Sunday, March 22, 2009

Menolak Kapitalisasi Pendidikan, Menuntut Perwujudan Pendidikan Gratis dan Berkualitas Kepada Negara

Oleh Toni Triyanto

Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) yang diperingati tanggal 2 Mei 2007 ini merupakan sebuah momentum yang tepat untuk menggalang konsolidasi seluruh gerakan demokratik dalam mendorong kampanye tentang perjuangan pendidikan nasional di Indonesia.

Karena persoalan pendidikan tidak hanya menjadi kepentingan kaum pelajar maupun pemuda mahasiswa saja melainkan menjadi persoalan dari seluruh lini sektor rakyat, hal ini menyangkut kepentingan anak-anak kaum buruh dan tani, anak-anak jalanan di perkotaan yang notabene mereka semua tidak bisa mengenyam pendidikan. Artinya bahwa semua sector rakyat sangat berkepentingan untuk turut mendukung kampanye tentang penolakan terhadap kapitalisasi pendidikan dan negara harus bertanggung jawab untuk mewujudkan pendidikan nasional yang gratis, ilmiah, demokratis dan bervisi kerakyatan.

Dalam konstitusi negara kita atau UUD 1945 tepatnya pada alenia keempat tentang tujuan nasional telah jelas dan sangat terang disebutkan bahwa “Negara bertanggung jawab untuk mencerdaskan kehidupan bangsanya” namun hal tersebut tidak pernah direalisasikan oleh rezim demi rezim yang pernah berkuasa, sejak Pemerintahan Soeharto sampai dengan pemerintahan SBY-JK !. Justru yang terjadi adalah sebuah upaya untuk melakukan kapitalisasi pendidikan atau yang lazim kita sebut sebagai “barang dagangan” hal ini sebenarnya mencerminkan karakter pemerintahan kita hari ini yang mana selalu membuka peluang atas terjadinya liberalisasi dan privatisasi semua sector penting yang sebenarnya sangat dibutuhkan oleh rakyat! Negara dibawah kepemimpinan pemerintahan SBY-JK selalu memposisikan dirinya sebagai regulator atas kepentingan modal imperialisme, sehingga banyak melahirkan kebijakan dalam bentuk UU yang hari ini sangat menindas rakyat. Padahal kalau kita tengok pada sector pendidikan maka sudah banyak pula Peraturan Pemerintah, Undang-Undang, maupun yang masih bersifat rancangan telah tersaji didepan mata sehingga semakin membuat ruwet persoalan didunia pendidikan nasional kita (PP.60 Tahun ’99 tentang Perguruan Tinggi, PP. 61 Tahun ’99 tentang Perguruan Tinggi Negeri Sebagai BHMN, UU SISDIKNAS No 20 Tahun 2003, RUU BHP).

Pendidikan yang sangat mahal, kurikulum yang tidak mencerdaskan, situasi sekolah maupun kampus yang tidak demokratis maupun fasilitas yang ala kadarnya adalah fenomena sehari-hari yang tergambar dari system pendidikan nasional di Indonesia. Ketika berbicara tentang dunia pendidikan tentunya tidak lepas dari tingkat kualitas, persoalan biaya, regulasi-regulasi, anggaran yang semuanya itu adalah menjadi tanggung jawab negara. Perkembangan kesadaran masyarakat hari ini semakin terilusi oleh praktek-praktek kapitalisasi pendidikan sehingga memunculkan perspektif bahwa pendidikan yang berkualitas adalah pendidikan yang mahal, itulah arah kekeliruan berpikir masyarakat kita yang harus segera di benahi. Memang kita tidak bisa menyalahkan masyarakat sepenuhnya namun kita harus menuntut hak kita kepada negara untuk bertanggung jawab !, Alhasil yang terjadi, pendidikan dikelola bak perusahaan di mana pendidikan yang berkualitas diperuntukan bagi pihak yang punya kemampuan finansial. Sementara orang miskin akan tetap dengan kondisinya yang terbelenggu kebodohan, dari sini negara terkesan ingin melepas tanggung jawab atas terwujudnya pendidikan gratis dan berkualitas bagi seluruh rakyat Indonesia. Ujung semua ide Depdiknas, pada Kabinet Indonesia Bersatu, sepertinya menuju pada terwujudnya liberalisasi dan privatiasi pendidikan (Kapitalisasi), di mana tanggung jawab negara dikurangi, bahkan dilepas sama sekali. Hal simple yang bisa kita lihat adalah bagaimana negara dalam hal ini adalah pemerintah memberikan subsidi pendidikan ?. Sejak lahirnya UU SISDIKNAS No 20 Tahun 2003 sebenarnya sudah tergambar bagaimana arah pendidikan nasional kita ? Sangat jelas Undang-Undang Sisdiknas justru hendak menggerakkan pendidikan nasional kita pada arah liberalisasi, Ini terlihat pada Pasal 9 UU Sisdiknas, yang menyatakan bahwa “”masyarakat berkewajiban memberikan dukungan sumber daya dalam penyelenggaraan pendidikan”, dan Pasal 12 Ayat 2 (b) yang memberi kewajiban terhadap peserta didik untuk ikut menanggung biaya penyelenggaraan pendidikan, terkecuali bagi yang dibebaskan dari kewajibannya sesuai undang-undang yang ada. Gambaran di atas terasa aneh, sebab dalam UUD 1945 yang diamandemen, menyatakan secara tegas pada Pasal 31 Ayat (2), “”setiap warga Negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya”. Hal itu dipertegas di Ayat (4), “Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari anggaran pendapatan dan belanja Negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional”. Apakah hal itu juga sudah cukup untuk membiayai semua kebutuhan pendidikan kita, bahkan aturan tersebut masih di ingkari oleh pemerintah karena subsidi yang diberikan belum mencapai angka yang ditentukan. Dalam RAPBN 2007 misalnya, sektor pendidikan hanya mendapatkan alokasi 10.3% atau Rp 51,3 dari total belanja pemerintah pusat sebesar Rp 746,5 triliun atau 21,1% dari PDB. Meskipun ada peningkatan dari anggaran yang sebelumnya Rp 43,9 trilyun (RAPBN-P 2006). Jumlah tersebut sangat minim dibandingkan pengeluaran untuk pinjaman luar negeri (utang) berupa pinjaman program dan pinjaman proyek sebesar Rp 35,9 triliun, dan pembayaran cicilan pokok utang luar negeri sebesar Rp 54,1 triliun atau 36,9 persen dari total APBN. Padahal utang ini yang membuat anggaran negara defisit.

Sekali lagi pada Peraturan Pemerintah penjelas dari UU Sisdiknas Pasal 3 Ayat (3), dengan menyatakan bahwa “setiap warga negara usia wajib belajar berhak mendapatkan pelayanan program wajib belajar yang bermutu tanpa dipungut biaya”. Penerapan undang-undang di bawah UUD 1945 yang mengamanatkan pelaksanaan pendidikan dasar gratis, ternyata sudah diakui pemerintah sendiri akan ketidakmampuannya!!. Hal itu tertuang dalam Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) yang menyatakan dengan tegas bahwa pemerintah belum mampu menyediakan pelayanan pendidikan dasar secara gratis (RPJM, halaman IV). Hal itu diungkap pada Peraturan Pemerintah Pasal 13 Ayat (3), “”Masyarakat dapat ikut serta menjamin pendanaan penyelenggaraan program wajib belajar pada satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah, pemerintah daerah, maupun masyarakat”.

RUU BHP Sebagai Kunci Kapitalisasi Pendidikan

Banyak hal yang harus kita waspadai terkait dengan isi RUU BHP, karena sangat jelas bahwa sejak munculnya UU Sisdiknas yang diasumsikan sebagai tahap liberalisasi, maka tahap selanjutnya hendak di naikkan greatnya menuju level privatisasi pendidikan yang salah satu instrumennya adalah Badan Hukum Pendidikan. Memang sebenarnya upaya ini sudah disiapkan secara sistematis yang rangkaiannya sudah dijalankan melalui terbitnya PP No 60 Tahun 1999 tentang Pendidikan Tinggi, PP No 61 tahun 1999 tentang Penetapan Perguruan Tinggi Negeri sebagai Badan Hukum Milik Negara, PP No 151 tahun 2000, PP No 152 Tahun 2000, PP No 153 Tahun 2000, PP 154 tahun 2000, PP No 06 tahun 2004 yang semuanya menjadi legalitas dari pem-BHMN-an UI, ITB, UGM, IPB, UNAIR, UPI.

Hal yang cukup memprihatinkan terlihat dalam Pasal 1 Ayat (1) RUU BHP yang berbunyi, “Badan Hukum Pendidikan (BHP) adalah badan hukum perdata yang didirikan oleh pemerintah, pemerintah daerah, atau masyarakat, berfungsi memberikan pelayanan pendidikan, berprinsip nirlaba, dan otonom”. Kemudian pada Pasal 36 Ayat (1), secara terus terang pemerintah menyatakan bahwa pendanaan awal sebagai investasi pemula untuk pengoperasian Badan Hukum Pendidikan Dasar dan Menengah (BHPDM) berasal dari masyarakat maupun hibah, baik dari dalam atau luar negeri. RUU BHP sebenarnya ingin menjadikan perguruan Tinggi (PT) layaknya seperti Perseroan Terbatas (PT) yang didalamnya juga membuka peluang investasi pihak swasta melalui mekanisme Majelis Wali Amanah (MWA) yang terdiri dari perwakilan pemerintah, perwakilan satuan pendidikan atau rektorat, dan dari masyarakat atau pihak swasta, yang dimaksud dengan perwakilan masyarakat disini adalah investor.

Dalam RUU ini juga disebutkan bahwa BHP dapat melakukan investasi. Untuk investasi yang menghasilkan pendapatan tetap seperti deposito, Sertifikat Bank Indonesia, obligasi, reksadana, dan produk keuangan lain yang resikonya terukur dan rendah, cukup dikelola melalui suatu unit manajemen aset di bawah MWA, dan tidak diperlukan badan hukum tersendiri di dalam BHP. Investasi pada kegiatan usaha yang resikonya dapat membahayakan keberlanjutan BHP, harus dijalankan dengan mendirikan badan hukum dengan tanggung renteng sebatas penyertaan modal BHP ke dalam badan hukum tersebut, artinya sangat jelas bahwa yang banyak diatur didalamnya adalah melulu mengenai pendapatan dan keuntungan semata yang indikasinya sangat terang bahwa BHP akan menegasikan fungsi satuan pendidikan sebagai fungsi social dan digeser menjadi alat untuk mengeruk keuntungan sehingga untuk melanggengkan pengelolaannya maka biaya pendidikan akan semakin mahal dan sangat memberatkan mahasiswa.

MWA juga diposisikan sebagai pengambil kebijakan tertinggi dan mempunyai fungsi untuk mengelola hal-hal yang bersifat non akademis karena memang secara prinsip hanya memikirkan keuntungan dan tidak memikirkan bagaimana peningkatan kualitas pendidikan, makanya kemudian juga diatur bahwa representasi di MWA 2/3 nya bukan berasal dari perwakilan satuan pendidikan, melainkan dari perwakilan masyarakat atau swasta yang notabene mempunyai kepentingan yang sangat besar dalam hal investasi. BHP juga mensyaratkan bahwa hal-hal yang menyangkut kekhasan perguruan tinggi dapat diatur dalam Anggaran Dasar BHP yang bersangkutan, inilah yang diartikan sebagai manifestasi dari otonomi kampus yang selalu bergerak sesuai dengan kemauan dan kepentingannya sendiri. Selain itu dalam pasal 28 ayat (1) juga dijelaskan bahwa BHP bisa melakukan penggabungan atau marger atas badan hukum satuan pendidikan yang lain, jadi gambaran kedepan bahwa kampus atau satuan pendidikan yang tidak mempunyai modal cukup kuat dalam pengelolaannya akan segera gulung tikar dan dibubarkan untuk kemudian digabungkan dengan kampus BHP yang modalnya lebih kuat. BHP juga dapat membentuk unit lain di luar MWA, Dewan Audit atau yang lainnya untuk menunjang kegiatan lain yang relevan dengan pendidikan, misalnya BHP dapat membentuk unit usaha yang bertujuan menunjang pendanaan penyelenggaraan pendidikan dan menghasilkan keuntungan tambahan.

Kobarkan Perjuangan Demokratisasi Kampus !!

Selanjutnya hal yang saat ini cukup memprihatinkan adalah mengenai represifitas yang dilakukan oleh pihak birokrasi kampus terhadap mahasiswa baik mengenai pelarangan terhadap mahasiswa untuk berorganisasi seperti yang terjadi di kampus UAD Yogyakarta melalui Surat Edaran Rektor, bertanggal: 27 September 2006, bernomor : R/465/A.10/IX/2006, tentang Pembinan Organisasi Kemahasiswaan UAD, yang isinya :

1. UAD jelas tidak mungkin membiarkan organisasi ekstra kampus berdiri di UAD.

2. Melarang organisasi ekstra kampus selain IMM, menggunakan nama Universitas Ahmad Dahlan dan fasilitas-fasilitas milik UAD, termasuk pemasangan pamflet-pamflet, baik didalam maupun diluar UAD.

Selain itu juga Persoalan yang terjadi di Kampus IKIP Mataram yang kian hari kian menumpuk dan semakin menambah beban yang harus di pikul oleh Mahasiswa IKIP Mataram. Persoalan ini juga kemudian memakan korban dengan terbunuhnya kawan Ridwan karena kebiadaban preman bayaran pihak birokrasi kampus, yang sampai hari ini kasusnya belum selesai, terakhir juga sempat terjadi tindakan represifitas yang di lakukan oleh aparat kepolisian Mataram terhadap mahasiswa IKIP Mataram, hal tersebut juga lahir akibat kebijakan kampus yang tidak demokratis. Beberapa persoalan kampus tersebut hanya sebagian kecil dari banyaknya kampus yang sampai hari ini tetap memasung nilai-nilai demokrasi. Maka sudah saatnya mahasiswa yang tergabung dalam ormass-ormass untuk membangun persatuan di tiap-tiap kampus untuk menuntut hak-hak social ekonominya dengan jalan menggelorakan perjuangan massa dikampus.

Langkah-langkah yang harus dilakukan oleh Negara dalam merealisasikan Pendidikan Gratis. Negara sebenarnya mampu untuk merealisasikan pendidikan gratis ketika mau melaksanakan beberapa program-program strategis yang sangat besar manfaatnya bagi kesejahteraan rakyat, beberapa program strategis yaitu :

1. Laksanakan Reforma Agraria Sejati

2. Bangun industrialisasi nasional yang kerakyatan

3. Tolak campur tangan IMF, WTO, WB dan putuskan hubungan diplomatik dengan negara-negara Imperialis

Serta beberapa program sumber pembiayaan negara, yaitu :

4. Menyita semua asset koruptor

5. Melakukan Nasionalisasi aset-aset Penting (Pertambangan dll)

6. Bersedia melakukan penghapusan utang luar negeri yang selama ini selalu menguras APBN.

Yang kemudian hasil-hasilnya di alokasikan untuk membiayai pelayanan social terhadap rakyat termasuk salah satunya pendidikan. Namun pemerintahan yang seperti apa yang mampu melaksanakan program-program tersebut ? Apakah pemerintahan SBY-JK juga bersedia? Tentunya yang sanggup melaksanakan hanyalah pemerintahan yang bersifat kerakyatan dan bukan pemerintahan yang dipimpin oleh borjuasi komparador. Untuk itu mari Pererat persatuan dan majukan perjuangan rakyat tertindas untuk melawan domonasi IMPERIALISME dan Rezim boneka SBY-JK !

2 comments:

  1. pembebasan nasional melawan imperialisme...
    ne blog kawanmu: hardrevolter.blogspot.com

    ReplyDelete
  2. ingatlah ada hari pembalasan
    jangan sakiti hati rakyat melarat
    jangan mau jadi penjilat si rajatega
    bangkitlah kaum yang termajinalkan
    jangan biarkan iklan ketidakadilan
    rapatkan barisan satukan perjuangan
    lawan semua penindasan!

    ReplyDelete

Lihat SMI Semarang Office di peta yang lebih besar