SELAYANG PANDANG ZAMAN BERGERAK MASYARAKAT INDONESIA[1]
Oleh
: Muhammad Harir[2]
A.
Pendahuluan
Hubungan diantara kalangan
kelompok intelektual dan politik merupakan bagian penting dari perjalanan
sejarah Indonesia. Hubungan itu mulai memperoleh bentuknya terutama ketika
terjadi kebutuhan yang meningkat akan tenaga kerja terampil pada akhir abad ke-19
sebagai akibat dari diperkenalkannya private
capitalism oleh pemerintah kolonial semasa periode liberal (1870-1900). Salah
satu perubahan terpenting yang dihasilkan oleh apa yang disebut dengan 'politik
etis' ini terjadi pada tiga dekade pertama abad ke-20 ketika program pendidikan
'massal' pemerintah kolonial telah menghasilkan kelompok terdidik di kalangan
bumiputra dalam jumlah yang tidak pernah terjadi sebelumnya. Pendirian sekolah
dan organisasi baik disadari atau tidak memicu rakyat pribumi untuk melakukan
pergerakan dan resistensi terhadap pemerintah yang berdaulat.[3]
Berbagai organisasi modern mulai
bermunculan, tepatnya pada 1908 muncul Boedi Oetomo sebagai organisasi pertama
rakyat pribumi. Walaupun banyak kalangan sejarawan yang meragukan Boedi Oetomo
sebagai organisasi pergerakan yang berspektrum nasional, karena masih bersifat
lokal (Jawa), di samping itu Boedi Oetomo adalah organisasi sosial yang
bersifat kooperatif dengan pemerintah yang berwenang. Namun, keberadaan Boedi
Oetomo ini setidaknya merangsang organisasi-organisasi pergerakan sosial
politik yang bersifat nasional seperti SI (Sarekat Islam), kemudian disusul IP (Indische
Partij), Insulinde, ISDV yang kemudian menjadi PKI (Partai Komunis Indonesia),
dan lain sebagainya. Harus dicatat peran sentral SI terutama di bawah kepemimpinan
Tjokroaminoto sebagai organisasi mainstream tempat para pemimpin pergerakan menempa
diri. Sebagian besar para pemimpin organisasi-organisasi pergerakan yang ada
adalah kader, anggota, bahkan ketua cabang dari SI. Perjuangan bersenjata yang
tak terorganisir secara modern mulai ditinggalkan. Kalangan generasi baru mulai
memilih alat perjuangan baru berupa organisasi dan ilmu pengetahuan serta cara
berpikir modern. Pada saat itu mulai muncul perubahan kesadaran baru akan cita-cita
dan orientasi perjuangan. Isu-isu tentang nasionalisme, sosialisme dan
demokrasi adalah gagasan yang sering dikemukakan oleh kalangan pergerakan
menggeser pemikiran tradisional yang feodal dan mistik.[4]
Pada dasawarsa akhir abad 19, tepatnya
ketika dimulainya pelaksanaan politik etis setelah kegagalan tanam paksa,
pemahaman mengenai kebangsaan mulai tumbuh di Indonesia dan dipelopori oleh
para kaum cendekiawan yang notabene mendapat kesempatan mengenyam pendidikan.
Trilogi politik etis menyangkut edukasi,
irigasi dan imigrasi setidaknya memberi pengaruh pada upaya perbaikan terhadap
negeri jajahan, meskipun praktiknya tetap untuk mengeruk sumberdaya negeri
jajahan. Belanda mempunyai peran yang tidak sedikit dalam memperkenalkan paham kebangsaan
ini kepada rakyat pribumi (inlander) dengan mendirikan sekolah-sekolah untuk
rakyat. Pada tahun 1893 didirikan Eerste
Klass Inlandsche Scholen (Sekolah Bumi putera Angka Satu) yang dikhususkan untuk
rakyat pribumi kalangan bangsawan dan priyayi, dan Tweede Klass Inlandsche Scholen (Sekolah Bumiputera Angka Dua)
untuk rakyat pribumi yang miskin.[5] Perluasan pendidikan kepada bumiputera
merupakan produk resmi dari politik etis. Pendidikan ini tidak hanya untuk
mendapatkan tenaga kerja yang murah bagi pemerintah dan kegiatan bisnis swasta
Belanda, tetapi juga menjadi alat utama untuk “mengangkat” derajat bumiputera
dan menuntun mereka menuju modernitas serta “persatuan Timur dan Barat”.[6] Harus dicatat pula peran dari
orang Cina baik keturunan maupun totok dalam bidang pendidikan dan kebudayaan,
dengan mendirikan sekolah dan pembentukan organisasi Tionghoa pada dasawarsa
awal abad 20, seiring merebaknya semangat nasionalisme Cina yang dicetuskan pada
tahun 1911 oleh Sun Yat Sen. Organisasi Tionghoa yang terkenal seperti THHK
(Tiong Hoa Hwee Koan) mendirikan sekolah dan mendatangkan guru-guru dari Cina untuk
mengajar bahasa Cina dan kebudayaan Cina bagi anak-anak Cina.
Benih-benih nasionalisme ini muncul
dari dalam organisasi-organisasi pergerakan yang dipimpin oleh para pemimpin
yang sebagian besar adalah pribumi. Benih nasionalisme tersebut mulai
ditebarkan dengan isu solidaritas bumiputera untuk keadaan yang lebih baik. Senjata
utama yang digunakan oleh organisasi pergerakan tersebut adalah surat kabar dan
vergadering (musyawarah/pertemuan politik). Hal tersebut sangat jelas terlihat
dari tulisan-tulisan di surat kabar setiap organisasi pergerakan seperti surat
kabar Oetoesan Hindia (SI Surabaya), Sinar Djawa (SI Semarang), De Express
(surat kabar IP) dan lain- lain. Vergadering-vergadering yang selalu dipadati
oleh rakyat adalah yang selalu dilakukan oleh SI. Para pemimpin SI dan
pemimpin-pemimpin organisasi pergerakan memimpin rakyat dengan bahasa tulisan maupun
lisan, dan mereka berhasil memobilisasi massa rakyat baik yang dapat membaca
ataupun yang buta huruf. Surat kabar sebagai media komunikasi cetak menjadi
alat propaganda pemimpin pergerakan untuk menyatukan seluruh elemen rakyat,
menumbuhkan perasaan senasib yang ditindas dan berjuang bersama melawan
penjajah.
B.
Pelopor Gerakan Rakyat Indonesia
Organisasi politik pertama di Indonesia pada awalnya adalah perkumpulan pedagang-pedagang Islam, sehingga
munculah Organisasi Sarekat Dagang Islam (SDI). Organisasi ini dirintis oleh Haji Samanhudi di Surakarta pada 16 Oktober 1905,
dengan tujuan awal untuk menghimpun para pedagang pribumi Muslim (khususnya
pedagang batik) agar dapat bersaing dengan pedagang-pedagang besar Tionghoa. Pada saat itu, pedagang-pedagang keturunan Tionghoa tersebut
telah lebih maju usahanya dan memiliki hak dan status yang lebih tinggi dari
pada penduduk Hindia Belanda lainnya. Kebijakan yang sengaja diciptakan oleh
pemerintah Hindia-Belanda tersebut kemudian menimbulkan
perubahan sosial karena timbulnya kesadaran di antara kaum pribumi yang biasa
disebut sebagai Inlanders.
Sarekat Dagang Islam merupakan
organisasi ekonomi yang berdasarkan pada agama Islam dan perekonomian rakyat
sebagai dasar penggeraknya. Di bawah pimpinan H. Samanhudi, perkumpulan ini
berkembang pesat hingga menjadi perkumpulan yang berpengaruh. Di Surabaya H.O.S. Tjokroaminoto mendirikan organisasi serupa
tahun 1912. Tjokroaminoto masuk SI bersama Hasan Ali Surati, seorang
keturunan India, yang kelak kemudian memegang keuangan surat kabar SI, Oetusan
Hindia. Tjokroaminoto kemudian dipilih menjadi pemimpin, dan mengubah nama SDI
menjadi Sarekat Islam (SI). Pada tahun 1912,
oleh pimpinannya yang baru Haji Oemar Said Tjokroaminoto, nama SDI diubah
menjadi Sarekat Islam (SI), kongres pertama diadakan pada bulan Januari 1913.
Dalam kongres ini Tjokroaminoto menyatakan bahwa SI bukan merupakan organisasi
politik, dan bertujuan untuk meningkatkan perdagangan antarbangsa Indonesia,
membantu anggotanya yang mengalami kesulitan ekonomi serta mengembangkan
kehidupan religius dalam masyarakat Indonesia.[7]
SI yang mengalami perkembangan
pesat, kemudian mulai disusupi oleh paham sosialisme revolusioner. Paham ini
disebarkan oleh H.J.F.M Sneevliet yang mendirikan organisasi ISDV
(Indische Sociaal-Democratische Vereeniging) pada tahun 1914. Pada mulanya ISDV
sudah mencoba menyebarkan pengaruhnya, tetapi karena paham yang mereka anut
tidak berakar di dalam masyarakat Indonesia melainkan diimpor dari Eropa oleh
orang Belanda, sehingga usahanya kurang berhasil. Sehingga mereka menggunakan
taktik infiltrasi yang dikenal sebagai "Blok di dalam", mereka
berhasil menyusup ke dalam tubuh SI oleh karena dengan tujuan yang sama yaitu
membela rakyat kecil dan menentang kapitalisme namun dengan cara yang berbeda.
Dengan usaha yang baik, mereka
berhasil memengaruhi tokoh-tokoh muda SI seperti Semaoen, Darsono, Tan Malaka, dan Alimin Prawirodirdjo. Hal ini menyebabkan SI pecah
menjadi "SI Putih" yang dipimpin oleh HOS Tjokroaminoto dan "SI
Merah" yang dipimpin Semaoen. SI Putih (H. Agus Salim, Abdul Muis, Suryopranoto, Sekarmadji
Maridjan Kartosoewirjo)
berhaluan kanan berpusat di kota Yogyakarta. Sedangkan SI Merah (Semaoen, Alimin, Darsono) berhaluan kiri
berpusat di kota Semarang (SI Semarang). Sedangkan HOS
Tjokroaminoto pada mulanya adalah penengah di antara kedua kubu tersebut.
Jurang antara SI Merah dan SI
Putih semakin melebar saat keluarnya pernyataan Komintern (Partai Komunis Internasional) yang menentang cita-cita
Pan-Islamisme. Pada saat kongres SI Maret 1921 di Yogyakarta, H. Fachruddin, Wakil Ketua Muhammadiyah mengedarkan brosur yang menyatakan bahwa Pan-Islamisme tidak akan tercapai bila tetap bekerja sama dengan komunis karena
keduanya memang bertentangan. Di samping itu Agus Salim mengecam SI Semarang
yang mendukung PKI. Darsono membalas kecaman tersebut dengan mengecam beleid (Belanda: kebijaksanaan) keuangan Tjokroaminoto. SI Semarang juga
menentang pencampuran agama dan politik dalam SI. Oleh karena itu,
Tjokroaminoto lebih condong ke SI haluan kanan (SI Putih). Hingga pada akhirnya
pada tanggal 23 Mei 1920 lahirlah Partai Komunis Indonesia (PKI). Semaoen dipilih
menjadi ketua PKI pertama kali. Proses pergantian nama tersebut dapat dilihat
sebagai pengindonesiaan gerakan Marxisme di Indonesia. Pada pertengahan 1920
merupakan puncak dan mati hidupnya perjuangan kaum radikal Semarang dimulai dan
perjuangan tersebut baru akan berhenti pada tahun 1926.[8]
Sebagai satu-satunya Partai
Revolusioner jang Komunistis atau Marxistis ialah: Partai Komunis Indonesia, yang
didirikan oleh saudara-saudara Semaoen, Marco, Mutalib, Budisutjitro, Darsono,
dll di Semarang pada 23 Mei 1920 yang kemudian sesudah memasuki tahun 1921
saudara Tan Malaka yang sudah berhenti dengan kemauan sendiri dari Sanembah
Mij, datang ke Semarang dan ikut memimpin PKI. Tetapi sesudahnja kedudukan
HoofdBestuur PKI dipindahkan dari Semarang ke jakarta pada bulan Juni 1924,
maka pimpinan Hoofdbestuur pimpinan PKI yang baru, sebagai hasil keputusan kongres
PKI Juni 1924 di Betawi jatuh pada Sardjono, Alimin, Musso, Winanta dll, sedang
sekertaris umumnja/sekjendnja tetap sadja saudara Budisutjitro. PKI (Partai
Komunis Indonesia), yang lahir pada 23 Mei 1920, sudah masuk kubur, sudah hancur
lebur disebabkan oleh Alimin, Muso, Sardjono, dengan tergesa-gesa membuat PUTUSAN
PRAMBANAN, putusan diatas Candi Prambanan pada 25 Desember 1925, yang sudah
membawa genjataan sejarah, bahwa PKI (Partai Komunis Indonesia), “SUDAH MASUK
KUBUR, HANTJUR LEBUR, HANTJUR LULUH, MUSNAH” pada 1 (satu) Januari 1927.[9]
Sebelum terjadi peristiwa tersebut, perdebatan panjang di internal CC PKI sudah
sangat kacau, sehingga Semaoen dan Tan Malaka keluar dari PKI, sehingga Tan menganggap
PKI terlalu dekat dengan kekuasaan, baginya perjuangan adalah milik kaum
proletar bukan para borjuis.
Setelah Tan Malaka secara
terang-terangan keluar dari PKI akhirnya mendirikan mendirikan Partai Republik
Indonesia (Pari) tahun 1927. Komintern yang sebelumnya sudah gerah dengan Tan
Malaka yang lunak terhadap gerakan Islam segera memecat Tan Malaka. Sejak itu,
mulailah Tan Malaka dikejar-kejar bukan hanya oleh pemerintah kolonial Belanda
tapi juga oleh mantan sekutunya di Komintern dan PKI. Tan Malaka seakan menjadi
revolusioner yang sendirian, bersembunyi dan menyamar sembari terus menuangkan
pikirannya dalam bentuk tulisan. Ditahun
1926-1927 gerakan-gerakan indonesia mulai banyak bermunculan, diantaranya yaitu
Nahdlatul Ulama (NU) berdiri pada tanggal 31 Januari 1926 di Jawa Timur.
Organisasi ini merupakan wadah para ulama di dalam tugas memimpin Islam menuju
cita-cita Izzul Islam Muslimin (kejayaan Islam dan umatnya).[10]
Jauh sebelum itu Muhammadiyah juga sudah didirikan di Kampung Kauman
Yogyakarta, pada tanggal 8 Dzulhijjah 1330 H/18 Nopember 1912 oleh seorang yang
bernama Muhammad Darwis, kemudian dikenal dengan KHA Dahlan.[11]
Kelompok agamis yang pada waktu itu dipelopori Muhammadiyah dan NU merupakan
poros tengah yang cukup kuat dalam percaturan dunia politik pada masa pra
kemerdekaan. Selajutnya pada 14 Juli 1927 berdirilah Partai Nasional Indonesia
yang Didirikan di Bandung oleh para tokoh nasional seperti
Dr. Tjipto Mangunkusumo, Mr. Sartono, Mr Iskaq Tjokrohadisuryo dan Mr Sunaryo.
Selain itu para pelajar yang tergabung dalam Algemeene Studie Club yang diketuai oleh Ir. Soekarno turut pula bergabung dengan partai ini.[12]
Peran pemuda dalam Sumpah Pemuda
28 oktober 1928 mempunyai kontribusi yang besar terbentuknya NKRI dikemudian
hari. setelah itu peran pemuda bergitu berperan dalam percepatan proklamasi
kemerdekaan RI. Peristiwa Rengasdengklok pada 16 Agustus 1945 yaitu para pemuda
dengan “menculik” Sukarno-Hatta agar segera memproklamasikan kemerdekaan. Yang
pada waktu itu Sokarno-Hatta tidak kunjung memprokamasikan karena banyak
pertimbangan. Setelah itu pada Pada tanggal 7 dan 8 November 1945 diadakan
Muktamar atau Konggres Umat Islam Indonesia di Yogyakarta yang dihadiri oleh
hampir semua tokoh berbagai organisasi Islam dari masa sebelum perang serta
masa pendudukan Jepang. Kongres memutuskan untuk mendirikan majelis syuro pusat
bagi ummat Islam Indonesia, MASYUMI yang dianggap
sebagai satu-satunya partai politik bagi ummat Islam.
Pada awal pendirian MASYUMI, hanya empat organisasi yang masuk MASYUMI yaitu
Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, Perikatan Ummat Islam, dan Persatuan Ummat
Islam. Setelah itu, barulah organisasi-organisasi Islam lainnya ikut bergabung
ke MASYUMI antara lain Persatuan Islam (Bandung), Al-Irsyad (Jakarta),
Al-Jamiyatul Washliyah dan Al-Ittihadiyah (keduanya dari Sumatera Utara).
Selain itu, pada tahun 1949 setelah rakyat di daerah-daerah pendudukan Belanda
mempunyai hubungan leluasa dengan rakyat di daerah-daerah yang dikuasai oleh
RI, banyak di antara organisasi Islam di daerah pendudukan itu bergabung dengan
MASYUMI. Mudahnya persyaratan untuk masuknya sebuah organisasi Islam ke dalam MASYUMI
menjadi salah satu penyebab banyaknya organisasi-organisasi Islam yang masuk ke
dalamnya. Namun hal yang paling penting mengenai alasan meraka masuk ke dalam MASYUMI
dikarenakan semua pihak merasa perlu bergabung dan memperkuat barisan Islam.[13]
Setelah kemerdekaan Idonesia 1945 menuju ke masa transisi Orde Lama Ke Orde
Baru dalam pergolakan Politik Indonesia yang semakin masif, akhirnya Tan Malaka
kembali mendirikan Murba atau (Musyawarah Rakyat Banyak) adalah partai politik Indonesia yang didirikan pada 7 November 1948 oleh Tan Malaka, Chaerul Saleh, Sukarni dan Adam Malik. Jaman kemerdekaan, yang masih jaman revolusi peran pemuda juga sangatlah
begitu dominan. Angkatan 1966 juga berperan dalam menumbangkan rezim orde lama
dan menggantikannya dengan orde baru.
C.
Gerakan Dimasa Transisi Orde Lama
– Orde Baru
Dalam proses pengakuan kedaulatan
dan pembentukan kelengkapan negara, ditetapkan pula sistem demokrasi yang
dipakai yaitun sistem demokrasi liberal. Dalam sistem demokrasi ini presiden
hanya bertindak sebagai kepala negara. Presiden hanya berhak mengatur formatur
pembentukan kabinet. Oleh karena itu, tanggung jawab pemerintah ada pada
kabinet. Presiden tidak boleh bertindak sewenang-wenang. Adapun kepala
pemerintahan dipegang oleh perdana menteri. Dalam sistem demokrasi ini,
partai-partai besar seperti MASYUMI, PNI, dan PKI mempunyai partisipasi yang
besar dalam pemerintahan. Dibentuklah kabinet-kabinet yang bertanggung jawab
kepada parlemen (Dewan Perwakilan Rakyat ) yang merupakan kekuatan-kekuatan
partai besar berdasarkan UUDS 1950.
Saat itu kebutuhan adanya aliansi
antar kelompok Gerakan Rakyat Indonesia dirasakan cukup kuat. Pada 1947,
Kongres Mahasiswa pertama di Malang mendeklarasikan kelahiran Perserikatan
Perhimpunan Mahasiswa Indonesia (PPMI). Kebutuhan akan aliansi ini masih kuat
pada masa Demokrasi Liberal (1950-1959). Sistem multipartai yang diterapkan
saat itu mempengaruhi berbagai organisasi kemahasiswaan untuk berafiliasi
dengan partai-partai politik. Misalnya Perhimpunan Mahasiswa Katholik Republik
Indonesia (PMKRI) dengan Partai Katholik, Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia
(GMNI) dengan Partai Nasionalis Indonesia (PNI), Concentrasi Gerakan Mahasiswa
Indonesia (CGMI) dengan Partai Komunis Indonesia (PKI), Gerakan Mahasiswa
Sosialis Indonesia (Gemsos) dengan Partai Serikat Islam (PSI), Pergerakan
Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) berafiliasi dengan Partai Nahdlatul Ulama
(NU), serta Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dengan Masyumi.
Setelah PKI mendominasi hasil
pemilu 1955, CGMI pun mulai berani menjalankan politik konfrontasi dengan
organisasi mahasiswa lainnya. Mereka bahkan berusaha mempengaruhi PMII sehingga
menyebabkan perseteruan sengit antara CGMI dengan HMI. Perseteruan ini terutama
dipicu isu perebutan kekuasaan dalam tubuh PMII oleh CGMI dan GMNI setelah
Kongres ke-V PPMI pada 1961. Lima tahun kemudian, tepatnya pada 25 Oktober
1966, sejumlah organisasi yang berhasil dipertemukan oleh Menteri Perguruan
Tinggi dan Ilmu Pendidikan (PTIP) Syarief Thayeb membentuk Kesatuan Aksi Mahasiswa
Indonesia (KAMI). Organisasi mahasiswa yang menyetuji kesepakatan tersebut
adalah PMKRI, HMI, PMII, Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI),
Sekretariat Bersama Organisasi-organisasi Lokal (SOMAL), Mahasiswa Pancasila
(Mapancas), dan Ikatan Pers Mahasiswa (IPMI).
KAMI didirikan terutama agar para
aktivis mahasiswa dalam melancarkan perlawanan terhadap PKI menjadi lebih
terkoordinasi dan memiliki kepemimpinan. Munculnya KAMI lantas diikuti berbagai
aksi lainnya, seperti Kesatuan Aksi Pelajar Indonesia (KAPI), Kesatuan Aksi
Pemuda Pelajar Indonesia (KAPPI), dan Kesatuan Aksi Sarjana Indonesia (KASI). Periode
1965-1966 menjadi tonggak pergerakan bangsa ketika para pemuda dan mahasiswa
Indonesia bergerak secara nasional dan terlibat dalam mendirikan Orde Baru.
Sebelumnya, pergerakan mahasiswa bersifat kedaerahan. Mereka yang aktif pada
masa ini dikenal dengan Angkatan '66.
Sejarah Indonesia (1965-1966)
adalah masa Transisi ke Orde Baru, masa di mana pergolakan politik terjadi di Indonesia di pertengahan 1960-an, digulingkannya presiden pertama
Indonesia, Soekarno setelah 21 tahun menjabat.
Periode ini adalah salah satu periode paling penuh gejolak dalam sejarah modern Indonesia. Periode ini juga menandakan
dimulainya 32 tahun masa kepemimpinan Soeharto.
Digambarkan sebagai "dalang"
besar, Soekarno mendapatkan kekuasaan dari usahanya menyeimbangkan kekuatan
yang berlawanan dan semakin bermusuhan antara Tentara Nasional
Indonesia (TNI) dan Partai Komunis
Indonesia (PKI). Pada
tahun 1965, PKI telah menembus semua tingkat pemerintahan, mendapatkan pengaruh
besar dan juga mengurangi kekuasaan TNI. Tentara telah terbagi, antara sayap
kiri yang pro-PKI, dan sayap kanan yang didekati oleh negara-negara Barat. Pada tanggal 30 September 1965, enam
perwira paling senior TNI tewas dalam sebuah aksi yang disebut "Gerakan 30 September", sebuah kelompok dari
dalam TNI sendiri. Aksi ini kemudian dicap oleh pemerintahan Soeharto sebagai
"percobaan kudeta". Dalam beberapa jam, Mayor Jenderal Soeharto memobilisasi pasukan di bawah
komandonya dan menguasai Jakarta. Golongan anti-komunis, yang
awalnya mengikuti perintah TNI, melanjutkan pembersihan
berdarah dari komunis di seluruh
negeri, diperkirakan menewaskan setengah juta orang, dan menghancurkan PKI,
yang secara resmi telah dipersalahkan atas krisis tersebut oleh Soeharto.
D.
Orde Baru ke Reformasi
Akibat adanya pemberontakan
Gerakan 30 September timbullah reaksi dari berbagai
Parpol,Ormas,Mahasiswa dan kalangan pelajar. Pada tanggal 8 Oktober 1965 partai
politik seperti IPTKI, NU, Partai Kristen Indonesia, dan organisasi massa
lainnya melakukan apel kebulatan tekad untuk mengamankan Pancasila dan menuntut
pembubaran PKI serta ormas-ormasnya. Pada tanggal 23 Oktober 1965 parpol yang
anti komunis membentuk Front Pancasila dan diikuti oleh pembentukan KAMI (
Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia ), KAPI ( Ksatuan Aksi Pelajar Indonesia ),
dan lain-lain. Pada tanggal 10 Januari 1966 KAMI mencetuskan TRITURA (Tiga
Tuntutan Rakyat) “Bubarkan PKI dan ormas-ormasnya,Bersihkan kabinet dari unsur
PKI,dan turunkan harga-harga”
Rezim Orde Baru memiliki
kekuasaan penuh mengendalikan kehidupan politik masa itu. Kebijakan politik
yang diterapkan dalam masa Orde Baru dapat dilihat dari awal lahirnya Orde
Baru. Pemberangusan hak-hak berpolitik bagi eks anggota PKI dan keluarganya,
merupakan salah satu kebijakan yang mengundang kontroversi dari masyarakat.
Pemerintah Orde Baru memberikan kesempatan politik hanya kepada golongan
tertentu saja. Menjelang dilaksanakannya pemilu pada tahun 197, jumlah partai
yang menjadi peserta, tidak sebanyak partai politik di tahun 1955.
Pemegang pemerintahan di Orde
Baru adalah kalangan militer. Kekuasaan sentralistik yang digunakan oleh
pemerintah Orde Baru menunjukkan berbagai akibatnya di akhir pemerintahan Orde
Baru. Kekuasaan militer hampir di seluruh bidang pembangunan. Pada akhir tahu
90-an dengan runtuhnya rezim Orde Baru dan seiring dengan era reformasi terbuka
kesempatan bagi rakyat untuk menentanng kekuasaan yang otoriter itu . operasi
militer mengerikan yang selam 10 tahun tertutup rapat dari pengetahuan
publikpun terbongkar. Presiden Soeharto dan rezimnya menyadari bahwa,
kemenangan mereka dapat tercapai antara lain berkat dukungan tokoh-tokoh islam
termasuk ormas-ormasnya simpatisan masyumi. Tetapi ketika muncul tuntutan dari
tokoh-tokoh masyumi yang baru bebas dari tahanan rezim Orde Lama, untuk
merehabilitasi partainya, Soeharto tegas menolak dengan alasan ”yuridis,
ketatanegaraan, dan psikologi “. Bahkan Soeharto dengan nada yang agak marah,
mengaskan, Ia menolak setiap keagamaan dan akan menindak setiap usaha
eksploitasi masalah agama untuk maksud-maksud kegiatan politik yang tidak pada
tempatnya. Dalam kata lain, pemerintahan Orde Baru yang didominasi militer
tidak menyukai kebangkitan politik islam. [14]
Memasuki pertengahan tahun
1970-an tersebut, gerakan mahasiswa kembali bergolak. Tepatnya di tahun 1974
dan tahun 1978. Di tahun 1974 meletuslah Peritiwa Malari. Peristiwa Malari
adalah gerakan pertama mahasiswa secara monumental untuk menentang kebijakan
pembangunan Soeharto. Pergerakan Mahasiswa pada masa ini dengan kental
ditunjukan terhadap Kebijakan Orde Baru yang Pro terhadap Modal Asing sebagai
penjajahan baru di Indonesia terutama Jepang pada saat itu. [15] Gerakan
mahasiswa berikutnya yaitu pada tahun 1978. Sama halnya dengan gerakan 1974,
aksi ini muncul karena kekecewaan mahasiswa terhadap konsep ekonomi yang
dijalankan Soeharto serta kekecewaan terhadap praktek politik Orba yang semakin
jauh dari nilai-nilai demokrasi juga dimunculkan. Bahkan, pada masa ini
mahasiswa dengan berani mengkampanyekan penolakan terhadap Soeharto yang ingin
kembali mencalonkan dirinya menjadi Presiden Untuk menghindari aksi-aksi
berikutnya dari mahasiswa, maka Pemerintah Orde Baru mengeluarkan kebijakan
melalui SK menteri pendidikan dan kebudayaan (P dan K), Daoed Josoef, No.
0156/U/1978 tentang Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK). Disusul dengan
SK No. 0230/U/J/1980 tentang pedoman umum organisasi dan keanggotaan Badan
Koordinasi Kemahasiswaan (BKK). Inti dari dua kebijakan ini adalah
untuk mengebiri kegiatan aktifitas politik mahasiswa. Di mana mereka hanya
cukup memahami politik dalam artian teori bukan praktek.. Pemerintah Orde Baru
melakukan intervensi dalam kehidupan kampus, dengan dalih stabilitas politik
dan pembangunan. Kebijakan ini benar-benar menjauhkan mahasiswa dari realita
sosial yang ada.
Lanjut ke Gerakan Mahasiswa
Indonesia 1998 adalah puncak gerakan mahasiswa dan gerakan rakyat pro-demokrasi
pada akhir dasawarsa 1990-an. Gerakan ini menjadi monumental
karena dianggap berhasil memaksa Soeharto berhenti dari jabatan Presiden Republik Indonesia pada tangal 21 Mei 1998, setelah 28 tahun menjadi Presiden Republik Indonesia sejak awal 1970-an. Pada April 1998,
Soeharto terpilih kembali menjadi Presiden Republik Indonesia untuk ketujuh
kalinya (tanpa wakil presiden), setelah didampingi Try Soetrisno (1993-1997) dan Baharuddin Jusuf
Habibie (Oktober 1997-Maret 1998). Namun, mereka tidak mengakui Soeharto dan melaksanakan pemilu
kembali. Pada saat itu, hingga 1999,
dan selama 29 tahun, Partai Golkar merupakan partai yang menguasai
Indonesia selama hampir 30 tahun, melebihi rejim PNI yang menguasai Indonesia selama
25 tahun. Namun, terpliihnya Soeharto untuk terakhir kalinya ini ternyata
mendapatkan kecaman dari mahasiswa karena krisis ekonomi yang membuat hampir
setengah dari seluruh penduduk Indonesia mengalami kemiskinan. Gerakan ini
mendapatkan momentumnya saat terjadinya krisis moneter pada pertengahan tahun 1997.
Namun para analis asing kerap menyoroti percepatan gerakan pro-demokrasi pasca Peristiwa 27 Juli 1996 yang terjadi 27 Juli 1996. Harga-harga kebutuhan melambung tinggi, daya beli masyarakat pun
berkurang. Tuntutan mundurnya Soeharto menjadi agenda nasional gerakan mahasiswa. Ibarat gayung bersambut, gerakan mahasiswa
dengan agenda reformasi mendapat simpati dan dukungan
dari rakyat.[16]
Gerbang reformasi akhirnya
didapatkan oleh rakyat indonesia atas tumbangnya Suharto pada 1998. Akan tetapi
pasca Reformasi 1998, Gerakan Rakyat mulai kehilangan arah sehingga
keberadaannya mulai dipinggirkan oleh berbagai pihak, padahal kiprah dan peran Gerakan
Rakyat pada waktu itu tidak bisa dilepaskan dari akar sejarah bangsa. Munculnya
beberapa kelemahan dalam gerakan pemuda hari ini, dibanding angkatan 1908,
1928, 1965, 1975, hingga 1998, yang memiliki karakter tersendiri dan memiliki
permasalahan tersendiri dalam implementasi gerakan konkrit mereka.
E.
Gerakan Kekinian
Semangat persatuan yang ada di
masing-masing organisasi Gerakan Rakyat di setiap wilayah indonesia tersebut
menjadi benang merah yang terus diproses secara bersama-bersama menuju
tahapan-tahapan yang kualitatif. Artinya ketika kita bersama memandang
permasalahan rakyat lainnya secara umum. Ternyata memang berasal dari satu sumber
kebijakan yaitu Negara beserta alat-alatnya yang memang masih sangat tunduk
kepada kaum modal (kapitalisme internasional). Artinya beberapa persoalan yang
muncul tidak dapat diselesaikan dengan alat perjuangan yang mempunyai karakter
lokalistik atau bersandar pada setiap wilayah saja, akan tetapi dibutuhkan alat
persatuan dan perjuangan secara nasional yang dapat lebih keras ketika memukul
rezim borjuasi.
Perjuangan mahasiswa dan rakyat
menumbangkan rezim anti-demokrasi bukan tanpa hasil. Setelah reformasi, rakyat
mendapat ruang kebebasan untuk berserikat, berkumpul, dan menyatakan pendapat.
Ini sangat penting bagi rakyat. Sebab, ruang inilah yang memberikan hak dan
kesempatan kepada rakyat untuk melancarkan aksi protes untuk memperjuangkan dan
mempertahankan hak-haknya. Namun, kita juga harus menyadari, bahwa banyak
mimpi-mimpi kita saat angin reformasi ditiupkan, seperti demokrasi sejati,
kesejahteraan rakyat, pemberantasan korupsi, penegakan hukum yang tak pandang
bulu, dan lain-lain, belum juga terwujud. Demokrasi kita menguap karena
disusupi kepentingan pasar. Akibatnya, meskipun pemilu berulangkali digelar,
bahkan mengadopsi pemilihan langsung, tetapi hasilnya selalu kepentingan
pasar-lah yang jadi pemenang. Maka tak heran, banyak yang menjuluki demokrasi
sekarang sebagai “pemerintahan dari pasar, oleh pasar, dan untuk pasar.”
Melihat dinamika perjuangan
Gerakan Rakyat Indonesia dari dulu hingga sekarang apa yang kira-kira harus
dilakukan oleh Gerakan Rakyat saat ini ?????
[1] Disampaikan pada Prakondisi PETA II Srikat
Mahasiswa Indonesia Cabang Semarang tanggal 19 Januari 2014
[2] Pemateri Prakondisi PETA II Serikat
Mahasiswa Indonesia tanggal 19 Januari 2014
[3]
M. Harun
Alrasyid, ZAMAN BERGERAK (Analisis Historis tentang Awal
Perjuangan Politik Indonesia Masa Kolonialisme 1912 – 1926), http://www.ejournal-unisma.net/ojs/index.php/madani/article/download/180/167, (Online) diunduh tanggal 17 Januari 2014.
[7] Sarekat Islam, http://id.wikipedia.org/wiki/Sarekat_Islam (online) diuduh pada tanggal 17 Januari 2014
[9] Djamaluddin Tamim, Sejarah Partai Komunis Indonesia.
[10] Lihat website
http://www.kumpulansejarah.com/2013/06/sejarah-singkat-berdirinya-nu-nahdlatul.html
[11] Lihat website
http://tonijulianto.wordpress.com/2012/12/14/sejarah-berdirinya-muhammadiyah-di-indonesia/
[12] Lihat website,
http://id.wikipedia.org/wiki/Partai_Nasional_Indonesia
[13] Lihat website
http://bulanbintang.wordpress.com/category/penyambung-lidah-masyumi/
[14] Lihat website,
http://sokhi95.blogspot.com/2013/04/makalah-mengenai-orde-lama-orde-baru.html
[15] Hasibuan, Imran dkk. Hariman & Malari,
Gelombang Aksi Mahasiswa Menetang Modal Asing. Jakarta: Q-Communication. 2011.
[16] Lihat website, http://id.wikipedia.org/wiki/Gerakan_mahasiswa_Indonesia_1998
No comments:
Post a Comment