Oleh
: H. Anugrah Surya Kusuma, S.H.
“Sebagai golongan intelektual, tugas kita memang bukan sekedar
‘memberi makna’ terhadap realitas sosial globalisasi, menguatnya neoliberalisme
saat ini, dan meratapinya. Tugas kita sebagai intelektual adalah ikut
menciptakan sejarah dengan membangun gerakan pemikiran dan kesadaran kritis
untuk memberi makna bagi masa depan kita sendiri.” [3]
Merujuk pada Mansour Fakih yang
menganggap globalisasi merupakan suatu proses pengintegrasian ekonomi nasional
bangsa-bangsa ke dalam suatu sistem ekonomi global[4],
maka sesungguhnya makna yang terkandung didalamnya adalah proses
pengintegrasian ekonomi ini secara langsung maupun tidak langsung akan menarik
sektor lain seperti politik, budaya, sosial, dan lain sebagainya termasuk sektor
pendidikan yang di Indonesia secara sistemik berangsur-angsur terintegrasi
kedalam tatanan dunia pendidikan global.
Konsekuensi WTO dan Korelasinya
dengan Sektor Pendidikan
Sejak masuknya
Indonesia ke dalam WTO (World Trade Organization) pada tahun 1994, maka
sesungguhnya telah terjadi percepatan proses pengintegrasian Indonesia ke dalam
struktur tatanan global di segala bidang termasuk pendidikan.[5]
Dengan masuknya Indonesia ke dalam WTO maka segala hasil persetujuan dalam WTO
seperti GATT (General Agreement on Tariff and Trade/GATT),
Jasa/services (General Agreement on Trade and Services/ GATS), Hak Kekayaan
Intelektual (Trade-Related Aspects of Intellectual
Properties/TRIPs) dan soal Penyelesaian sengketa (Dispute Settlements)
di implementasikan dalam berbagai produk UU, yang antara lain dalam sektor
pendidikan adalah lahirnya UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional (UU SISDIKNAS), UU No. 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan[6],
serta UU No. 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi. Hal ini merupakan
konsekuensi Indonesia dari penandatanganan GATS yang didalamnya mengatur
liberalisasi 12 sektor jasa, salah satu di antaranya adalah liberalisasi sektor
pendidikan. Liberalisasi jasa dalam GATS dilakukan dengan model intial offer dan intial request. Setiap negara boleh
mengirimkan initial request yaitu daftar sektor jasa yang diinginkan dibuka di
negara-negara lain. Negara diwajibkan meliberalisasi sektor-sektor tertentu
yang dipilihnya sendiri atau disebut intial offer.
Sekilas Dunia Pendidikan
Indonesia
Hasil penelitian
berbagai lembaga, wajah dunia pendidikan di Indonesia masih jauh dari
harapan, meskipun tersebut secara
pribadi saya tidak terlalu setuju dengan angka-angka statistik sebagai alat
verifikasi untuk menunjukan kualitas dunia pendidikan Indonesia. Menurut
Education For All Global Monitoring Report 2012 yang dikeluarkan oleh UNESCO
setiap tahunnya, pendidikan Indonesia berada di peringkat ke-64 untuk
pendidikan di seluruh dunia dari 120 negara naik 5 peringkat dibandingkan Data
Education Development Index (EDI) Indonesia, pada 2011 Indonesia yang berada di
peringkat ke-69 dari 127 negara.[7] Total nilai EDI itu diperoleh dari rangkuman perolehan empat
kategori penilaian, yaitu Angka partisipasi pendidikan dasar, Angka melek huruf
pada usia 15 tahun ke atas, Angka partisipasi menurut kesetaraan jender, serta
Angka bertahan siswa hingga kelas V sekolah dasar (SD).
Selain dari
angka-angka statistik diatas, sesungguhnya masih banyak kalangan yang
menyatakan bahwa kualitas dunia pendidikan di Indonesia kurang baik apabila
tidak dapat dikatakan buruk, baik itu dari peran pemerintah yang setengah hati
dan terlihat pada sisi perundang-undangan yang menitik beratkan pada upaya mengeliminir
(melepaskan) tanggung jawab pemerintah dalam hal anggaran, sehingga lembaga
pendidikan formal di dorong pada konsep kemandirian sebuah lembaga formal. Ini
terlihat dari paket
undang-undang di bidang pendidikan yang diantaranya adalah UU SISDIKNAS, UU
BHP, dan UU PT yang apabila ditarik benang merah kata kunci dari ketiga
undang-undang dimaksud adalah peningkatan kualitas baik infrastruktur lembaga
pendidikan itu sendiri, maupun kualitas dari output yang dihasilkannya.
Harapannya jelas bahwa semua undang-undang dimaksud akan digunakan sebagai alat
“rekayasa” dalam melahirkan lembaga pendidikan maupun manusia yang memiliki
“daya saing” dalam tatanan masyarakat global.
Prakteknya
hampir semua lembaga
pendidikan formal di segala tingkatan disibukkan untuk mencari sumber pendanaan
sendiri. Masing-masing berlomba-lomba berusaha mencari pemasukan
sebesar-besarnya untuk mendanai lembaga pendidikannya masing-masing. Akibatnya
adalah persaingan, dan yang berlaku hukum rimba dimana yang lemah akan dengan
sendirinya tereliminasi atau di akuisisi oleh yang kuat. Hal lain yang
memprihatinkan adalah kenyataan bahwa akses pendidikan formal berkualitas tidak
dapat di rasakan oleh seluruh
masyarakat. Buaian tentang pendidikan gratis berkualitas direduksi secara
sistemik menjadi pendidikan gratis ansih. Sedangkan pendidikan berkualitas
tentu hanya dapat dirasakan oleh masyarakat dengan kemampuan keuangan yang
berlimpah.
Disisi lain
pendidikan formal Indonesia secara faktual lebih diarahkan pada proses
dehumanisasi. Pendidik adalah penceramah, atau bahkan malaikat pembawa
kebenaran yang tidak bisa di tentang. Peserta didik dijadikan obyek pendidikan,
dan bukan sebagai subyek sehingga transformasi nilai tidak terjadi.
Pendidikan
Pembebasan sebagai sebuah pilihan
Carut marut dunia
pendidikan merupakan penyakit sistemik yang mau tidak mau, suka tidak suka
harus ditanggulangi. sistem pendidikan di Indonesia yang carut-marut dan tidak
berpihak kepada rakyat miskin seperti yang diungkapkan dalam beberapa judul
buku pendidikan sebagai berikut: Orang Miskin Dilarang Sekolah karya Eko
Presetyo, dan Pendidikan Rusak-Rusakan karya Darmaningtyas. Kondisi yang
digambarkan dalam judul buku tersebut memang nyata terjadi dalam dunia
pendidikan di Indonesia dimana pendidikan
khususnya sekolah dimana telah menciptakan kasta antara kaum kaya lebih
mendapat tempat dalam pendidikan dan kaum miskin yang terpinggirkan, serta
output yang dihasilkan dalam pendidikan semakin rusak moralnya karena hanya
mengejar angka. Sistem pendidikan yang
seharusnya menjadikan alat pembebasan bagi seluruh masyarakat dari kemiskinan
dan kebodohan kini semakin membelenggu masyarakat untuk keluar dari zona
tersebut sehingga timbul keinginan untuk bebas dari belenggu tersebut
menndorong kemampuan.
a.
Tujuan Pendidikan
Pembebasan
Hal yang paling mendasar dari pendidikan yang membebaskan
adalah pendidikan yang memanusiakan manusia . Freire berpendapat bahwa “pendidikan
yang membebaskan memang harus dijadikan sebagai pendidikan humanis dan
libertarian (merdeka)”.[8]
Untuk itu maka pendidikan harus menjadi jalan menuju pembebasan umat manusia, karena
pendidikan tertinggi manusia adalah humanisasi. Sedangkan humanisasi dalam
pengertian Freire bukanlah pencarian kebebasan individu semata melainkan
(karena tujuan humanisasi) sosial.
Konsep politik pendidikan Freire mempunyai visi filosofis
yakni manusia yang terbebaskan (librated humanity). Visi ini berpijak pada
penghargaan terhadap manusia dan pengakuan bahwa harapan dan masa depan
disampaikan kepada kaum tertindas tidak hanya sekedar menjadi hiburan semata,
sebagaimana juga bukan untuk terus-menerus mengecam dan menantang kekuatan
objektif kaum tertindas. Pendidikan Pembebasan ini memang sengaja diabdikan
untuk mendukung perkembangan pendidikan secara radikal dan terciptanya suatu
pendidikan yang bisa dirasakan oleh semua umat manusia.[9] Disisi ini Freire berusaha mencounter Pendidikan
Kapitalistik yang lebih menekankan bahwa pendidikan yang benar akan bermuara
pada penyiapan tenaga kerja yang ahli, mahir, memiliki daya saing, serta mampu
terserap menjadi tenaga kerja produktif.
b.
Kritik Terhadap Pendidikan
Gaya Bank
Dalam konsep pendidikan Indonesia secara jelas mengadopsi konsep
pendidikan Gaya Bank, dimana konsep pendidikan tersebut seolah-olah merupakan
sebuah anugerah yang dihibahkan oleh mereka yang menganggap dirinya
berpengetahuan kepada mereka yang dianggap tidak memiliki pengetahuan apa-apa.
Menganggap bodoh secara mutlak pada orang lain merupakan sebuah ciri dari
ideology penindasan, berarti mengingkari pendidikan dan pengetahuan sebagai
proses pencarian. Pendidikan Gaya Bank ini seperti halnya model pembelajaran di
Indonesia yang hanya berjalan satu arah (monolog), yakni dari pendidik kepada
peserta didik. Pendidikan gaya bank ini adalah bentuk pendidikan yang hanya
sebagai praktik dominasi belaka, akan tetapi bukan sebagai praktik untuk membebaskan.
Karena pendidikan semacam itu lebih didominasi oleh pihak yang berkuasa yang
akhirnya akan menindas kaum yang lemah dan dianggap tidak berpengetahuan.
Pendidikan seperti itulah yang dikritik secara keras oleh Freire, karena
menganggap pendidikan seperti itu sangat tidak manusiawi. Maka hadirlah istilah
pendidikan Hadap Masalah yang menganggap bahwa dalam proses belajar mengajar
antara pendidik dan peserta didik menggunakan metode yang dialogis. Karena
dialog sebagai prasyarat bagi pelaku pemahaman untuk menguak realitas. Sehingga
dalam pelaksanaan pembelajaran antara guru dan murid menjadi pemikir yang
kritis.[10]
c.
Pendidikan
Merupakan Pembentukan Kesadaran
Kesadaran merupakan proses dialogis yang mengantarkan
individu-individu secara bersama-sama untuk memecahkan masalah ekstensial
mereka. Kesadaran mengemban tugas pembebasan dan pembebasan itu berarti penciptaan
norma, aturan, prosedur dan kebijakan baru. Kesadaran bukanlah tujuan yang
sederhana yang harus dicapai, tetapi merupakan tujuan puncak dari pendidikan
untuk seluruh manusia. Tingkat kesadaran yang digagas oleh Freire ada tiga
tahap yakni kesadran magiz, kesadaran naïf dan kesadaran kritis. Untuk bisa
melaksanakan pendidikan yang membebaskan dari belenggu kebodohan, kemiskinan
dan ketertindasan haruslah mempunyai kesadaran yang paling tinggi yaitu
kesadaran kritis.[11]
Hakikat pendidikan dalam suatu dimensi yang sifatnya sama
sekali baru dan pembaharu, bagi freire pendidikan haruslah berorientasi kepada
pengenalan realitas diri manusia dan diri sendiri. Pengenalan itu tidak cukup
hanya bersifat objektif ataupun subjektif, tetapi harus kedua-duanya.
Pendidikan harus menjadi proses pemerdekaan, bukan lagi penjinakan sosial
budaya. Pendidikan bertujuan menggarap realitas manusia dan arena itu secara
metodologis bertumpu diatas prinsip-prinsip aksi dan refleksi total, yakni
prinsip untuk merubah kenyataan yang menindas dan pada sisi simultan lainnya
secara terus menerus menumbuhkan kesadaran akan realitas dan hasrat untuk
merubah kenyataan yang menindas tersebut.
Menurut Darmaningtyas pendidikan pembebasan adalah pendidikan
bagi kaum miskin guna membaskan kaum miskin dan bodoh dari segala
ketertindasan. Pendidikan pembebasan menurutnya harus membuka peluang yang
terbuka bagi anak-anak miskin dan bodoh untuk bersekolah, tanpa ada yang
mengkotak-kotakan.
Hal terpenting bagi setiap manusia yang terlibat dalam proses
pendidikan untuk bisa menyadari dan memahami bahwa pendidikan itu memang harus
mengarah ke pembentukan manusia seutuhnya. Tidak benar jika dengan pendidikan
manusia –manusia yang terdidik justru malah membelenggu atau menindas manusia
lainnya dengan kekuasaan yang dimilikinya. Pendidikan yang diusulkan Paulo
Freire mengarah pada tercapainya independensi manusia seutuhnya, yakni
berkesadaran, berdiri sendiri, dan bebas berkehendak dalam menentukan garis
jalan hidupnya (proses humanisasi), pendidikan merupakan proses tanpa henti dan
berorientasi pada pembebasan manusia seutuhnya dari belenggu otoriter dan
dominasi yang mendikte (hegemoni), serta pendidikan yang membebaskan manusia
dari kungkungan metode pendidikan yang serba mekanis dan verbalistik.
[1] Adalah
istilah yang digunakan oleh Mansour fakih dalam menamai seseorang yang memiliki kesadaran kritis terhadap hegemoni dominan dan
sistem yang tidak adil. Tugas Intelektual Organik bukan hanya mengubah realitas
sosial yang dianggapnya eksploitatif dan tidak adil. Akan tetapi melakukan
upaya counter hegemoni
yang menindas dan eksploitatif.
[2] Istilah
Paulo Freire mengenai pendidikan kritis
[3] Dr.
Mansour Fakih dalam Jalan Lain: Manifesto Intelektual Organik, 2002, INSISTPress & Pustaka Pelajar
[4]
Lihat sejarah perkembangan ekonomi kapitalisme yang salah satunya adalah
menyatakan mengenai keniscayaan globalisasi sebagai fase dari perjalanan
panjang perkembangan kapitalisme.
[5]
Lihat Undang-Undang No 7 tahun 1994 tanggal 2 November tentang pengesahan
(ratifikasi) “Agreement Astablising The World Trade”
maka Indonesia secara resmi telah menjadi anggota dari WTO dan semua
persetujuan yang ada di dalamnya telah sah menjadi legaslasi nasional
[6] UU BHP telah dibatalkan oleh Mahkamah
Konstitusi melalui Putusan Nomor: 11-14-21-126 dan 136/PUU-VII/2009, Tanggal 31
Maret 2010, telah membatalkan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan
Hukum Pendidikan.
[7]
http://www.unesco.org/new/en/education/themes/leading-the-international-agenda/efareport/
[8]
Paulo Freire, Ivan Illich, et. All,. Menggugat Pendidikan, terj. Omi Intan
Naomi, cet ke-7, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2009.
[9] Ibid.
[10] Paulo
Freire, Pendidikan Kaum Tertindas, terj. Utomo Dananjaya, et. All.
Jakarta, LP3ES, 1995.
[11]
Ibid
No comments:
Post a Comment