Sunday, January 12, 2014

INTELEKTUAL ORGANIK SEBAGAI MANIFESTASI DARI SISTEM PENDIDIKAN PEMBEBASAN



INTELEKTUAL ORGANIK[1] SEBAGAI MANIFESTASI DARI SISTEM PENDIDIKAN PEMBEBASAN[2]

Oleh : H. Anugrah Surya Kusuma, S.H.

 “Sebagai golongan intelektual, tugas kita memang bukan sekedar ‘memberi makna’ terhadap realitas sosial globalisasi, menguatnya neoliberalisme saat ini, dan meratapinya. Tugas kita sebagai intelektual adalah ikut menciptakan sejarah dengan membangun gerakan pemikiran dan kesadaran kritis untuk memberi makna bagi masa depan kita sendiri.” [3]

Merujuk pada Mansour Fakih yang menganggap globalisasi merupakan suatu proses pengintegrasian ekonomi nasional bangsa-bangsa ke dalam suatu sistem ekonomi global[4], maka sesungguhnya makna yang terkandung didalamnya adalah proses pengintegrasian ekonomi ini secara langsung maupun tidak langsung akan menarik sektor lain seperti politik, budaya, sosial, dan lain sebagainya termasuk sektor pendidikan yang di Indonesia secara sistemik berangsur-angsur terintegrasi kedalam tatanan dunia pendidikan global.


Konsekuensi WTO dan Korelasinya dengan Sektor Pendidikan
Sejak masuknya Indonesia ke dalam WTO (World Trade Organization) pada tahun 1994, maka sesungguhnya telah terjadi percepatan proses pengintegrasian Indonesia ke dalam struktur tatanan global di segala bidang termasuk pendidikan.[5] Dengan masuknya Indonesia ke dalam WTO maka segala hasil persetujuan dalam WTO seperti GATT (General Agreement on Tariff and Trade/GATT), Jasa/services (General Agreement on Trade and Services/ GATS), Hak Kekayaan Intelektual (Trade-Related Aspects of Intellectual Properties/TRIPs) dan soal Penyelesaian sengketa (Dispute Settlements) di implementasikan dalam berbagai produk UU, yang antara lain dalam sektor pendidikan adalah lahirnya UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU SISDIKNAS), UU No. 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan[6], serta UU No. 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi. Hal ini merupakan konsekuensi Indonesia dari penandatanganan GATS yang didalamnya mengatur liberalisasi 12 sektor jasa, salah satu di antaranya adalah liberalisasi sektor pendidikan. Liberalisasi jasa dalam GATS dilakukan dengan model intial offer dan intial request. Setiap negara boleh mengirimkan initial request yaitu daftar sektor jasa yang diinginkan dibuka di negara-negara lain. Negara diwajibkan meliberalisasi sektor-sektor tertentu yang dipilihnya sendiri atau disebut intial offer.

Sekilas Dunia Pendidikan Indonesia
Hasil penelitian berbagai lembaga, wajah dunia pendidikan di Indonesia masih jauh dari harapan,  meskipun tersebut secara pribadi saya tidak terlalu setuju dengan angka-angka statistik sebagai alat verifikasi untuk menunjukan kualitas dunia pendidikan Indonesia. Menurut Education For All Global Monitoring Report 2012 yang dikeluarkan oleh UNESCO setiap tahunnya, pendidikan Indonesia berada di peringkat ke-64 untuk pendidikan di seluruh dunia dari 120 negara naik 5 peringkat dibandingkan Data Education Development Index (EDI) Indonesia, pada 2011 Indonesia yang berada di peringkat ke-69 dari 127 negara.[7] Total nilai EDI itu diperoleh dari rangkuman perolehan empat kategori penilaian, yaitu Angka partisipasi pendidikan dasar, Angka melek huruf pada usia 15 tahun ke atas, Angka partisipasi menurut kesetaraan jender, serta Angka bertahan siswa hingga kelas V sekolah dasar (SD).
Selain dari angka-angka statistik diatas, sesungguhnya masih banyak kalangan yang menyatakan bahwa kualitas dunia pendidikan di Indonesia kurang baik apabila tidak dapat dikatakan buruk, baik itu dari peran pemerintah yang setengah hati dan terlihat pada sisi perundang-undangan yang menitik beratkan pada upaya mengeliminir (melepaskan) tanggung jawab pemerintah dalam hal anggaran, sehingga lembaga pendidikan formal di dorong pada konsep kemandirian sebuah lembaga formal. Ini terlihat dari paket undang-undang di bidang pendidikan yang diantaranya adalah UU SISDIKNAS, UU BHP, dan UU PT yang apabila ditarik benang merah kata kunci dari ketiga undang-undang dimaksud adalah peningkatan kualitas baik infrastruktur lembaga pendidikan itu sendiri, maupun kualitas dari output yang dihasilkannya. Harapannya jelas bahwa semua undang-undang dimaksud akan digunakan sebagai alat “rekayasa” dalam melahirkan lembaga pendidikan maupun manusia yang memiliki “daya saing” dalam tatanan masyarakat global.
Prakteknya hampir semua lembaga pendidikan formal di segala tingkatan disibukkan untuk mencari sumber pendanaan sendiri. Masing-masing berlomba-lomba berusaha mencari pemasukan sebesar-besarnya untuk mendanai lembaga pendidikannya masing-masing. Akibatnya adalah persaingan, dan yang berlaku hukum rimba dimana yang lemah akan dengan sendirinya tereliminasi atau di akuisisi oleh yang kuat. Hal lain yang memprihatinkan adalah kenyataan bahwa akses pendidikan formal berkualitas tidak dapat di  rasakan oleh seluruh masyarakat. Buaian tentang pendidikan gratis berkualitas direduksi secara sistemik menjadi pendidikan gratis ansih. Sedangkan pendidikan berkualitas tentu hanya dapat dirasakan oleh masyarakat dengan kemampuan keuangan yang berlimpah.
Disisi lain pendidikan formal Indonesia secara faktual lebih diarahkan pada proses dehumanisasi. Pendidik adalah penceramah, atau bahkan malaikat pembawa kebenaran yang tidak bisa di tentang. Peserta didik dijadikan obyek pendidikan, dan bukan sebagai subyek sehingga transformasi nilai tidak terjadi.

Pendidikan Pembebasan sebagai sebuah pilihan
Carut marut dunia pendidikan merupakan penyakit sistemik yang mau tidak mau, suka tidak suka harus ditanggulangi. sistem pendidikan di Indonesia yang carut-marut dan tidak berpihak kepada rakyat miskin seperti yang diungkapkan dalam beberapa judul buku pendidikan sebagai berikut: Orang Miskin Dilarang Sekolah karya Eko Presetyo, dan Pendidikan Rusak-Rusakan karya Darmaningtyas. Kondisi yang digambarkan dalam judul buku tersebut memang nyata terjadi dalam dunia pendidikan di Indonesia dimana pendidikan  khususnya sekolah dimana telah menciptakan kasta antara kaum kaya lebih mendapat tempat dalam pendidikan dan kaum miskin yang terpinggirkan, serta output yang dihasilkan dalam pendidikan semakin rusak moralnya karena hanya mengejar angka. Sistem pendidikan  yang seharusnya menjadikan alat pembebasan bagi seluruh masyarakat dari kemiskinan dan kebodohan kini semakin membelenggu masyarakat untuk keluar dari zona tersebut sehingga timbul keinginan untuk bebas dari belenggu tersebut menndorong kemampuan.

a.      Tujuan Pendidikan Pembebasan
Hal yang paling mendasar dari pendidikan yang membebaskan adalah pendidikan yang memanusiakan manusia . Freire berpendapat bahwa “pendidikan yang membebaskan memang harus dijadikan sebagai pendidikan humanis dan libertarian (merdeka)”.[8] Untuk itu maka pendidikan harus menjadi jalan menuju pembebasan umat manusia, karena pendidikan tertinggi manusia adalah humanisasi. Sedangkan humanisasi dalam pengertian Freire bukanlah pencarian kebebasan individu semata melainkan (karena tujuan humanisasi) sosial.
Konsep politik pendidikan Freire mempunyai visi filosofis yakni manusia yang terbebaskan (librated humanity). Visi ini berpijak pada penghargaan terhadap manusia dan pengakuan bahwa harapan dan masa depan disampaikan kepada kaum tertindas tidak hanya sekedar menjadi hiburan semata, sebagaimana juga bukan untuk terus-menerus mengecam dan menantang kekuatan objektif kaum tertindas. Pendidikan Pembebasan ini memang sengaja diabdikan untuk mendukung perkembangan pendidikan secara radikal dan terciptanya suatu pendidikan yang bisa dirasakan oleh semua umat manusia.[9] Disisi ini Freire berusaha mencounter Pendidikan Kapitalistik yang lebih menekankan bahwa pendidikan yang benar akan bermuara pada penyiapan tenaga kerja yang ahli, mahir, memiliki daya saing, serta mampu terserap menjadi tenaga kerja produktif.

b.      Kritik Terhadap Pendidikan Gaya Bank
Dalam konsep pendidikan Indonesia secara jelas mengadopsi konsep pendidikan Gaya Bank, dimana konsep pendidikan tersebut seolah-olah merupakan sebuah anugerah yang dihibahkan oleh mereka yang menganggap dirinya berpengetahuan kepada mereka yang dianggap tidak memiliki pengetahuan apa-apa. Menganggap bodoh secara mutlak pada orang lain merupakan sebuah ciri dari ideology penindasan, berarti mengingkari pendidikan dan pengetahuan sebagai proses pencarian. Pendidikan Gaya Bank ini seperti halnya model pembelajaran di Indonesia yang hanya berjalan satu arah (monolog), yakni dari pendidik kepada peserta didik. Pendidikan gaya bank ini adalah bentuk pendidikan yang hanya sebagai praktik dominasi belaka, akan tetapi bukan sebagai praktik untuk membebaskan. Karena pendidikan semacam itu lebih didominasi oleh pihak yang berkuasa yang akhirnya akan menindas kaum yang lemah dan dianggap tidak berpengetahuan. Pendidikan seperti itulah yang dikritik secara keras oleh Freire, karena menganggap pendidikan seperti itu sangat tidak manusiawi. Maka hadirlah istilah pendidikan Hadap Masalah yang menganggap bahwa dalam proses belajar mengajar antara pendidik dan peserta didik menggunakan metode yang dialogis. Karena dialog sebagai prasyarat bagi pelaku pemahaman untuk menguak realitas. Sehingga dalam pelaksanaan pembelajaran antara guru dan murid menjadi pemikir yang kritis.[10]

c.       Pendidikan Merupakan Pembentukan Kesadaran
Kesadaran merupakan proses dialogis yang mengantarkan individu-individu secara bersama-sama untuk memecahkan masalah ekstensial mereka. Kesadaran mengemban tugas pembebasan dan pembebasan itu berarti penciptaan norma, aturan, prosedur dan kebijakan baru. Kesadaran bukanlah tujuan yang sederhana yang harus dicapai, tetapi merupakan tujuan puncak dari pendidikan untuk seluruh manusia. Tingkat kesadaran yang digagas oleh Freire ada tiga tahap yakni kesadran magiz, kesadaran naïf dan kesadaran kritis. Untuk bisa melaksanakan pendidikan yang membebaskan dari belenggu kebodohan, kemiskinan dan ketertindasan haruslah mempunyai kesadaran yang paling tinggi yaitu kesadaran kritis.[11]
Hakikat pendidikan dalam suatu dimensi yang sifatnya sama sekali baru dan pembaharu, bagi freire pendidikan haruslah berorientasi kepada pengenalan realitas diri manusia dan diri sendiri. Pengenalan itu tidak cukup hanya bersifat objektif ataupun subjektif, tetapi harus kedua-duanya. Pendidikan harus menjadi proses pemerdekaan, bukan lagi penjinakan sosial budaya. Pendidikan bertujuan menggarap realitas manusia dan arena itu secara metodologis bertumpu diatas prinsip-prinsip aksi dan refleksi total, yakni prinsip untuk merubah kenyataan yang menindas dan pada sisi simultan lainnya secara terus menerus menumbuhkan kesadaran akan realitas dan hasrat untuk merubah kenyataan yang menindas tersebut.
Menurut Darmaningtyas pendidikan pembebasan adalah pendidikan bagi kaum miskin guna membaskan kaum miskin dan bodoh dari segala ketertindasan. Pendidikan pembebasan menurutnya harus membuka peluang yang terbuka bagi anak-anak miskin dan bodoh untuk bersekolah, tanpa ada yang mengkotak-kotakan.
Hal terpenting bagi setiap manusia yang terlibat dalam proses pendidikan untuk bisa menyadari dan memahami bahwa pendidikan itu memang harus mengarah ke pembentukan manusia seutuhnya. Tidak benar jika dengan pendidikan manusia –manusia yang terdidik justru malah membelenggu atau menindas manusia lainnya dengan kekuasaan yang dimilikinya. Pendidikan yang diusulkan Paulo Freire mengarah pada tercapainya independensi manusia seutuhnya, yakni berkesadaran, berdiri sendiri, dan bebas berkehendak dalam menentukan garis jalan hidupnya (proses humanisasi), pendidikan merupakan proses tanpa henti dan berorientasi pada pembebasan manusia seutuhnya dari belenggu otoriter dan dominasi yang mendikte (hegemoni), serta pendidikan yang membebaskan manusia dari kungkungan metode pendidikan yang serba mekanis dan verbalistik.


[1] Adalah istilah yang digunakan oleh Mansour fakih dalam menamai seseorang yang memiliki kesadaran kritis terhadap hegemoni dominan dan sistem yang tidak adil. Tugas Intelektual Organik bukan hanya mengubah realitas sosial yang dianggapnya eksploitatif dan tidak adil. Akan tetapi melakukan upaya counter hegemoni yang menindas dan eksploitatif.
[2] Istilah Paulo Freire mengenai pendidikan kritis
[3] Dr. Mansour Fakih dalam Jalan Lain: Manifesto Intelektual Organik, 2002, INSISTPress & Pustaka Pelajar
[4] Lihat sejarah perkembangan ekonomi kapitalisme yang salah satunya adalah menyatakan mengenai keniscayaan globalisasi sebagai fase dari perjalanan panjang perkembangan kapitalisme.
[5] Lihat Undang-Undang No 7 tahun 1994 tanggal 2 November tentang pengesahan (ratifikasi) “Agreement Astablising The World Trade” maka Indonesia secara resmi telah menjadi anggota dari WTO dan semua persetujuan yang ada di dalamnya telah sah menjadi legaslasi nasional

[6]  UU BHP telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor: 11-14-21-126 dan 136/PUU-VII/2009, Tanggal 31 Maret 2010, telah membatalkan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan.

[7] http://www.unesco.org/new/en/education/themes/leading-the-international-agenda/efareport/
[8] Paulo Freire, Ivan Illich, et. All,. Menggugat Pendidikan, terj. Omi Intan Naomi, cet ke-7, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2009.
[9] Ibid.
[10] Paulo Freire, Pendidikan Kaum Tertindas, terj. Utomo Dananjaya, et. All. Jakarta, LP3ES, 1995.
[11] Ibid

No comments:

Post a Comment

Lihat SMI Semarang Office di peta yang lebih besar