Kapitalisme Sebagai Akar Ketertindasan Perempuan
Sistem kapitalisme telah melahirkan berbagai macam persoalan dalam masyarakat. Dengan kepemilikan pribadi atas alat produksi telah berdampak adanya kerja upahan. Jerat kapitalisme telah menerobos segala sendi-sendi kehidupan manusia. Penghisapan kapitalisme tidak dibatasi negara, ras, agama, jenis kelamin maupun usia, artinya dimana ada ruang untuk mengakumulasi modal ia akan memasukinya. Dan praktek kapitalisme yang dilandasi semangat akumulasi ini telah memecah masyarakat menjadi dua kelas yang saling berlawanan, yaitu kelas pemilik dan kelas tidak bermilik. Kelas borjuasi yang memiliki alat produksi akan memaksa kelas buruh yang tak bemilik supaya menjual tenaganya dengan imbalan upah murah.
Dalam corak produksi kapitalisme telah melahirkan kebudayaan-kebudayan yang meyudutkan peran perempuan. Dalam proses produksi, perempuan dianggap rentan dan lemah sehingga dapat mempengaruhi hasil produksi dan menghambat laju akumulasi. Sehingga hak-hak perempuan sebagai buruh dibatasi dengan upah murah. Tidak hanya itu, kapitalisme pun mengeksploitasi sexualitas tubuh perempuan sebagai komoditas. Dengan mengarahkan stigma atas posisi atau peran perempuan yang lebih rendah daripada laki-laki, kapitalisme menciptakan spesialisasi kerja. Kondisi tersebut merupakan strategi kapitalisme dalam mengaburkan perjuangan kelasnya. Karena sejatinya bahwa perempuan dan perjuangan sektor lainnya adalah satu perjuangan yang tidak terpisahkan, ia adalah satu kesatuan organik yang mengalami satu ketertindasan yang sama yakni, ketertindasan oleh kapitalisme.
International Women Day sebagai hari bersejarah bagi perempuan sedunia, dimana kaum buruh perempuan memiliki peran dalam perlawanan terhadap kelas borjuasi. Pada tanggal 8 Maret 1857, para buruh perempuan di pabrik pakaian dan tekstil di New York, Amerika Serikat, mengadakan sebuah aksi protes. Mereka menentang kondisi tempat kerja yang tidak manusiawi dan upah yang rendah. Kemudian dilanjutkan pada Tanggal 8 Maret 1908, sebanyak 15 ribu perempuan turun ke jalan sepanjang kota New York menuntut diberlakukannya jam kerja yang lebih pendek, menuntut hak memilih dalam pemilu dan menghentikan adanya pekerja di bawah umur. Protes buruh perempuan tentang hak-hak normatif adalah sama dengan protes buruh-buruh lainnya, yaitu protes terhadap sistem kapitalisme yang serakah dan menindas.
Sejarah hari perempuan internasional sejatinya tidak dapat terlepas dari peran gerakan buruh dalam memperoleh hak-haknya yang selama ini direnggut oleh sistem kapitalisme. Dalam sistem kapitalisme tersebut membuat tidak adanya emansipasi, perbedaan hak antara laki-laki dan perempuan, dan membentuk budaya yang lebih rendah. Sehingga dapat dipahami bahwa persoalan-persoalan yang menghambat kemajuan tenaga produktif perempuan, tidak lain karena akibat dari sistem kapitalisme.
Rezim Dan Elit-elit Borjuasi Sebagai Boneka Yang Melanggengkan Penindasan
Indonesia di bawah rezim dan elit-elit politik borjuasi sebagai boneka yang melanggengkan penindasan semakin menghambat arah perjuangan kelas dengan meruncingkan perbedaan antara fungsi kerja dan hubungan sosial laki-laki dan perempuan dalam masyarakat. Disektor perburuhan, banyak praktek-praktek yang mendiskriminasikan peran perempuan di dalam proses produksi. Dengan adanya politik upah murah, tidak adanya cuti (haid, hamil), minimnya jaminan-jaminan (kesehatan, kecelakaan kerja, hari tua, kematian, dll.), serta praktek Labour Market Flexibility yang melahirkan buruh kontrak dan outsourching telah menghambat kemajuan tenaga produktif.
Kasus buruh migrant (TKW) yang mengalami tindak kekerasan dan penganiayaan bahkan pelecehan seksual (pemerkosaan) oleh majikan merupakan kegagalan dari negara. Buruh migrant pun minim dalam mendapatkan jaminan sosial dan terkadang upah kerja tidak dibayarkan oleh majikannya. Kebobrokan sistem birokrasi dalam pola rekrutasi dan penyaluran, semakin membuat tidak berdayanya buruh migrant. Rezim borjuasi melepas tanggungjawabnya dalam memberikan perlindungan, padahal buruh migrant merupakan salah satu penyumbang devisa terbesar untuk negara. Ia (Buruh migrant) adalah pahlawan devisa yang sudah dihianati oleh rezim dan elit-elit politik borjuasi.
Disektor pendidikan, rezim borjuasi SBY-Boediono masih mempertahankan dan menjalankan UU No 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas, Peraturan Pemerintah seperti PP No 17 tahun 2010 tentang pengelolahan dan penyelenggaraan pendidikan, keputusan Menteri dan regulasi-regulasi lainnya, semua regulasi tersebut merupakan persyaratan lahirnya liberalisasi sektor pendidikan dalam arti memberikan legitimasi secara hukum seperti praktik BLU (Badan Layanan Umum). Praktek-praktek yang menjadikan pendidikan sebagai lahan ekploitasi dan akumulasi merupakan bentuk dari kapitalisasi pendidikan.
Dari segi akses pendidikan, hanya sedikit masyarakat Indonesia yang tidak mampu menikmati pendidikan disebabkan persoalan mahalnya biaya pendidikan, sedangkan yang mampu menikmati pendidikan juga tidak sedikit yang putus sekolah karena persoalan tidak mampu membayar SPP, uang praktik dan lain-lain. Kecenderungan secara umum ditingkatan Perguruan Tinggi, setiap tahunnya mengalami kenaikan. Sedangkan jaminan akan mutu/kualitas diabaikan.
Dari segi fasilitas, pendidikan nasional secara umum menunjukkan ketimpangan antara sekolah di desa dengan di kota, sekolah berstandar international dengan standar nasional, PerguruanTinggi swasta dengan Perguruan Tinggi negeri. Perguruan Tinggi di desa maupun di kota tidak juga menunjukkan kelayakan yang mendukung proses pembelajaran dan peningkatan mutu seperti laboratarium, ruang belajar, perpustakaan dll. Orientasi pendidikan hanya di sandarkan pada kepentingan pemodal dan rezim borjuasi.
Di dalam masyarakat juga terdapat suatu peyempitan orientasi dari budaya yang dibentuk sistem hari ini, khususnya pada perempuan. Budaya yang terbentuk hari ini seakan-akan menyepitkan ruang gerak perempuan dalam berfikir, menentukan dan menempuh pendidikan. Hal tersebut ditandai dengan jurusan tertentu dalam sekolah atau perguruan tinggi yang identik oleh spesialisasi tertentu untuk perempuan. Namun semua hal itu baik perempuan atau laki-laki tetap diarahkan pada satu kepentingan pasar sebagai tenaga kerja produktif yang murah.
Disektor tani, berbagai kebijakan rezim borjuasi telah yang tidak berpihak kepada para petani, diantaranya adalah kebijakan penghapusan subsidi pupuk. Dengan tidak adanya subsidi pupuk, akibatnya petani tidak memberi pupuk pada tanaman mereka yang berakibat pada penurunan hasil produksi. Persoalan kepemilikan lahan pertanian yang masih kuasai oleh segelintir orang, kemudian memunculkan persoalan baru tentang buruh tani dengan kerja upah. Ironisnya penguasaan tanah oleh investor diperbolehkan hingga jangka waktu 95 tahun (jangka waktu yang belum pernah dilakukan pada jaman kolonial belanda) sedangkan negara tidak memberikan hak kepemilikan tanah maupun menyewakan lahan garapan kepada Petani (petani gurem) yang tidak memiliki tanah dalam kurun waktu selama itu.
Amanat pertemuan Nasional Summit (rembug nasional) yang difasilitasi oleh KADIN telah memasifkan praktek penggusuran lahan pertanian, yang berarti pengambilalihan alat produksi petani untuk alasan kepentingan umum (tata ruang). Pemakaian lahan pertanian untuk membangun infrastruktur (jalan Tol, Bandara Internasional, Pelabuhan, Kawasan Ekonomi Khusus, dll) sebagai jalan investor untuk melancarkan eksploitasi dan akumulami terhadap kekayaan alam. Sehingga menambah banyaknya kasus dan berujung pada konflik (sengketa) agraria.
Berbicara perempuan, perempuan pun memiliki hak yang sama. Perempuan dapat memajukan tenaga produktifnya secara bersama-sama. Dalam menjalankan aktivitas publik perempuan seringkali masih dibatasi. Hal ini dilandasi prasangka yang ditunjukan pada perempuan hanya sebatas mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Sehingga perempuan dianggap tabu ketika menjalankan aktivitas publik, misal : bekerja sebagai pekerja profesional, menjalankan aktifitas politik dll. Kondisi ini merupakan bentuk pelanggengan tata budaya masyarakat lama yang dilestarikan oleh sistem kapitalisme untuk melanggengkan kekuasaannya.
Ditengah perjuangan rakyat melawan kapitalisme dan rezim borjuasi, elit-elit politik yang ada di masing-masing partai politik secara bersama-sama melakukan konsolidasi dan kritikan keras bahkan hujatan pada pemerintah bahwa rakyat harus diperhatikan, mereka juga berkata bahwa negara ini harus berubah sehingga harus membutuhkan pemimpin yang kuat, tegas, pintar dan pro rakyat. Pandangan tersebut tanpa ragu dikeluarkan secara terbuka dengan maksud menarik simpati rakyat. Fenomena ini bukanlah hal baru tapi hal seperti ini sudah sering kali terjadi, mereka (elit politik borjuasi) sudah sangat sering memanfaatkan penderitaan dan kemiskinan rakyat, sebut saja PDI-P, PAN, GOLKAR, HANURA, PKS, GERINDRA dll.
Hal itu dapat dilihat dari beberapa kasus, seperti kasus century, kasus markus, kasus korupsi pejabat, kasus industrial, kasus agraria dsb. Sesungguhnya berakhir dengan kompromis (deal or not deal) di antara mereka sendiri. Sungguh konflik mereka hanyalah sebuah rekayasa politik belaka dan sikap oposisi mereka hanyalah sebuah topeng menyembunyikan kebusukan yang baunya melebihi bangkai binatang yang sudah membusuk.
Maka jelas bahwa keberadaan rezim SBY-Budiono dan elit-elit politik borjuasi sebagi pengaman sistem kapitalisme telah gagal dalam menyesejahterakan rakyat dan memberikan perlindungan hak-hak terhadap perempuan. Kemudian akar dari ketertindasan rakyat (perempuan pada khususnya) merupakan buah dari sistem kapitalisme yang menghisap.
Arahan politik SMI Nasional atas Internasional Women Day
Dari segala bukti-bukti yang ada, Serikat Mahasiswa Indonesia selalu bersikap tegas bahwa Kapitalisme, semua elit politik borjuasi adalah sumber penderitaan Rakyat Indonesia.
1. Menyerukan bahwa perjuang perempuan merukapan kesatuan organik yang tidak terpisahkan dari perjuangan kelas.
2. Mengkampanyekan persatuan perjuangan dalam melawan kapitalisasi pendidikan.
3. Mengkampanyekan secara terus menerus Platform SMI:
a. Pendidikan Nasional Gratis (SD-PT), Ilmiah, Demokratis dan Bervisi Kerakyatan.
b. Pembangunan Industri Nasional (Industri dasar, Industri Berat) yang berkarakter Kerakyatan.
c. Laksanakan Reforma Agraria Sejati!
d. Nasionalisasi Aset Vital di bawah kontrol rakyat dan untuk Kesehjateraan Rakyat.
No comments:
Post a Comment