Usulan untuk membentuk RUU Pengadaan Tanah untuk Pembangunan oleh
Presiden SBY pada tanggal 15 Desember 2010 melalui Amanat Presiden No.
R-98/Pres/12/2010, telah membuktikan bahwa SBY merupakan rezim borjuasi
yang selalu berpihak kepada para pemilik modal. Sebab usulan tersebut
(dari Presiden SBY) sesuai dengan hasil-hasil rekomendasi dari National
Summit (rembuk nasional) 2009, jelas menguntungkan bagi para pengusaha (investor)!.
Program yang dihasilkan dari pertemuan National Summit tersebut dimotori oleh KADIN memuat pelbagai isu, yakni;
1) pengadaan tanah, alih fungsi hutan dan tata ruang. 2) Infrastruktur
seperti perbaikan infrastruktur transportasi khususnya di pelabuhan
besar dan peningkatan kapasitas. 3). Jaminan ketersediaan energi oleh
pemerintah dengan menerbitkan perpres tentang proyek percepatan
pembangunan proyek pembangkit listrik 10.000 mw tahap II, 4). Keringanan
pajak bagi pengadaan energi, 5) Perbaikan skema kerjasama pendanaan
pemerintah dan swasta dan Pengadaan lembaga pembiayaan infrastruktur,
5). Masalah ketenagakerjaan.
Persoalan tanah menjadi penting buat investor dikarenakan berdasarkan
rancangan MP3EI, dibutuhkan investasi sebesar Rp 4.012 triliun untuk
pembangunan infrastruktur, termasuk jalan dan pelabuhan. Sementara
pemerintah hanya mampu mengalokasikan dana sekitar 10%, BUMN 18%,
sisanya diserahkan ke swasta sebesar 51% dan campuran 21%. Kemudian
untuk menyukseskan MP3EI, rezim borjuasi (SBY-Boediono) telah
mempersiapkan RUU Pengadaan Tanah untuk Pembangunan. RUU ini merupakan
bagian dari paket reformasi regulasi pembangunan infrastruktur di
Indonesia bagi proses keterbukaan pasar dan investasi. Selain itu, RUU
ini sarat dengan ‘pesanan’ asing, yakni beberapa-dokumen menyebutkan
bahwa RUU ini didorong oleh ADB, Bank Dunia dan Japan Bank for
International Cooperation (JBIC).
Saat ini pelbagai kalangan baik pengusaha dan pemerintah menginginkan
RUU Pengadaan Tanah Untuk Pembagunan agar cepat disahkan. Misalnya,
Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) meminta Undang-Undang (UU)
Pengadaan Tanah untuk Pembangunan harus segera terbit tepat waktu.
Pasalnya, selama ini, proyek-proyek infrastruktur untuk kepentingan
publik, seperti jalan tol dan pelabuhan selalu terkendala oleh
pembebasan lahan. Kemudian ditegaskan kembali oleh Menteri Perindustrian
MS Hidayat, bahwa “percepatan pembangunan infrastruktur merupakan fokus
pemerintah. Sehingga, dibutuhkan kepastian hukum untuk pengadaan
lahannya”. Oleh karena itu, pada tanggal 16 Desember 2011 ditargetkan
bisa disahkan di Paripurna DPR.
Kenyataaannya eskalasi kekerasan terhadap petani di Indonesia
berbanding lurus dengan ekspansi lahan baik itu kelas pemodal maupun
pemerintah. Konflik tanah bukanlah hal baru di negeri ini. Sejak orde
baru, telah terjadi ribuan kasus konflik tanah antara rakyat dan
pemerintah, dengan diiringi juga oleh ribuan kasus kekerasan oleh aparat
yang mengiringinya. Perihal kekerasan ini adalah buah dari kebijakan
orde baru yang sejak berkuasa tidak menjalankan UU Pokok Agraria 1960
yang berpihak kepada kaum tani. Praktik pengadaan tanah di Indonesia
masih banyak menyisakan persoalan hingga kini. Dari data yang didapat
menunjukan sepanjang tahun 2010 terjadi 106 konflik agraria di
berbagai wilayah Indonesia. Luas lahan yang disengketakan mencapai
535,197 hektar dengan melibatkan 517,159 KK yang berkonflik. Konflik
agraria di awal 2011 telah menyebabkan 11 petani meninggal, 44 orang
mengalami luka, baik ringan maupun berat, tujuh orang ditahan, dan
ratusan rumah serta tanaman masyarakat dirusak.
Secara substansi, RUU ini tidak jauh berbeda dengan Perpres No
36/2005 jo. Perpres 65/2006 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan
Pembangunan untuk Kepentingan Umum yang kemudian muncul perlawanan dari
rakyat karena dinilai menjadi alat penggusuran tanah-tanah rakyat.
Dengan adanya UU Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan, para pemilik modal
akan lebih leluasa merampas tanah rakyat. Lambannya pengesahan RUU ini
dinilai dapat mengganggu investasi MP3EI, dan Presiden SBY bersedia
mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) untuk masalah pengadaan tanah,
jika RUU tersebut tidak selesai tahun ini. Hal ini menunjukkan bahwa
Pemerintah Indonesia siap melakukan segala daya upaya untuk mendukung
investasi MP3EI, dengan mengesampingkan situasi dan kondisi rakyat
Indonesia.
Maka dari itu, kami dari Serikat Mahasiswa Indonesia (SMI) menyatakan sikap:
- Menolak dan melawan pengesahan Undang-undang Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan.
- Mendesak Negara agar melaksanakan Reforma Agrarian Sejati untuk kepentingan rakyat.
Semarang, 14 Desember 2011
Komite Pimpinan Cabang Semarang
Serikat Mahasiswa Indonesia
KPC - SMI
Ketua Umum Sekretaris Jendral
Muhammad Harir Dzikron
No comments:
Post a Comment