Wednesday, March 23, 2011

TAN DAN KEMERDEKAAN

Kelas tani itu penting, kelas saudagar dalam dunia sekarang sangat berguna, kelas intelektual berguna dan penting, tetapi tanpa kelas pekerja mesin, indonesia merdeka pasti tak akan bisa berdiri dan kalau berdiri tak akan bisa teguh dan lama.
Tan Malaka - Madilog

Dalam berbagai riwayat mengenai tan malaka dan berbagai buku yang ia tulis, kita akan mendapatkan gambaran bahwa tan adalah seorang aktivis sekaligus pemikir revolusioner yang setia membela indonesia untuk merdeka seutuhnya. Walaupun akhirnya ia bersebrangan dengan Hatta dan Soekarno dan bahkan sangat saling berbeda pandangan dengan Sjahrir, Tan tetap kukuh dengan pendiriannya yang tak mau kenal kompromi dengan kolonialis belanda dan ingin indonesia merdeka 100% walau dengan darah (perang terbuka/gerilya dengan belanda), disamping bung tomo dan jendral besar soedirman yang juga setuju indonesia harus merdeka 100%. Pendirianya ini mengakibatkan tan yang selama 20 tahun hidup berada dalam pengasingan di 11 negara, 13 kali di penjara, dikejar-kejar oleh polisi rahasia/intelejen jepang, inggris, belanda, amerika dan bahkan rusia dengan 23 nama samaran itu, menemui ajalnya ditangan pemerintahan indonesia sendiri di masa pemerintahan perdana menteri Amir sjarrifudin, di tepi sungai brantas wilayah kediri 21 februari 1949 karena dituduh melawan soekarno-hata (tempat kematian tan ini sampai sekarang masih menimbulkan kontroversi dan masih terus diperdebatkan).
Ibrahim datuk tan malaka atau biasa dikenal oleh kita sekarang ini dengan nama tan malaka adalah seorang bapak pendiri bangsa yang pertama kali menggagas indonesia kedepannya harus berbentuk republik dalam bukunya Naar de republiek indonesia (1924), yang namanya dihapus oleh pemerintahan indonesia di masa orde baru. Dan hingga sampai sekarang ini hanya sedikit saja orang indonesia yang kenal nama beliau, apalagi jasanya untuk indonesia kita ini? Selama 32 tahun nama tan malaka disingkirkan dan dihapus dalam sejarah indonesia oleh soeharto, padahal soekarno pada 1963 menganugrahi tan sebagai pahlawan nasional dengan `keputusan presiden nomer 53 tahun 1963. Setelah reformasi dan ketika gus dur memperbolehkan masyarakat membaca dan mempelajari lagi marxisme-leninisme, nama tan kembali muncul kepermukaan. 
Memerdekakan akal
Selama hidupnya tan malaka telah menghasilkan sekurang-kurangnya 26 buah pikiran. Madilog adalah magnum opusnya yang lahir dari berbagai hal yang bersarang di benak tan ketika berada di berbagai negara, seperti; Moskow, Tiongkok/China, Filipina, Singapura, Belanda. Tan menulis madilog dari 15 juli 1942 dan selesai pada 30 maret 1943 di rawajati, kalibata, jakarta. Naskah madilog sempat berkeliling jawa, dari Bayah (Banten Selatan), Jawa Tengah dan Jawa Timur. Dalam pendahuluan madilog tan menulis “ kitab ini adalah wujud dari paham yang sudah bertahun-tahun tersimpan didalam pikiran saya, dalam hidup yang bergelora”. Sementara sejarawan belanda harry a poeze mengatakan seperti yang dikutip dalam buku tan malaka : bapak republik yang dilupakan yaitu 4 seri buku tempo : bapak bangsa, seperti yang dijelaskan  tempo/buku seri tempo ini bahwa “madilog merupakan bentuk pikiran yang mengendap bertahun-tahun dalam diri tan malaka. Tan merangkum pemikirannya dari hasil bacaan selama pengembaraan di belanda, cina, hingga singapura”.
Madilog ditulis tan bukanlah sebagai cara untuk memandang dunia ini, tapi lebih sebagai cara berpikir. Dimana tan masih menganggap bahwa mayoritas masyarakat indonesia masih dalam taraf berpikir dengan logika mistika, atau berpikir mistik dan kadang syarat dengan bau klenik yang jauh dari aspek rasional bahkan logis. Maka dari itu, madilog lahir dari pikiran dan tangan tan malaka dengan menyesuaikan konteks ke indonesiaan. Tan menulis dalam pendahuluan madilog, “ madilog, ialah perpaduan dari permulaan suku kata : (ma)-tter, (di) –alectica, dan (log)-ica. Matter saya terjemahkan dengan “benda”, dialektika dengan “pertentangan atau pergerakan”, dan logika dengan “hukum berpikir”. Dan kemudian ia menambahkan “madilog saya maksudkan terutama sebagai cara berpikir. Bukanlah suatu weltanschauung atau pandangan dunia; walaupun hubungan antara cara berpikir  dan pandangan dunia filsafat seperti tangga dengan rumah. Rapat sekali. Dari cara orang berpikir, kita dapat duga filsafatnya dan dari filsafatnya kita dapat tahu dengan cara dan metode apa dia sampai ke filsafat itu”. Dan bisa kita ambil kesimpulan dari penjelasan ini, bahwa madilog di ciptakan agar masyarakat indonesia dalam berpikir lebih mengutamakan logika atau akal daripada hal-hal yang bersifat gaib atau bahkan klenik serta terus-menerus bedoa pasrah tanpa pernah mau bertindak.
Bisa dibayangkan bila masyarakat indonesia masih jatuh dalam lingkaran berpikir logika mistika? Masyarakat ini akan lebih suka diam di rumah dan tabah atau lebih tepatnya pasrah dengan penindasan yang dilakukan oleh pemerintah belanda tempo dulu dan sekarang oleh sesama bangsa sendiri (soeharto-sby) dan menunggu mesiah, imam mahdi atau si ratu adil turun. Bahkan bila kita sekarang sering melihat fanatisme ras, suku, dan agama yang syarat dengan unsur membabi buta itu sangat mudah dipancing keluar dan menimbulkan anarki yang tak kepalang tanggung karena kegagalan dalam berpikir logis. Hal ini akan membuat sesama rakyat indonesia saling adu jotos dan dengan mudah di adu domba, bertindak secara gegabah atau reaksioner. Apakah kita rela kalau hidup kita jauh dari kenyataan seperti sekarang dan terlebih masa orba dulu? Bila kita mau berpikir logis seperti yang dianjurkan tan, maka perhitungkanlah dulu dalam bertindak apalagi dalam hal guna mencapai kemerdekaan indonesia. Yaitu dengan melihat keadaan objektif dilapangan atau masyarakat bahkan negara dalam membangun sebuah analisa, abstraksi dan resolusi serta tindakan, dan inilah yang disebut materialisme. Dimana kita didorong untuk mengambil sebuah tindakan yang bermula dari resepsi kita atas dunia objektif/alam sekitar kita dari mula ekonomi, budaya sampai politik dan geofisika. Dengan ini kita berpikir (logika) dengan berlandaskan kebendaan (matter) bukan roh atau lewat takhayul. Sesuatu yang benar-benar bisa di cerap oleh indera dan kita bisa melakukan penyelidikan ataupun penelitian karenanya. Dan kenapa harus madilog? Materialisme-dialektika-logika dan bukan yang sering dipakai barat yaitu materialisme kritis ataupun materialisme logis yang sering digunakan kalangan borjuis di eropa? Karena bagi tan, dua hal tadi tidak memakai dialektika dalam acuan analisisnya. Atau kenapa tan tidak mengambil materialisme dialektika atau materialisme historis yang sering kali dipakai oleh kaum marxis eropa? Karena orang-orang eropa telah jauh lebih dulu berlimpahan logika daripada indoenesia yang masih terjerumus dalam logika mistika hindu, jawanisme. Maka disinilah madilog menerapkan konteksnya sebagai landasan berpikir, yaitu konteks keindonesiaan.
Dialektika berguna agar kita tidak stagnan dalam memandang aspek-aspek dari realitas. Dialektika di tunjukan dalam ranah matter, atau keadaan objektif masyarakat indonesia. Bukan seperti yang dipakai kaum idealis terutama filsuf besar jerman, hegel. Hegel menerapkan dialektika dalam ranah ide atau kesadaran atau kaum materialis mekanik yang memandang bahwa materi itu bersifat tetap dan tak berubah, atau suatu keadaan yang seperti mesin belaka. Sedang disini, madilog menerapkan dialektika untuk menyerap segala hal yang terjadi dalam masyarakat. Jadi bukan ide lah yang berkuasa dan menafsirkan dunia ini, tapi dari keadaan objektif atau lingkungan atau sosial masyarakatlah (matter) yang mempengaruhi ide itu terbentuk. Dialektika berguna untuk melakukan kritik atas sistem penindasan yang selama ini terjadi, yaitu pertentangan antara yang ditindas dan yang menindas, antara proletariat (buruh) dan kapitalis (pemegang saham/modal/alat produksi). jadi dialektika adalah sebuah cara berpikir yang dinamis dalam menyingkap pertentangan-pertentangan atau pergerakan yang ada dalam masyarakat kita sekarang ini. Sesuatu yang logis bagi dialektika, belum tentulah itu benar. Karena hal itu bisa saja dipakai sebagai alat untuk mengesahkan penindasan yang ada. Dengan dialektilah sesuatu yang seakan logis itu ditarik keluar dan dibongkar agar telihat lebih gamblang. Dengan dialektika kita di harapkan untuk terus menerus berpikir demi mendapatkan kepastian kebenaran yang ada dalam lingkungan kita berdiri lewat hukum dialektika : tesis-sintesi-antitesis. Dan yang perlu di ingat adalah penggunaan antara logika dan dialektika harus dipandang melalui matter (materialisme). Karena kadang penggunaan keduanya sangat membingungkan bagi orang awam, bahkan yang ahli pun.
Dengan madilog, diharapkan masyarakat indonesia bisa berpikir dan berpandangan lebih maju dalam memandang setiap aspek kehidupannya. Bagi para pejuang kemerdekaan, atau aktivis, madilog sangatlah penting sekali mengingat dalam ranah pergerakan seringkali terjebak dalam tindakan reaksioner, gegabah tanpa berpikir matang terlebih dulu. Di tambah menggunakan emosional (marah atau perasaan) yang berlebihan dan menyingkirkan logika sehingga semakin ngawurlah cara bertindak dan memandang segala urusan yang ada.

Kaum terdidik yang tak mendidik
Selama kaum terpelajar kita melihat bahwa perjuang­an kemerdekaan sebagai masalah akademi saja, selama itulah perbuatan-perbuatan yang diharapkan itu kosong belaka. Biarlah mereka melangkah keluar dari kamar be­lajar menyeburkan diri ke dalam politik revolusioner yang aktif.
Aksi masa 1926 – tan malaka

Perlu di ingat, bahwa kemerdekaan tak akan sanggup diwujudkan bila kita tak mempunyai orang-orang yang terdidik di negeri ini. Tan malaka sangat mementingkan segi ini, bahwa pendidikan itu haruslah diberikan lebih dini untuk membebaskan pola pikir manusia selama ini, rakyat indonesia. Bahkan hatta dan sjahrir sempat mendirikan partai pendidikan indonesia (PNI), karena pendidikan adalah faktor fundamental guna menuju indonesia merdeka.
Tan malaka adalah pendiri sekolah rakyat (SR :ra’jat school))bersama samuen, yang keberadaannya sempat mengkawatirkan pihak belanda. Bermula dari persinggungan tan di deli, sumatra utara ketika menjadi guru sekolah rendah di belanda. Tan lalu hijrah ke semarang pada tahun 1921. Dan disinilah ia ketemu dengan semaun, seorang tokoh revolusioner serikat islam (SI) yang akhirnya mengajak tan untuk masuk dalam gerakannya serta mendirikan sekolah rakyat untuk anak-anak petani dan buruh atau kuli. sekolah ini dinamakan “sekolah SI semarang” atau yang lebih dikenal dengan “sekolah tan malaka” dan mulai dibuka pada tanggal 21 juni 1921. kelasnya adalah ruang rapat Serikat Islam semarang. Sedangkan dari pengalamannya di deli dan saat di Belanda dan Rusia, tan mendapatkan inspirasi mengenai silabus apa saja yang akan diajarkannya dengan berdasarkan konteks indonesia. sekolah rakyat ini berkembang cepat diluar dugaan pihak residen bahkan pemerintahan Belanda pun kaget dan was-was. hal ini bisa sedikit di deskribsikan lewat laporan utama yang ditulis oleh arif gunawan sulistiyono dalam majalah budaya HAYAMWURUK, NO .2 Th.2004 “berbekal simpati dan dukungan dana rakyat, sekolah serikat islam berkembang dan dibuka di tempat-tempat lain; di kaliwungu (september 1921), salatiga (november 1921), dan bandung (januari 1922). Sekolah SI Semarang saja memiliki murid sebanyak 180 orang.” dan “pemerintah kolonial belanda mulai cemas. Mereka mulai mencari dalih untuk membubarkan usaha penggalian dana. setelah melarang pasar derma yang sedianya diadakan bulan juli 1921, mereka melarang pawai para murid dengan alasan lagu internasionale bersifat subversif dalam bagian “negara menindas, hukum membohong.” ini menurut kitab UU hukum pidana pasal 154, dapa dihukum.”
Disamping itu, tan juga mempersiapkan sekolah untuk guru yang berhaluan kerakyatan. Dimana yang dipersiapkan untuk menjadi guru adalah anak kelas 5 dan guru yang sudah ada untuk dijadikan guru yang berlandaskan atas faham kerakyatan. Bagi tan “kemerdekaan rakyat hanya bisa diperoleh dengan .pendidikan kerakyatan”.  Maka dari itu, tan selain mencerdaskan rakyat indonesia dengan sekolah yang didirikannya, juga mempersiapkan para generasi penerus bangsa dalam menyongsong kemerdekaan indonesia. Dalam bukunya yang terbit tahun 1926, yaitu aksi masa (actie mass), tan malaka sempat mengkritik keras para intelektual cendikiawan indonesia dengan orang-orang malas yang hanya bisanya berteori dan memangku tangan dan memandang dikejahuan. Dalam pengantar buku itu ia menulis “atas ketiadaan kaum modal bumiputra, intelegensia kita tak kuat berdiri. Ia melayang-layang di antara rakyat dengan pemerintah. Ia tidak mempunyai perasaan ingin mengorbankan diri seperti yang ditunjukkan nasionalis di negeri-negeri lain. Ia tidak mempunyai alat-alat pera­saan, pemikiran yang mendekatkan dirinya kepada mas­sa (rakyat murba). Disebabkan imperialis, kaum intelek­tual kita jauh dari massa. Mereka tidak mempunyai satu kesaktian yang dapat mempengaruhi dan menarik hati rakyat. Kaum intelektual kita tidak beroleh kepercayaan dan simpati massa untuk menggerakkan mereka, membuat aksi-aksi serta memimpin mereka. Tambahan lagi, sebab jumlah kaum terpelajar yang tidak seberapa, mereka masih tinggal di dalam kelas mereka dan belum menjadi buruh terpelajar”. Jelaslah karena selain keterbatasan kuantitas para intelektual yang masih sedikit jumlahnya, juga faktor elitis lah yang menjauhkan orang-orang terpelajar itu jauh dari rakyat. Elitisme seperti yang sering kali dituduhkan pada sjahrir waktu itu. Karena sjahrir hanya merekrut orang-orang yang .mempunyai intelektual diatas rata-rata saja dan mengabaikan massa luas yang terdiri dari petani dan buruh kuli.
Sementara kita lihat kecenderungan para cerdik cendikia kita sekarang ini. Hanya lebih suka memandang dirinya sendiri dan pamer akan gelar yang ada. Dan lebih hebatnya lagi, ijazah bisa diperoleh lewat kongkalikong, suap. Apalagi dengan nilai? Nilai bisa juga dibeli asalkan memiliki uang. Atau paling tidak tunduk terhadap kekuasaan yang ada setelah itu dapat nilai bagus lalu keluar jadi SD lagi. Karena masyarakat sekarang hampir tak memikirkan proses, tapi hasil yang lebih utama. Entah mau nyontek atau merayu dosen dan tunduk patuh dihadapannya agar mendapatkan hasil tanpa jerih payah itu. Semua itu akan dilakukan oleh kebanyakan calon intelektual kita sekarang ini. Jadi sikap calon intelektual kita sekarang ini lebih parah dari kerbau sekalipun, bahkan kedelai! Eh, keledai!
Kekosongan akan nilai humanisme ini sangat terasa sekali sekarang ini. Dimana pendidikan hanya untuk mencetak buruh murah. Dari mulai dokter, perawat, bidan sampai guru. Mereka semua itu buruh! Buruh di negeri sendiri!
Tan mendirikan sekolah rakyat, atau sekarang ini lebih populer dengan sekolah alternatif, guna menghilangkan belenggu kebodohan yang masih sangat erat dikalangan bumiputra pada waktu itu. Dengan adanya sekolah rakyat, tan berharap akan tercipta para penerus bangsa yang akan sanggup melihat segala bentuk penindasan yang ada dan setelah itu bagaimana untuk menghentikan penindasan itu. Sekolah tan didirikan atas dasar kerakyatan. Dengan begitu para muridnya akan sangat mengenal dan mencintai negerinya sendiri, indonesia. Sementara sekolah dan pendidikan sekarang didirikan atas dasar kemodalan, atas dasar uang. Dimana kelak setelah kita lulus dari perguruang tinggi akan mendapatkan uang yang lebih banyak dibanding di sekolah dulu. Jadi, sekolah sekarang ini mewajibkan para anak didiknya, muridnya untuk memakai mind set uang! Bahwa kita hidup untuk uang! Dan akhirnya otak dan perasaan hampir tak dipakai lagi sebagai etika pendidikan. Etika uang harus dijunjung sebagai garda depan, kemanusiaan adalah yang terakhir. Siapa yang punya uang dialah yang akan mendapatkan jasa pendidikan! Itulah etika uang yang dipuja oleh sistem pendidikan sekarang ini dan telah menyebar sampai keplosok-plosok desa. Sedang indonesia adalah hanya tempat bermukim. Tak kurang tak lebih.
Dengan begini jelaslah bahwa kemerdekaan sangat jauh dari harapan. Tak ada mesir dan tunisia dalam konteks kekinian di indonesia. Yang ada hanyalah masyarakat yang diam tanpa gejolak sedikitpun. Para mahasiswa dan intelektual negeri ini, sudah terlanjur untuk dicetak menjadi babi dan sapi. Masuk kepenggilingan milik eropa dan siap disantap dan diperas sampai mati. Atau bisa kita bandingkan dengan sistem pendidikan belanda waktu itu yang menghasilkan para amtenar, atau PNS rendahan yang bekerja tanpa pernah perduli fungsi otak. Yang bisa dikendalikan ke kiri dan kanan. Asalkan dapat uang dan makan cukup. Kalau begini, ayam juga hampir sama dengan manusia. Makan yang cukup dan tak bisa melawan, setelah kenyang diam. Jadi sebagai orang indonesia kita harus memilih 1 di antara 3 diatas; babi, sapi atau ayam? Atau malah ketiga-tiganya? Bila pendidikan kita sekarang ini menghasilkan babi, sapi dan ayam. Terus besok generasi yang akan datang akan jadi apa? Mungkin monkey atau donkey? Karena guru dan dosennya saja sudah babi, sapi dan ayam. Bila begini tan akan sangat bersedih dan kembali mengulang kata-kata yang ditulisnya dalam aksi masa “politik pemerintah ini dalam soal pengajaran boleh disimpulkan dengan perkataan: "bangsa indonesia, harus tetap bodoh supaya ketenteraman dan keamanan umum terpelihara."   Dan dia menambahkan “bangsa indonesia yang sejati dari dulu hingga sekarang masih tetap menjadi budak belian yang penurut, bulan-bulanan dari perampok-perampok asing. Kebangsaan indonesia yang sejati tidak ada kecuali ada niat membebaskan bangsa indonesia yang belum pernah merdeka itu. Bangsa indonesia yang sejati belum mempunyai riwayat sendiri selain perbudakan. Riwayat bangsa indonesia baru dimulai jika mereka terlepas dari tindasan kaum imperialis.”
Jadi selama ini kita hidup tak benar-benar merdeka. Karena dari mulai politik, ekonomi, pendidikan bahkan agama kita ini telah dikontrol dan diatur oleh kaum imperialis kapitalis. Tan sekali lagi mengingatkan pada kita “cita-cita politik borjuasi adalah demokrasi dan parlementarisme. Ia menuntut penghapusan sekalian hak-hak feodal dan juga menuntut penetapan sistem penghasilan dan pembagian (distribusi yang kapitalistis)”. Sekarang ini kita mengacu pada demokrasi liberal pluralis, maka sudah jelas arah yang mana yang dianjurkan dan diwajibkan untuk kita ikuti sekarang ini. Sesuatu yang sangat dangkal dan sangat berbau barat.
Dan kritik atas penddikan sekarang ini adalah bahwa sistem  pendidikan sekarang tidaklah dijadikan untuk menjadi pembebas, melainkan untuk menindas atau diam tunduk. Bila para intelektual kita sejak dari awal masuk sekolah diajarkan itu semua, jadi generasi yang akan datang akan diajarkan hal yang sama oleh generasi sekarang. Sementara kita sering melihat kaum yang terdidik, para intelektulalis itu tidaklah mendidik sama sekali. Lihat polah eksekutif, legislatif dan yudikatif kita hari ini. Paling banter kampus kita sendiri. Atau fakultas kita bahkan dari rektor sampai dosen kita hari ini. Selama ini, kita didik atas dasar nurani uang. Belajar untuk uang dan mati untuk uang! Itulah potret  manusia indonesia sekarang ini. Selalu diam. Bila berani berontak langsung ditikam. Jadi, harus ada yang berani untuk bersuara kembali dan siapa yang berani dialah yang pantas disebut pahlawan.

2 comments:

Lihat SMI Semarang Office di peta yang lebih besar