Saturday, March 26, 2011

CINTA

CINTA ADALAH KELUH KESAH MANUSIA YANG TERASING
“ Sebuah Essai untuk Kawan-Kawan yang Berjuang guna Kemenangan Kelas Proletar”
……………Azmir zahara……........
---------------------------------------------
PESTA TELAH USAI 
Di negeri seberang
Kau tabur cahaya
Diiringi alunan seruling
Mendekat mencoba merapat
Dua hati yang mulai berdansa
Langkah demi langkah sajikan gerakan
Mencoba lebih mendalam
Semua hilang ingatan
Pesta telah usai
Disini bukan tempatnya
Cacian sejarah yang kelam
Membuat binasa
-----------------------------------------------------------------
Bentuk-bentuk perlawanan dalam sejarah peradaban umat manusia, bentuk protes terhadap kekuasaan dengan dogma yang menindas. Bentuk bentuk perlawan selalu berkembang dengan metodenya, Heraclitos filsuf yunani mengatakan bahwa tidak ada sesuatu hal yang tetap, semua mengalimi perubahan (panthe rai). Sejarah peradaban manusia selalu berkembang. Perlawanan pertama dalam sejarah filsafat barat adalah menentang mite-mite dan dogma oleh filsuf yunani. Hancurnya dinansti dewa-dewa digantikan oleh kekuatan manusia yang mempunyai rasio. Rasio mempunyai tempat tertinggi didalam dinamika filsafat yunani. Terbebasnya manusia dari belunggu mite-mite dan dogma, membuat manusia sebagai manusia yang bebas, dia hanya dibatasi oleh rasio-nya sendiri.
Masyarakat Yunani pun meliki budaya yang dari masyarakat dengan dinasti dewanya, yaitu budaya perbudakan. Budaya perbudakan berkembang sampai datangnya suatu perlawanan. Perlawan selajutnya adalah dari kaum kesatria (raja) yang besekutu dengan kaum intelektual Skolastik, yang menentang kebebasan rasio yang tidak menempatkan realitas substasi pada Tuhan. Kaum Skolastik menjelaskan bahwa rasionalitas adalah hirarki, yaitu rasionalitas tertinggi dimiliki oleh Tuhan, raja dan “gereja” dan yang terakhir adalah rakyat. Belenggu-belenggu dogmatik mulai mencabik-cabik akal manusia. Kebebasan manusia hilang digantikan “firman-firman” dan “sabda-sabda”. Berabad-abad manusia tenggelam dalam kegelapan otorianism feodal dan gereja, hingga muncul peradaban renesians yang menggembalikan manusia pada posisi yang penting dalam peradaban selanjutnya. Perlawaanan atas dogma dan gereja mulai bergulir, dengan sastra sampai pada gerakan massa. Gelombang revolusi pun merebak, revolusi yang terkenal adalah revolusi Inggris dan revolusi Prancis. Hasil dari perlawanan itu terbentuknya suatu kekuasaan baru, yaitu dinasti Borjuis.
Berkuasanya borjuis telah memberikan warna tersendiri dari peradaban manusia. Mode produksi yang berdasarkan private, memciptakan satu kelas baru, yaitu proletar. Marx seorang filosof Jerman dalam naskah Economic and Philoshopic Manuscripts 1841, proletar teralienasi karena adanya kepemilikan pribadi. Lavine, menyebutkan alienasi manusia memiliki empat bentuk utama: (1) manusia diasingkan dari produk hasil kerjanya, (2) sistem kapitalisme mengasingkan dari aktivitasnya, (3) masyarakat mengasingkan buruh dari kualitas penting manusia, (4) pemisahan manusia dari manusia. Dalam The German Ideology, Marx menemukan bahwa alienasi proletar disebabkan oleh adanya Basic Struktur yaitu corak produksi kapitalisme, sedangkan Supra Stuktur adalah nilai-nilai yang merupakan cerminan dari Basic Struktur, seperti hukum, politik, agama, budaya. Hubungan antara basis ekonomi dan superstruktur bersifat mekanis dan secara ekonomis bersifat deterministik. Determinisme ekonomi ialah adanya pemikiran bahwa motif mencari laba dan relasi kelas secara langsung (directly) menentukan bentuk dan makna akan produk budaya.
Budaya borjuis telah berkembang dan merubah semua tatanan budaya masyarakat yang usang, semua mengikutinya dengan sendirinya maupun dengan paksaan. Budaya konsumsi, budaya party, gaya hidup, gaya pergaulan merupakan settingan dari penguasa, yaitu borjuis. Sampai hal yang paling remeh-temah mengenai yaitu “cinta”. Borjuis sangat berkepentingan dengan “cinta” sebagai objek komuditas penghasil capital dan menjadikan surplus value. Kebudayaan bersifat politis karena ia mengekspresikan relasi sosial kuasa kelas dengan cara menaturalisasikan tatanan sosial sebagai suatu “fakta” niscaya, sehingga mengaburkan relasi eksploitasi di dalamnya. Jadi kebudayaan sangat ideologis.
            Pertanyaannya mengapa masyarakat tidak mengerti akan  hal itu, akan tetapi masyarakat tambah bersemangat atas budaya borjuis tersebut. Hal ini lah yang disebut Marx dengan alienasi. Betapa tidak, masyarakat memuja budaya borjuis, karena budaya borjuis meyediakan kesenangan. Borjuis menyediakan ruang untuk seluruh masyarakat, dari gaya busana masa kini untuk membuat percaya diri atau guna menarik pasangan, sampai peralatan kecantikan modern guna membuat para perempuan menjadi perempuan yang ideal di mata budaya borjuis.
“Cinta” pun sabagai komuditas, “cinta” dideskontruksi ulang oleh borjuis. “Cinta” menjadi satu komuditas kaum borjuis dengan mengekploitasi kata “cinta” dengan tujuan menghasilkan surplus value. Munculnya industri musik menjajakan kata “cinta” di dalam mode produksi kapitalisme, telah memberikan satu kesadaran akan hegemoni budaya borjuis. Lagu-lagu bertemakan cinta laris manis dan telah menghipnotis masyarakat. Kata “cinta” sebagai alat untuk menidurkan masyarakat dari realitas yang menindas. Kebudayaan borjuis juga, menghendaki “cinta” sebagai ajang gosip oleh masyarakat dan infotaiment komersil. Masyarakat dalam hidupnya dipaksa untuk membicarakan “cinta” sehingga masyarakat lupa akan hidup yang berharga, yaitu hidup tanpa penindasan.  Misalnya curhat, masyarakat begitu antusias membicarakan cinta dengan melankolis-nya. Aktivitas curhat, telah menyita waktu berharga masyarakat, dan menenggelamkannya dalam jerit tangis dan gelak tawa. Masyarakat menikmati “cinta” yang disetting borjuis, dan jika “cinta” tak se-ideal buatan borjuis, maka “cinta” tidak akan laku bahkan dipandang “cinta” gila (a-rasional). “Cinta” yang anti “cintanya” borjuis, akan dibakar dengan fitnah-fitnah.
Dalam budaya borjuis, “cinta” sebagai legalitas free sex. Dalam perkembangan industri-industri besar kapitalis, telah menciptakan urbanisasi proletar yang besar. Berkaitan akumulasi dan surplus value, borjuis menciptakan satu budaya baru, yang dulunya “tabu” sekarang menjadi hal yang maklum, yaitu munculnya lokalisasi prostitusi.  Proletar dengan kerja menghasilkan komuditas-komuditas, dan untuk tetap bertahan bekerja dan upah murah, sehingga borjuis mengikat proletar dengan dibuatlah ruang budaya free sex. Budaya free sex berkembang bukan hanya kalangan pekerja namun kalangan anak muda, pelajar, dan mahasiswa pun sudah terhegemoni oleh budaya borjuis. “Cinta” sebagai kepentingan yang eksploitatif, cinta telah benar-benar menjadi budaya borjuis, sebagai alat untuk meng-hilang-kan kesadaran akan melawan dari realitas yang menindas.
            Menurut Trotsky, setiap kelas yang berkuasa pasti menciptakan budayanya sendiri, dan karenanya juga menciptakan seni mereka sendiri. Sejarah telah menyaksikan adanya budaya-budaya perbudakan dari Timur dan keantikan budaya klasik, budaya feodal Eropa zaman pertengahan dan budaya borjuis yang saat ini memerintah dunia. Berangkat dari sinilah terdapat pemikiran bahwa kaum proletar juga harus menciptakan budaya dan seninya sendiri. Dan juga telah diterangkan oleh Marx dan Engel dalam Communism Manifesto , bahwa sejarah umat manusia adalah sejarah perjuangan kelas.
            Masyarakat menjadi sekumpulan komuditas yang terasing akan dirinya dan tidak sadar akan realitas yang menindas. Budaya-budaya borjuis sudah mengakar pada jantung-jantung masyarakat. Bunga “cinta” telah berubah menjadi racun masyarakat, “cinta” adalah candu, “cinta” adalah keluh kesah manusia yang terasing. Menyinkirkan duri-duri “cinta”, tidak harus melukai “cinta” tersebut. Dengan menyingkirkan duri-duri itu, maka “cinta” akan terbebas, dan menjadi “cinta” yang sadar dan berlawan.
Budaya borjuis, mau tidak mau harus di-revolusi-kan, diganti dengan budaya baru, budaya yang mulai tumbuh dan berkembang yaitu budaya proletar. Budaya proletar, menempatkan budaya sebagai mestinya. Budaya proletar memberikan suatu cara pandang baru. Ke-budaya-an yang setara dan revolusioner, mengembalikan makna “cinta” yang membebaskan manusia dari eksploitatif budaya borjuis. Penghargaan besar bagi budaya proletar, yaitu budaya yang menempatkan perempuan pada posisi yang setara sebagai “subjek” yang progresif. Begitu pula budaya proletar akan mendenkonstruksi makna “cinta” yang kormersil, eksploitatif, akumulatif-surplus value menjadi “cinta” yang sadar akan dirinya dan realitas. “Cinta” sebagai relasi yang setara, revolusioner dalam suatu peradaban yang maju, tanpa ada penindas dan ditindas. “Cinta” tak lagi berkelas.

“CINTA SEBAGAI KESADARAN DIRI DAN REALITAS YANG SETARA-REVOLUSIONER”

No comments:

Post a Comment

Lihat SMI Semarang Office di peta yang lebih besar