruh di Bayah, Banten, pada 1940-an, ia selalu memakai celana selutut. Ia juga selalu duduk menghadap jendela setiap kali berkunjung ke sebuah rumah. Ini untuk mengantisipasi jika polisi rahasia Belanda, Jepang, Inggris, atau Amerika tiba-tiba datang menggerebek. Ia memiliki 23 nama palsu dan telah menjelajahi dua benua dengan total perjalanan sepanjang 89 ribu kilometer—dua kali jarak yang ditempuh Che Guevara di Amerika Latin.

Satu lagi bukti yang mesti dicari: berapa tinggi Tan sebenarnya? Di buku Dari Penjara ke Penjara II, Tan bercerita ia dipotret setelah cukur rambut dalam tahanan di Hong Kong. ”Sekonyong-konyong tiga orang memegang kuat tangan saya dan memegang jempol saya buat diambil capnya. Semua dilakukan serobotan,” ucap Tan. Dari buku ini Poeze pun mencari dokumen tinggi Tan dari arsip polisi Inggris yang menahan Tan di Hong Kong. Eureka! Tinggi Tan ternyata 165 sentimeter, lebih pendek daripada Soekarno (172 sentimeter). Dari ciri-ciri itu, Poeze menemukan foto Tan yang berjalan berdampingan dengan Soekarno. Tan terbukti berada di lapangan itu dan menggerakkan pemuda.

Tan tak pernah menyerah. Mungkin itulah yang membuatnya sangat kecewa dengan Soekarno-Hatta yang memilih berunding dan kemudian ditangkap Belanda. Menurut Poeze, Tan berkukuh, sebagai pemimpin revolusi Soekarno semestinya mengedepankan perlawanan gerilya ketimbang menyerah. Baginya, perundingan hanya bisa dilakukan setelah ada pengakuan kemerdekaan Indonesia 100 persen dari Belanda dan Sekutu. Tanpa itu, nonsens.

Sebelum melawan Soekarno, Tan pernah melawan arus dalam kongres Komunisme Internasional di Moskow pada 1922. Ia mengungkapkan gerakan komunis di Indonesia tak akan berhasil mengusir kolonialisme jika tak bekerja sama dengan Pan-Islamisme. Ia juga menolak rencana kelompok Prambanan menggelar pemberontakan PKI 1926/1927. Revolusi, kata Tan, tak dirancang berdasarkan logistik belaka, apalagi dengan bantuan dari luar seperti Rusia, tapi pada kekuatan massa. Saat itu otot revolusi belum terbangun baik. Postur kekuatan komunis masih ringkih. ”Revolusi bukanlah sesuatu yang dikarang dalam otak,” tulis Tan. Singkat kata, rencana pemberontakan itu tak matang.

Penolakan ini tak urung membuat Tan disingkirkan para pemimpin partai. Tapi, bagi Tan, partai bukanlah segala-galanya. Jauh lebih penting dari itu: kemerdekaan nasional Indonesia. Dari sini kita bisa membaca watak dan orientasi penulis Madilog ini. Ia seorang Marxis, tapi sekaligus nasionalis. Ia seorang komunis, tapi kata Tan, ”Di depan Tuhan saya seorang muslim” (siapa sangka ia hafal Al-Quran sewaktu muda). Perhatian utamanya adalah menutup buku kolonialisme selama-lamanya dari bumi Indonesia.

Berpuluh tahun namanya absen dari buku-buku sejarah; dua-tiga generasi di antara kita mungkin hanya mengenal samar-samar tokoh ini. Dan kini, ketika negeri ini genap 63 tahun, majalah ini mencoba melawan lupa yang lahir dari aneka keputusan politik itu, dan mencoba mengungkai kembali riwayat kemahiran orang revolusioner ini. Sebagaimana kita mengingat bapak-bapak bangsa yang lain: Bung Karno, Bung Hatta, Sjahrir, Mohammad Natsir, dan lainnya.

TEMPO, 25/XXXVII 11 Agustus 2008

GAYA HIDUP DAN PERILAKU KONSUMTIF MAHASISWA

Oleh : Muhammad Harir

Terdapat banyak cerita dalam kehidupan kaum intelektual di kalangan akademik, sisi kehidupan mahasiswa saat ini telah dihadapkan pada berbagai godaan yang menarik dan menggiurkan sehingga bisa menyimpang dari idealisme hakiki manusia. Gaya hidup mahasiswa adalah gaya hidup kelas menengah ke atas yang dicirikan dengan kemampuan mengonsumsi produk dan gaya hidup yang serba modern. Mahasiswa sering kali digambarkan sibuk mengejar urusan cinta dengan gaya hidup yang menonjolkan tampilan fisik. Sihir modernisasi melahirkan status quo bagi anak2 muda yang beruntung memiliki orang tua yang mapan secara ekonomi. Mereka yang tercukupi hidupnya dengan berbagai material tak merasakan kontradiksi ekonomi yang sama dengan mahasiswa (maaf) miskin, sehingga membuat mereka ogah-ogahan memikirkan nasib saudaranya yang kurang beruntung. Kesibukan mereka hanya satu, bagaimana menyelesaikan kuliah dengan cepat hingga mendapatkan pekerjaan yang layak tanpa harus terlibat masalah dengan kehidupan social bermasyarakat.

Bukannya melempar kesalahan terhadap mereka yang beruntung secara ekonomi, mengingat kehadiran salah satu subkultur yang telah diakui perlawanannya terhadap ketidakadilan sosial lahir dari anak muda yang memilih meninggalkan kemapanan ekominya. Tetapi, Lebih celaka lagi bagi mereka yang kurang beruntung yang hanya tinggal diam dengan keadaannya. Kalau melihat kehidupan kalangan mahasiswa di tataran akademik sudah termoderasi oleh budaya konsumerisme. Kehidupan mahasiswa pada hari ini tidak jauh berbeda dari kehidupan siswa yang masih mengenyam sekolah menegah keatas. Pergi kuliah, kemudian mencatat apa saja yang keluar dari mulut dosen lengkap dengan titik komanya. Kegiatan yang paling digemari bila kuliah usai duduk berkelompok kelompok, bukan mendiskusikan tentang masalah perkuliahan tetapi hanya cenderung bersifat kelakar, ledek meledek. Ada yang mendengar tentu ada yang jadi tukang cerita. Setelah jam kuliah usai mereka langsung kembali ke kostnya masing-masing, Itu seperti halnya mahasiswa (kupu-kupu). Padahal di lingkungan kampusnya ada banyak persoalan dihadapi dan merugikan mereka yang tidak pernah di jawab oleh mahasiswa. Semisal; biaya pendidikan yang mahal dan tidak terjangkau oleh kalangan bawah smentara, hak kita untuk mendapatkan pendidikan yang bermutu, fasislitas yang memadaidan manunjang proses belajar mengajar, birokrasi kampus yang korup, pengambilan keputusan dan masih banyak lagi. Sungguh naas nasib kita (mahasiswa) membiarkan diri dijajah dalam bentuk-bentuk baru dan halus sungguh konyolnya kita yang membiarkan hak-hak kita dikebiri oleh orang lain.

“Budaya konsumtif yang ada dalam diri manusia tentunya tidak terlepas dari watak manusia sebagai makhluk yang hedonis dimana ras tidak puas akan sesuatu hal akan timbul dalam diri manusia, perkembangan sosial dan teknologi dalam masyarakat juga turut mempengaruhi di dalamnya, inilah yang akhirnya mempercepat lahirnya watak konsumtif dan budaya (brand it) khususnya dalam diri mahasiswa sebagai salah satu golongan menengah keatas yang ada di masyarakat, kondisi ini pun yang mengakibatkan semakin lebarnya jurang natara si kaya dengan si miskin”. Persoalan yang mahasiswa hadapi di dalam kampus tidak bisa di pandang secara sempit dan terlepaskan dengan kondisi sosial, ekonomi, politik, dan budaya diluar kampus. Karena; Pertama, kondisi objektif (kondisi sosial, ekonomi, politik dan budaya) yang terjadi di luat lingkungan kampus adalah faktor kuat yang mempengaruhi kondisi di internal dan tata kehidupan di dalam kampus. Kedua, ruang kehidupan mahasiswa ada dua, kampus dan masyarakat.
Lihat SMI Semarang Office di peta yang lebih besar