UU PT DISAHKAN : MALAPETAKA BAGI RAKYAT
INDONESIA
Rezim Kapitalis SBY-Boediono Gagal
Menyelenggarakan Pendidikan Gratis, Ilmiah, Demokratis Dan Bervisi Kerakyatan
Tepat
pukul 11.15 WIB tanggal 13 juli 2012 komisi X DPR RI telah mengesahkan satu
lagi udang-undang yang Anti terhadap Kepentingan rakyat, yaitu Undang-Undang
Perguruan Tinggi (PT) di dalamnya mengatur aturan-aturan terkait jenis-jenis
perguruan tinggi dan tata kelola perguruan tinggi yang diperbolehkan berdiri di
Indonesia. Termasuk aturan terkait pemenuhan kebutuhan biaya operasional
kependidikan sebuah perguran tinggi di tengah-tengah semakin berkurangnya
subsidi Negara terhadap sector pendidikan di Indonesia. Semenjak perencanaannya
UU.PT telah mengalami banyak polemik akibat beberapa pasal yang ada secara
jelas telah melegitimasi apa yang kami sebut dengan praktek kapitalisasi
pendidikan dan segala ekses jahatnya terhadap kepentingan rakyat Indonesia
dalam mendapatkan hak berpendidikannya, tekhusus akses rakyat Indonesia
terhadap akses pendidikan tinggi di Indonesia. Pertanyaanya dari manakah akar
persoalan UU.PT yang pada akhirnya memunculkan penolakan atas disyahkannya
Undang-undang Perguruan Tinggi.
Sejak
tahun 1995, Di Era Orde Baru Indonesia telah menjadi anggota WTO, World Trade
Organization (WTO) merupakan satu-satunya organisasi internasional yang
mengatur perdagangan internasional. Terbentuk sejak tahun 1995 dan berjalan
berdasarkan serangkaian perjanjian, yang dinegosiasikan dan disepakati oleh Negara-negara
anggotanya yang kemudian harus diratifikasi (diturunkan menjadi kebijakan dalam
negeri) melalui Parlemen Negara-negara tersebut . Tujuan dari
perjanjian-perjanjian WTO adalah untuk memastikan Produsen barang dan jasa,
eksportir dan importir dalam melakukan seluruh kegiatannya. Yakni pendorongan
perluasan pasar di Negara-negara dunia dan penyatuan pasar dunia dengan tujuan mencari
keuntungan sebesar-besarnya.
Pada
bulan desember 2005 Pemerintahan SBY-JK menandatangani GAT’s (General Agreement
on Trade in Services) yang mengatur liberalisasi perdagangan pada 12 sektor
jasa, dimana perjanjian tersebut menetapkan pendidikan sebagai salah satu
bentuk pelayanan sektor publik yang dapat diprivatisasi tanpa campur tangan
pemerintahan negara. Sebagai catatan Kapitalisasi sebuah sector jasa sejatinya
merupakan kepentingan kelas pemodal dengan orientasi surplus value. Ini
dikarenakan Negara sebagai alat kekuasaan di batasi hak-hak nya mengelola sektor publik
dan rakyat sehingga hambatan pemodal terhadap kapitalisasi lembaga pendidikan
dapat di hilangkan, dengan kata lain Neo-Liberal akan berusaha menghilangkan peran
dan tanggung jawab Negara atas penyelenggaraan pendidikan kemudian peran
tersebut di alihkan pada mekanisme pasar.
Ratifikasi
Liberalisasi jasa khususnya dlm bidang pendidikan merupakan agenda wajib yang
harus segera direalisasikan, yang kemudian diwujudkan melalui Masterplan
Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI), Setelah
kegagalan pemberlakuan UU BHP pada tahun 2010 lalu, pemerintahan SBY-Boediono
diwakili oleh menteri pendidikan M. Nuh segera melanjutkan proyek liberalisasi
pendidikan dengan menggodok Rancangan Undang-Undang Pendidikan Tinggi untuk
menggantikan UU BHP yang telah di batalkan. Sehingga RUU PT yang hari ini
disahkan sesungguhnya tidak memiliki dasar Hukum yang jelas, dia muncul hanya
karena political Will pemerintah yang ingin segera mungkin membuat payung hukum
yang memiliki kepastian bagi liberalisasi pendidikan.
Pasal-pasal
dalam RUU PT yang disinyalir melegalkan pelepasan tanggung Jawab Negara
terhadap Penyelenggaraan Pendidikan Tinggi
- (Pasal 8 Ayat 1) Pemerintah
menyusun perencanaan, penyelarasan, pengembangan, pembinaan pendidikan
tinggi secara nasional dan jangka panjang, dalam pasal ini mengatur peran
pemerintah sebatas perumusan kenijakan-kebijakan strategis semata. Namun
aturan yang memperjelas peranan pemerintah sebagai fasilitator dalam
menyelenggarakan pendidikan tinggi secara nasional terbatas pada PTN-PTN
semata, dalam kenyataannya lebih dari 3000-perguruan tinggi di Indonesia
adalah Perguruan Tinggi Swasta
- Pemerintah
mendirikan paling sedikit 1 (satu) Perguruan Tinggi di setiap provinsi dan
bersama pemerintah daerah mendirikan paling sedikit satu perguruan Tinggi
di tingkat kabupaten/kota. Jika tidak ada aturan yang mengikat pemerintah
terhadap tata kelola Perguruan Tinggi Swasta, maka fungsi fasilitator
pemerintah dalam mendirikan perguruan tinggi negeri di Indonesia juga
sangat terbatas, secara kwantitatif tanggung jawab Negara telah gugur
ketika di satu provinsi, dan kota/kabupaten telah berdiri satu perguruan
tinggi Negeri. Maka di mata hukum tanggung jawab pemerintah telah
terpenuhi, meskipun pada masa yang akan datang hanya ada satu perguruan
tinggi saja di wilayah tersebut.
Tidak berimbangnya
kwantitas jumlah Perguruan Tinggi Negeri dengan Perguruan Tinggi Swasta pada
titik tertentu mempermudah praktek liberalisasi pasar, akibat nya adalah
kenaikan harga biaya pendidikan terus-menerus terjadi setiap masa penerimaan
mahasiswa baru, ini dikarenakan penentuan besaran biaya pendidikan diserahkan
begitu saja pada kebijakan masing-masing kampus. Tanpa ada usaha nyata dari
pemerintah untuk memproteksi kenaikan harga pendidikan sehingga rakyat tidak
harus menanggung biaya pendidikan tinggi yang demikian besar.
- Pasal 67 ayat 1
menyebutkan PTS (Perguruan Tinggi Swasta) dapat berstatus: PTS berbadan
hukum; atau PTS sebagai unit pelaksana badan hukum nirlaba. Sebagai satuan
pendidikan yang berbadan Hukum dalam proses tata kelola nya tentu saja
sebuah PTS dapat memaksimalkan (bertindak seluas-luasnya) azas otonom yang
di berikan, karena peranan pemerintah dan Negara hanya sebatas regulator
maka selama kebijakan Badan Hukum Pendidikan tidak melanggar aturan yang
ada maka apa pun bentuk kebijakannya di mata hukum formal dapat
dibenarkan. Tidak peduli jika kemudian kebijakan tersebut melepas
prinsip-prinsip demokratis dan ke-ilmiahan.
Sementara beberapa persoalan perguruan tinggi swasta selama ini ada
pada proses tata kelolanya yang berpola hubungan vertical antara yayasan dan
rektorat. Dimana Yayasan memposisikan diri sebagai pemilik dan bertindak
layaknya dewan komisaris yang menentukan arah kebijakan strategik PTS sementara
rektorat hanya sebagai agen kepanjangan tangan yayasan. Dalam tata hubungan
semacam ini - yang di dalam UU.PT juga di legalkan selama yayasan tersebut
Berbadan Hukum - maka kecenderungan selama ini atas pengelolaan PTS berpotensi
menghancurkan proses pendidikan yang demokratis, membebaskan dan ilmiah; Rektorat
adalah agen bagi
agenda-agenda yayasan; Yayasan yang dalam banyak hal tidak menekuni proses
pendidikan sehari-hari justru sangat banyak campur tangan.
Namun di sisi lain
jika kemudian ada PTS-PTS yang menginginkan otonomi penuh dari pihak yayasan
dengan menyelenggarakan sendiri tata kelola perguruan tinggi melalui Badan Hukum
Pendidikan yang kemudian justru terjadi adalah konflik berkepanjangan antar
pihak yayasan yang merasa terdelegitimasi kepemilkannya dengan pihak rektorat
yang menginginkan otonomi penuh, sebagai mana terjadi pada kampus-kampus
terkemuka di Indonesia, sebagai mana konflik kepemilikan PTS yang terjadi di
Univ. Trisakti, Univ. Islam Sumtera Utara, Unitomo Surabaya, Univ Darul Ulum.
Dengan diberlakukannya UU.PT sesungguhnya berpotensi memunculkan
konflik-konflik kepemilikan yang berkepanjangan akibat di saat yang bersamaan
Negara yang hanya berperan sebagai regulator semata. Tanpa memiliki kekuatan
penyelesaian yang kuat dalam mengintervensi persoalan mendasar nya. Potensi
lainnya adalah dikorbankannya hak akademis mahasiswa.
Pendidikan
tinggi mengandung makna dasar membawa ke atas, mencerahkan, memerdekakan dan membentuk manusia menjadi
lebih manusiawi. Dalam hal ini pendidikan tinggi harus memampukan lulusannya
agar dapat membawa masyarakat ke arah pemikiran dan perilaku baru secara fundamental,
Transformatif dan Substansial, sebuah pemikiran baru yang bersifat demokratis,
ilmiah dan bervisi kerakyatan. Pendidikan tinggi harus secara hakiki
menempatkan dan memperlakukan segenap civitas academica (Mahasiswa, Dosen dan
karyawannya) sebagai manusia yang seutuhnya.
Perguruan
tinggi yang mengabaikan prinsip-prinsip dasar ini akan mengalami problematika
mendasar dalam tata kelola organisasinya secara fundamental. Perguruan tinggi
seperti ini mungkin akan mampu bertahan dalam jangka waktu yang relatif lama
dengan memenuhi berbagai persyaratan prosedural dan aktivitas operasional yang
ditetapkan. Namun demikian, perguruan tinggi seperti ini justru akan mengalami
masalah fundamental dengan tujuan kualitatif dan hak-hak normatif yang dimiliki
oleh civitas akademikanya. Perguruan tinggi seperti ini mungkin juga
menghasilkan sejumlah tertentu lulusan pada periode waktu tertentu pula. Namun
demikian, lulusan yang dihasilkan hanya sekedar menjadi satu dari sekian banyak
lulusan PT yang berkemampuan meneruskan praktik-praktik yang sudah ada di
masyarakat semata.
Dalam
kondisi seperti ini, apabila praktik-praktik yang ada di masyarakat saat ini
cenderung bersifat korup, tidak manusiawi, mekanistik, berdaya saing lemah,
reaktif, eksploitatif dan represif maka lulusan perguruan tinggi yang
dihasilkan pun justru akan memperkuat praktik buruk yang ada di masyarakat.
Pendidikan adalah proses budaya. Pendidikan harus memampukan peserta didik
untuk melakukan perubahan transformasi budaya ke arah yang lebih baik secara
efektif, substansial dan bersandar pada nilai-nilai kerakyatan. Untuk itu
pendidikan tinggi yang terkooptasi dan oleh karenanya hanya tunduk kepada
kepentingan pasar yang bersifat komersial dan mewakili kepentingan industrial
tertentu, tidak akan menghadirkan pembaharuan bagi stakeholders dan
masyarakatnya secara luas dan fundamental. Dalam kondisi ini perguruan tinggi
hanya akan meneruskan praktik-praktik yang telah berlaku umum di dalam industri
dan masyarakat.
Kendati
mungkin dalam banyak kasus perguruan tinggi tersebut memperoleh berbagai status
dan penghargaan yang bergengsi, namun hakikat peran dan fungsinya secara
fundamental sebagai perguruan tinggi justru terabaikan. Penghargaan, pengakuan
dan status akreditasi yang diberikan kepada suatu perguruan tinggi pada umumnya
ditentukan berdasarkan seberapa jauh PT yang bersangkutan mampu memenuhi
seperangkat ukuran kualitatif operasional yang eksternal dan prosedural mekanik
yang telah ditetapkan. Ukuran-ukuran yang nampak relevan apabila dipandang dari
aspek pemenuhan kepentingan industri yang bersifat sempit, mapan dan berjangka
pendek.
Oleh
karenanya kami serikat mahasiswa Indonesia, menyatakan sikap :
1. Bahwa
UU Pendidikan Tinggi Yang Baru
Disahkan Merupakan Malapetaka Bagi
Rakyat Indonesia, Sehingga UU PT Harus
Segera Dicabut.
2. Kemudian
Dalam Perlawanan Terhadap Kapitalisasi Pendidikan, Kami Dari Serikat Mahasiswa
Menyerukan Persatuan Elemen Gerakan
Rakyat.
Jakarta,
14 Juli 2012
Hormat
Kami
KPP-SMI
Komite
Pimpinan Pusat-Serikat Mahasiswa Indonesia
No comments:
Post a Comment