Malam ini aku tengah berdiskusi di
Pondok Mertua Indah Kedungmundu dengan seorang kawan, sebut saja namanya Harir,
dia adalah Ketua SMI Cabang Semarang.....”
Tiba-tiba terbesit ingatan pada
tahun-tahun 2005 akhir atau 2006 awal aku lupa pastinya, yang jelas pada kala
itu kami tengah membangun Ormass mahasiswa tingkat nasional dahulu kami bersatu
dalam Keluarga Aktifis Mahasiswa Demokratik (KA-MD) Semarang.....”
Kala itu ketika kami para
Mahasiswa Demokratik sedang menentang proses pembangunan HOTEL GUMAYA PALACE
yang terletak di Jl. Gajah Mada, Semarang. Proses pembangunan hotel tersebut
tidak memiliki ijin AMDAL, IMB nya pun bermasalah karena ulah Walikota Semarang
pada periode itu. Lantas pembangunan hotel tersebut berimbas pada penggusuran
warga kampung Jayenggaten, mendengar kabar itu kami dan kawan-kawan dari
organisasi gerakan yang lain di semarang memulai konsolidasi dan bersepakat
untuk melakukan proses advokasi dan mengorganisir warga Jayenggaten. Kala itu
kami merumuskan banyak strategi dan taktik untuk menentang upaya penggusuran
dan menolak pembangunan hotel tersebut, dari mulai membangun posko perlawanan,
menggelar rapat-rapat akbar, mobilisasi dan aksi-aksi penolakan digencarkan,
beberapa kali kami bentrok dengan para cecunguk-cecunguk bayaran yang membela
kepentingan “Boss” hotel tersebut yang konon berasal dari Singapore......”
Pengorganisiran pun semakin
massif dan perlawanan warga semakin berkecamuk, hampir tiap hari berita
perlawanan warga Jayenggaten meramaikan head line media massa. Anggap saja kala
itu warga Jayenggaten sedang memasuki jaman jaya berjuang, seakan tak mengenal
rasa lelah. Spanduk dan poster menjadi hiasan sepanjang lorong jalan, kami dan
mereka sangat heroik.......”
Tidak jarang kami melakukan
mobilisasi massa menggeruduk PEMKOT Semarang, bapak-bapak, ibu-ibu, anak-anak
memadati barisan aksi, dari beragam pealatan dapur eperti panci, ember dan
temen-temennya dibawa untuk meriuhkan suasana aksi. Tak kenal lelah, pantang
takluk, sepertinya api perlawanan itu susah padam. Walikota semarang pun acuh
tak acuh terhadap tuntutan warga Jayenggaten, dari proses Non Litigasi sampai
dengan Litigasi termasuk mengajukan Gugatan ke PTUN kami lakukan. Namun
perlawanan kami selalu dipatahkan oleh persekongkolan jahat mereka. Persatuan
warga pun di pecah belah, adu domba menjadi momok sehari-hari, perlawanan kami
selalu dihalau dengan beragam cara.......”
Singkat kata ; dalam proses
perjuangan itu harus selalu waspada dalam segala hal, solidkan barisan, jangan
ceroboh dan bertindak disiplin. Karena tanpa semua itu kita akan hancur dan
lemah. Warga jayenggaten pun tumbang perjuangannya... dalam sekejap pelawanan
itu kandas.......”
Kini dengan congkaknya Tower
Hotel Gumaya Palace itu berdiri tegak......”
Aku masih ingat betul hari-hari
di posko perlawanan itu selalu diwarnai dengan diskusi-diskusi sesekali kami
juga menyayikan lagu-lagu perjuangan, salah satunya lagu yang paling kami ingat
adalah “ Bangunlah Wanita” karena warga Jayenggaten mayorita kaum wanita dan
anak-anak...”
Begitulah sekapur sirih tentang
kisah kami dikala itu, aku sangat rindu suasana berlawan itu......”
Salam buat semua warga
Jayenggaten yang sekarang sudah berpencar dan aku tidak tau dimana mereka
tinggal......”
Itu adalah guru terbaik dalam
hidup kami, mereka dan kalian.......”
Kedungmundu, pukul 22:57, 19 Juni 2012
Toni Triyanto
Salam Pembebasan.......!
No comments:
Post a Comment