Tuesday, December 13, 2011

Tolak Pengesahan RUU Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan “Undang-Undang Perampasan Tanah”

Usulan untuk membentuk RUU Pengadaan Tanah untuk Pembangunan oleh Presiden SBY pada tanggal 15 Desember 2010 melalui Amanat Presiden No. R-98/Pres/12/2010, telah membuktikan bahwa SBY merupakan rezim borjuasi yang selalu berpihak kepada para pemilik modal. Sebab usulan tersebut (dari Presiden SBY) sesuai dengan hasil-hasil rekomendasi dari National Summit (rembuk nasional) 2009, jelas menguntungkan bagi para pengusaha (investor)!.

Program yang dihasilkan dari pertemuan National Summit  tersebut dimotori oleh KADIN memuat pelbagai isu, yakni; 1) pengadaan tanah, alih fungsi hutan dan tata ruang. 2) Infrastruktur seperti perbaikan infrastruktur transportasi khususnya di pelabuhan besar dan peningkatan kapasitas. 3). Jaminan ketersediaan energi oleh pemerintah dengan menerbitkan perpres tentang proyek percepatan pembangunan proyek pembangkit listrik 10.000 mw tahap II, 4). Keringanan pajak bagi pengadaan energi, 5) Perbaikan skema kerjasama pendanaan pemerintah dan swasta dan Pengadaan lembaga pembiayaan infrastruktur, 5). Masalah ketenagakerjaan.
Persoalan tanah menjadi penting buat investor dikarenakan berdasarkan rancangan MP3EI, dibutuhkan investasi sebesar Rp 4.012 triliun untuk pembangunan infrastruktur, termasuk jalan dan pelabuhan. Sementara pemerintah hanya mampu mengalokasikan dana sekitar 10%, BUMN 18%, sisanya diserahkan ke swasta sebesar 51% dan campuran 21%. Kemudian untuk menyukseskan MP3EI, rezim borjuasi (SBY-Boediono) telah mempersiapkan RUU Pengadaan Tanah untuk Pembangunan. RUU ini merupakan bagian dari paket reformasi regulasi pembangunan infrastruktur di Indonesia bagi proses keterbukaan pasar dan investasi. Selain itu, RUU ini sarat dengan ‘pesanan’ asing, yakni beberapa-dokumen  menyebutkan bahwa RUU ini didorong oleh ADB, Bank Dunia dan Japan Bank for International Cooperation (JBIC).
Saat ini pelbagai kalangan baik pengusaha dan pemerintah menginginkan RUU Pengadaan Tanah Untuk Pembagunan agar cepat disahkan. Misalnya, Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) meminta Undang-Undang (UU) Pengadaan Tanah untuk Pembangunan harus segera terbit tepat waktu. Pasalnya, selama ini, proyek-proyek infrastruktur untuk kepentingan publik, seperti jalan tol dan pelabuhan selalu terkendala oleh pembebasan lahan. Kemudian ditegaskan kembali oleh Menteri Perindustrian MS Hidayat, bahwa “percepatan pembangunan infrastruktur merupakan fokus pemerintah. Sehingga, dibutuhkan kepastian hukum untuk pengadaan lahannya”. Oleh karena itu, pada tanggal 16 Desember 2011 ditargetkan bisa disahkan di Paripurna DPR.
Kenyataaannya eskalasi kekerasan terhadap petani di Indonesia berbanding lurus dengan ekspansi lahan baik itu kelas pemodal maupun pemerintah. Konflik tanah bukanlah hal baru di negeri ini. Sejak orde baru, telah terjadi ribuan kasus konflik tanah antara rakyat dan pemerintah, dengan diiringi juga oleh ribuan kasus kekerasan oleh aparat yang mengiringinya. Perihal kekerasan ini adalah buah dari kebijakan orde baru yang sejak berkuasa tidak menjalankan UU Pokok Agraria 1960 yang berpihak kepada kaum tani. Praktik pengadaan tanah di Indonesia masih banyak menyisakan persoalan  hingga kini. Dari data yang didapat menunjukan sepanjang  tahun 2010  terjadi 106 konflik agraria di berbagai wilayah Indonesia. Luas lahan yang disengketakan mencapai 535,197 hektar dengan melibatkan 517,159 KK yang berkonflik. Konflik agraria di awal 2011 telah menyebabkan 11 petani meninggal, 44 orang mengalami luka, baik ringan maupun berat, tujuh orang ditahan, dan ratusan rumah serta tanaman masyarakat dirusak.
Secara substansi,  RUU ini tidak jauh berbeda dengan Perpres No 36/2005 jo. Perpres 65/2006 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum yang kemudian muncul perlawanan dari rakyat karena dinilai menjadi alat penggusuran tanah-tanah rakyat. Dengan adanya UU Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan, para pemilik modal akan lebih leluasa merampas tanah rakyat. Lambannya pengesahan RUU ini dinilai dapat mengganggu investasi MP3EI, dan Presiden SBY bersedia mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) untuk masalah pengadaan tanah, jika RUU tersebut tidak selesai tahun ini.  Hal ini menunjukkan bahwa Pemerintah Indonesia siap melakukan segala daya upaya untuk mendukung investasi MP3EI, dengan mengesampingkan situasi dan kondisi rakyat Indonesia.
Maka dari itu, kami dari Serikat Mahasiswa Indonesia (SMI) menyatakan sikap:
  1. Menolak dan melawan pengesahan Undang-undang Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan.
  2. Mendesak Negara agar melaksanakan Reforma Agrarian Sejati untuk kepentingan rakyat.

Semarang, 14 Desember 2011
Komite Pimpinan Cabang Semarang
Serikat Mahasiswa Indonesia
KPC - SMI
           Ketua Umum                                                                    Sekretaris Jendral
Muhammad Harir                                                                       Dzikron

No comments:

Post a Comment

Lihat SMI Semarang Office di peta yang lebih besar