Thursday, January 27, 2011

BISNIS ORANG SAKIT


Membela Yang Lemah
“Rahasia kehebatan Gandhi bukan terletak pada tiadanya kelemahan
Atau kecacatan insane, tetapi pada kegelisahan jiwa, usaha gigih yang tiada henti, dan
Keterlibatan dalam masalah-masalah kemanusiaan sedunia” (N.K Bose)

 
Terdapat banyak cerita orang teraniaya dirumah sakit. Kebanyakan tak punya biaya dan sebagian besar mendapat perawatan apa adanya. Lorong rumah sakit menjadi petunjuk paling jujur siapa diri anda. Termasuk golongan orang mampu atau kelompok yang patut mendapat belas kasihan. Untuk mereka yang mampu dan berlebih maka rumah sakit memberi banyak kemudahan. Perawat yang akan menyediakan senyum selama 24 jam, dokter yang siap menulis resep untuk tiap keluhan dan ruangan kamar yang penuh fasilitas. Bahkan untuk rumah sakit kelas eksekutif makin banyak fasilitas yang terus ditambah: ruangan ber AC, tempat untuk menunggu, saluran televise ratusan chanel, kulkas yang menyimpan aneka makanan dan tempat untuk rapat jika pasien memerlukan pertemuan. Ringkasnya bagi yang mampu membayar maka rumah sakit bukan tempat untuk pengobatan.
Rumah sakit adalah tempat untuk istirahat bahkan muncul konsep rumah sakit juga tempat untuk bermain. Tidak angker, tidak berbau obat dan kalau perlu dokter berdandan seperti manager perusahaan: berdasi dengan parfum yang wangi. Ringkasnya untuk yang punya duit rumah sakit adalah tempat menyenangkan dan menggembirakan. Tapi untuk mereka yang miskin rumah sakit menyimpan kewibawaan. Biasanya rumah sakit punya prosedur tetap: identitas untuk menjamin. Tak bisa rumah sakit dengan longgar membiarkan orang miskin sakit, lalu dirawat, lalu diobati dan kemudian dibiarkan pulang. Orang miskin yang sakit pantas untuk dicurigai. Bukan curiga apa penyakitnya melainkan bagaimana mereka akan membayar pengobatannya. Ongkos untuk mengobati pasien miskin musti dianalisis dengan detail, rinci dan dipastikan mereka mampu membayar. Maka tak ada orang miskin merasa  damai dirumah sakit. Jika tak percaya saksikan bagaimana paras orang-orang di kelas ekonomi: cemas, sumpek dan khawatir. Antara kesembuhan dan biaya semuanya saling tumpang tindih.
Dalam realitas anggaran kesehatan di Indonesia hanya fakta-fakta buram saja. Menilik pada konteks nasional, pada umumnya Negara-negara berkembang memiliki pengeluaran kesehatan yang sangat rendah, jauh lebih kecil dibandingkan dengan rekomendasi WHO agar Negara-negara tersebut mengalokasikan minimal 5% dari produk domestic bruto (PDB) untuk pendanaan kesehatan. Sistem kesehatan nasional (SKN) juga menjelaskan bahwa alokasi dana yang berasal dari pemerintah untuk Upaya Kesehatan Masyarakat (UKM) dan upaya kesehatan perorangan (UKP) dilakukan melalui penyusunan anggaran belanja, baik pusat maupun daerah, sekurang-kurangnya 5% dari produk domestic bruto (PDB) atau 15% dari total anggaran pendapat dan belanja (APBN / APBD) setiap tahunnya. Anggaran untuk pembangunan kesehatan di Indonesia masih sangat kecil, yaitu hanya berkisar (2%) dari anggaran tahunan Pembangunan Nasional. Menurut WHO , untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat diperlukan anggaran kesehatan minimal 5-6% dari total APBD suatu Negara. Sementara untuk mencapai kesehatan yang ideal diperlukan anggaran 15-20% dari APBN.
Berdasarkan pasal 4 Undang-undang nomor 25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional disusun sebagai penjabaran dari tujuan dibentuknya pemerintah Negara Indonesia yang tercantum dalam pembukuan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dalam bentuk visi, misi dan arah pembangunan nasional. Dengan demikian, dokumen ini lebih bersifat visioner dan hanya memuat hal-jal yang mendasar, sehingga member kelulusan yang cukup bagi penyusunan rencana jangka menengah dan tahunannya. Untuk anggaran pembangunan untuk sector kesehatan dari tahun ke tahun tidak pernah meningkat. Dalam satu decade terakhir ini saja anggaran kesehatan hanya berkisar antara 1,5% sampai dengan 2,4% saja dari total APBN. Berdasarkan pemaparan data dan informasi diatas maka dapat dismpulkan bahwa tidak adanya landasan hukum yang kuat atau undang-undang yang secara jelas menyebutkan masalah yang paling fundamental yang menyebabkan rendahnya anggaran kesehatan di Indonesia. Untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat diperlukan minimal 5% sampai 6% dari total APBN suatu Negara. Rasanya, peningkatan anggaran dari 2,3% menjadi 5% adalah suatu hal yang rasional bukan?
Mungkin kesehatan adalah harapan palsu. Banyak pasien yang disia-siakan, ini bukan dongeng dari negeri 1001 malam. Juga bukan kisah kebetulan yang direka-reka. benar-benar kisah pedih penanganan rumah sakit. Dari kumpulan kasus rumah sakit, kisah ini dijejer, bukan untuk kebutuhan dramatisi; tapi menunjukkan sebuah fakta pedih: kalau rumah sakit kadangkala bukan tempat yang patut untuk berobat. Mau tahu kisahnya? Dari kasus bayi dahulu. Umurnya baru empar bulan namanya molek: Muhammad Reinaldi. Entah kenapa bayi itu terserang demam berdarah. Sang ibu yang begitu mencintainya membopong bayi kemana-mana. Tiga rumah sakit dengan sakit menolak karena alasan-yang mirip hotel berbintang-kamar penuh. Rumah sakit pondok gede Jakarta timur memutuskan untuk menerima sang bayi. Keputusan yang baik tapi berbuntut masalah. Sudah sebulan bayi dirawat tapi tak kunjung sembuh. Biaya perawatan melompat tinggi: Rp 10 Juta. Siapa sangka kalau keluarga itu tergolong miskin. Anjuran rumah sakit bawa pulang saja bayi itu. Mungkin disuruh berdoa atau mungkin dianggap tak kuat bayar. Esok ketika bayi masih sakit itu pulang berakhirlah nyawanya. Ia mati meninggalkan penyesalan yang dalam. Saat media menanyakan ke Menkes waktu itu Siti fadillah Supari, spontan tak percaya dengan kejadian ini. Ketika dikasih tau rumah sakitnya, san menteri langsung mengatakan itu tanggung jawab pemerintah DKI. Sialnya kata menteri, Pemda DKI tak ikut programnya, maksudnya program Jamkesnas dan malah punya program sendiri. Lagi-lagi kita bingung siapa yang patut bertanggung jawab?
Peserta Jamkesnan memang tak selalu dilayani dengan baik. Cobalah Wilman Ritonga (32 tahun) warga Tapanuli. Berada di RSU Pirgadi Medan saat dirawat karena penyakit kanker. Tak ada obat karena RS obat sudah habis. Pernah diberi obat dalam kemasan yang nyata-nyata sudah kadaluarsa. Malahan pernah membeli obat Cina sebanyak 2 botol dari seorang salesman yang biasa masuk ke Rumah Sakit pemerintah ini. Bayangkan dengan layanan seperti itulah keluarga melaporkan ke DPRD. Dengan memakai Jamkesnas tambah diberi layanan diskriminatif. Lagi-lagi pertanyaanya kok bisa terjadi situasi ini? Layanan kesehatan memang ajaib dinegeri ini. Terutama untuk orang miskin. Mereka dapat perlakuan sewenang-wenang dan bisa berujung kematian. Tak hanya itu tapi juga tiadanya pihak yang bisa disandarkan tanggung jawabnya. Rumah sakit mengelak, pemerintah tak mau tahu, DPR hanya mendengarkan dan Dokter atau perawat tak mau disalahkan. Jadi lagi-lagi orang miskin yang salah: sudah tak punya duit, sakit-sakitan lagi. Memang kesehatan tergolong barang mewah dinegeri ini. Obat, dokter dan rumah sakit seperti gurita yang mencengkeram daya hidup orang miskin. Walau dicela berulang-ulang tapi rumah sakit masih jalankan praktek bisnis yang mengerikan. Uang dan bayaran seperti alat pengukur kesehatan seseorang. Meski Puskesmas dan Dinas kesehatan memamerkan kepedulian: sulit dipungkiri orang miskin kesusahan berobat.


Mau Sembuh, Bayar Dulu….!!!! 

No comments:

Post a Comment

Lihat SMI Semarang Office di peta yang lebih besar